NovelToon NovelToon
SETIAP HUJAN TURUN, AKAN ADA YANG MATI

SETIAP HUJAN TURUN, AKAN ADA YANG MATI

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Hantu
Popularitas:331
Nilai: 5
Nama Author: Dranyyx

Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.

Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri


Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?

Ia pintar dalam hal .....


Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 : Petualangan yang tak terduga.

Malam itu terpampang dengan jelas di hadapan Riski, seorang wanita yang lemah tak berdaya. Berdiri lemas di bawah siraman cahaya lampu dari lampu neon di atas kepalanya—membuat siluetnya tampak seperti kaca yang retak.

Dan yah, seorang pria mendekati Riski—senyum terpancar dari wajah yang penuh dengan brewok itu, sembari mengibaskan air yang mengucur pelan dari jaket kulit hitamnya.

Langkah tenang dan percaya diri pria itu mengaktifkan insting Riski yang liar, seolah mengatakan bahwa bahaya mulai mendekat. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang bengis dan tidak ada setitik pun belas kasihan. "Jujur, pria seperti dirimu itu terlalu rendah bung. Menyakiti wanita yang tak berdaya? Mungkin tata krama dan kasih sayang tak pernah di ajari di dalam keluargamu." Entah mengapa Riski sengaja memancing emosi dari pria itu. Seolah tak ada rasa takut yang terbesit di dalam pikirannya.

Suasana hening sejenak, lalu pria itu berbicara pelan seolah mirip orang berbisik tapi suaranya besar. "Hmm, udara malam ini cocok sekali untuk minum kopi. Emm jadi tolong bisakah kamu pergi dari hadapanku."

Pria itu mulai berjalan mendekati Riski dengan tangan terkepal—senyumnya yang angkuh tadi seketika memudar dan langkahnya terhenti sejenak. Riski menyulut sebatang rokok yang sedari tadi bersemayam dalam saku jaketnya. "Awalnya saya hanya ingin berjalan-jalan kecil, kembali ke kediamanku untuk menikmati secangkir kopi panas di malam yang dingin ini."

Riski menyipitkan matanya sembari menoleh ke arah wanita itu.

"Yahh langkahku terhenti. Dan lihatlah apa yang terjadi? Seorang pria brewok tinggi dan bersetelan jaket kulit keren memalak seorang wanita yang tak berdaya. Sungguh ironi."

"Terlalu banyak bicara, mungkin mulutmu itu perlu di bungkam sedikit."

Nada itu terasa seperti ancaman. Terasa mencoba menekan dan mengharap reaksi dari Riski.

Seketika pukulan melesat ke arah wajah Riski sesaat setelah pria itu berada tepat di hadapannya. Seolah insting liar Riski menggerakkan tubuhnya menghindari pukulan itu dengan elegan.

Tak lama kemudian pria itu melanjutkan serangannya, tangan kiri pria itu mengayun ke arah kepala Riski. Riski bisa menangkis serangan itu meski sedikit menyisakan nyeri di lengan kanannya setelah menangis pukulan itu.

Senyum angkuh itu terukir kembali di wajah pria brewok itu. "Lumayan juga. Sudah lama saya tidak bertarung lagi. Dan untungnya saya dapat sedikit hiburan malam ini."

Pria itu melancarkan ritme serangannya. Tubuhnya yang bongsor itu memang kuat. Tapi Riski dengan cerdik membaca pukulan itu dan—melancarkan serangan balasan. Nafas Riski sedikit berat karena tekanan yang dialaminya. Tapi hormon adrenalin yang bangkit saat itu memaksa Riski untuk menyerang. Pukulan hook dari tangan kanannya melengkung indah masuk dengan cepat seolah peluru senapan yang melaju. Pria itu tersentak, ia tak menyangka anak yang baru ia temui bisa membuat ia merasakan rasa sakit itu.

Riski tersenyum tipis. Seolah mengejek pria itu. "Mundur atau kamu akan menyesal, Bung."

Riski menyipitkan matanya kembali. Itu bukan sebuah gertakan. Riski memang sedang terpojok, tapi bukan berarti dia tidak bisa mengendalikan situasi.

Nafas pria itu menjadi sedikit berat. Ia akhirnya menunjukkan tanda kewaspadaan, seolah dia menyadari bahwa ia seolah berhadapan dengan petinju kelas kakap.

Tanpa aba-aba, dan dengan kecepatan yang mengkhianati postur tubuhnya yang kurus, Riski melompat—bukan sekadar melompat, namun seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya, melayang dalam kurva yang terukur sempurna. Kaki kanannya—kokoh, terlatih, dan diarahkan dengan ketepatan seorang ahli bedah—menghantam rahang lawan dengan bunyi yang hanya bisa disamakan dengan kayu pecah terkena palu godam.

Dentuman itu membuat pria besar tersebut terangkat sejenak dari tanah—hanya sejenak—sebelum tubuhnya terhuyung, dan ekspresinya berubah dari percaya diri menjadi semacam keterkejutan yang tulus. Ia tidak hanya merasakan sakit, tetapi juga rasa malu—dihantam oleh anak muda yang bahkan belum pernah ia dengar namanya.

Apakah ia akan melarikan diri?, tentu tidak. Diambilnya sebuah balok kayu, lalu ia hantamkan ke Riski. Meski Riski bisa menangkapnya, tapi hantaman itu sedikit membuat telapak tangannya merasakan nyeri.

Tanpa tinggal diam, Riski melanjutkan serangan ke arah dada pria itu menggunakan lututnya—dan membuat pria itu tertunduk lesu, nafasnya terhenti sejenak akibat serangan yang mengenai ulu hatinya. Tanpa berfikir panjang, Riski berlari ke arah wanita tadi—menarik tangannya dan mencoba untuk menjauhi pria yang tertunduk lemas itu.

"Lari," kata Riski pelan namun terdengar meyakinkan. Suaranya tak meninggi, tidak juga gentar—hanya datar, penuh ketegasan yang dibungkus ketenangan. Tangan kirinya menopang wanita itu, tubuhnya yang ringan tapi goyah bersandar lemah di sisi Riski, seperti daun yang kehilangan batangnya.

“Kau tahu jalannya, bukan?” lanjutnya, langkahnya tetap teratur meski bahu kirinya menanggung beban yang sedikit berat.

Wanita itu tersenyum kecil dengan lirih mengucapkan dengan pelan. “Iya... bacot.”

Riski tidak tersenyum. Ia tidak punya waktu untuk itu. Matanya lurus ke depan, menembus gelapnya lorong seperti seekor elang yang dengan mata tajamnya mengamati sekeliling.

Hujan turun perlahan. Udara dingin itu tak terasa di sela pelarian mereka itu. Bayangan mereka berdua memanjang di dinding bata tua, seolah mengikuti dalam diam.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah gang buntu. Tidak ada papan, tidak ada penanda. Hanya sepi, dan suara hujan yang mengalir di selokan kecil.

“Akhirnya... kita sampai,” ujar Riski tenang. Ia menurunkan tubuh wanita itu perlahan, menyandarkannya ke tembok, memastikan dia tetap sadar.

Wanita itu menoleh lemah. “Ini… kita di mana?”

Riski diam sejenak. Ia tidak langsung menjawab. Matanya mengamati—bekas jejak kaki, arah aliran air, ketinggian dinding, sudut lampu neon yang menggantung miring. Semuanya memberitahukan kepada Riski bahwa mereka sudah aman.

“Emmm... saya tahu di mana kita,” jawabnya pelan.

“Iya? Kita... di mana?” ulang wanita itu, suaranya samar.

Riski menatapnya. Wajahnya tidak berubah, tapi matanya berbicara. Dalam nada yang sama elegannya, ia menjawab, “Saya tahu kita... kenapa.”

Wanita itu mengerutkan kening. “Kenapa? Kok jadi kenapa?”

Riski menatap langit malam yang tertutup awan. Di bawah hujan yang terus turun, ia menarik napas perlahan—seperti seseorang yang sudah menyadari simpulan dari sebuah permainan yang tak ia mulai.

“Kita tersesat,” ucapnya tenang, “bukan karena jalan yang salah… tapi karena rencana yang tak lagi mengikuti jalurnya.”

Wanita itu menarik nafas panjang yang dalam. Menyadari ia sedang tersesat bersama seorang pria asing di sampingnya.

mereka mencari tempat istirahat. Ketika sampai, mereka duduk sejenak. Tampak wanita itu sedang kedinginan. Riski pun tersenyum sembari memakaikan wanita itu jaket yang ia kenakan tadi.

(Quotes Dranyyx) -Takdir itu unik. Maka nikmatilah-

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!