Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Suasana kelas sunyi.
Pak Alvan berdiri di depan kelas dengan gaya khasnya tenang, tapi tajam. Di papan tulis, barisan teori dan skema konsep struktur dinamis hampir memenuhi seluruh bidang. Spidol hitam di tangannya baru saja berhenti menulis.
“...dan inilah konsep dasar yang menjadi pondasi utama. Jelas?” tanyanya, walau bukan bertanya—lebih seperti mengingatkan bahwa seharusnya jelas.
Seisi kelas mengangguk pelan. Tak ada yang berani memotong.
Kecuali satu.
Naya.
Ia terlihat sibuk sendiri, menunduk sambil menulis dan menggambar sesuatu di buku catatannya. Bahkan sesekali mulutnya bergerak, entah sedang komat kamit atau menirukan suara kartun.
Pak Alvan memperhatikannya dengan tatapan datar.
Lalu,
“Naya.”
Seketika kepala-kepala menoleh.
Naya langsung berhenti menulis, menoleh dengan senyum canggung. “Iya, Pak?”
“Silakan ke depan. Jelaskan ulang apa yang saya sampaikan barusan.”
Beberapa mahasiswa saling melirik. Arya menahan napas. “Duh, ini bakal jadi tontonan.”
Naya berdiri, membawa dirinya ke depan. Langkahnya santai, bahkan sempat memutar spidol di tangannya seperti sulap.
Sampai di depan kelas, ia menatap Dosennya terlebih dulu.
“Kalau saya bisa jawab, saya dapat nilai tambahan?”
Alvan tersenyum tipis. “Kalau kamu bisa jawab... saya pertimbangkan untuk tidak mengurangi nilai kamu.”
“Ah, gitu ya…”ucapnya pelan dan menatap papan tulis
“Jadi… intinya…”
Ia menoleh ke kelas, “Ini semua... rumus untuk mengingatkan kita bahwa hidup penuh tekanan, tapi kalau strukturnya seimbang, ya nggak akan ambruk.”
Tawa pelan terdengar. Arya bahkan nyaris menyemburkan air minum.
Pak Alvan hanya menatap diam.
Tapi Naya tak berhenti.
Ia menoleh lagi ke papan, lalu mulai bicara dengan nada berbeda lebih tenang. Lebih serius.
“Struktur dinamis itu bicara tentang sistem yang berubah-ubah, tapi tetap punya aturan internal. Di sini, Bapak jelaskan soal respons struktur terhadap beban yang bergerak atau berubah dalam waktu tertentu. Ini penting, karena dalam dunia nyata, tekanan jarang datang dari satu arah. Bisa angin, getaran, atau bahkan tekanan sosial...”
Beberapa mahasiswa mulai mengangguk-angguk pelan. Ada yang langsung menyalin kalimat Naya ke buku catatan.
Naya melanjutkan dengan mantap:
“Jadi... bukan cuma hafal rumus. Tapi paham konsepnya. Kalau tekanannya nggak seimbang, sistem bisa gagal. Dan tugas kita bukan cuma menghitung tapi memastikan struktur itu... tetap berdiri.”
Hening.
Sesaat, kelas benar-benar diam. Bahkan Pak Alvan tak menyela. Matanya menatap naya lama.
Naya meletakkan spidol. “Begitu kan, Pak? Atau saya perlu ditambah tugas karena pembuka saya absurd?”
Alvan mengerjapkan mata sekali, lalu menanggapi pelan, “Saya catat sebagai gaya retoris.”
Beberapa mahasiswa terkekeh pelan.
Pak Alvan hanya berkata, “Silakan duduk dan untuk masalah nilai biar saya pertimbangkan lagi".
Naya kembali ke bangku. Arya langsung menyikut lengan bajunya. “Nay, jujur... lo ngapain sih selama ini, jadi pelawak kampus? Ternyata bisa pinter juga loh.”
Naya menyeringai. “Gue cuma lagi males jadi serius tiap hari. Tapi bukan berarti otak gue libur.”
____
Restoran Bintang Lima, Ruang Privat Sore Hari
Sebuah ruang eksklusif di lantai atas restoran mewah, dengan pemandangan kota yang terlihat dari kaca lebar. Meja bulat berbalut linen putih, lilin kecil menyala di tengah, dan set peralatan makan dari perak mengilap. Suasananya hening, canggung, tapi penuh tekanan tersembunyi.
Pak Firman dan Bu Mita duduk berdampingan, berhadapan langsung dengan pasangan Pak Hermawan dan Bu Rina orang tua Alvan, sang dosen killer yang dikenal tak kenal kompromi.
Percakapan berjalan pelan. Formal. Tapi sesekali menyentil luka yang belum kering.
“Pertemuan makan malam kemarin memang... di luar ekspektasi kami,” ucap Pak Hermawan sambil menyesap teh. “Sikap Naya sangat… mengejutkan.”
Bu Rina menambahkan dengan lembut, meski terasa tegas, “Kami tidak ingin anak kami terikat dalam hubungan yang dimulai dengan ketegangan seperti itu.”
Pak Firman menarik napas panjang, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Saya mohon maaf atas kelakuan Naya malam itu. Terus terang, saya sendiri sangat kecewa. Tapi izinkan saya katakan... bahwa naya tidak lah seperti itu".
Bu Mita, yang sejak tadi diam, ikut bicara sambil menyunggingkan senyum hangat.
“Naya itu keras kepala, memang. Tapi... hatinya lembut. Dia hanya belum terbiasa dengan situasi seperti itu. Kalau diberi ruang dan waktu, saya percaya dia bisa paham.”
Namun di balik senyum itu, dalam hati Bu Mita menyimpan kalimat yang tidak terucap:
> “Kalau anak itu cepat menikah dan keluar dari rumah ini... segalanya akan lebih mudah untukku. Tak ada lagi yang menghalangi.”
Pak Hermawan mengerutkan kening sedikit. “Tapi Alvan bukan tipe yang suka... dipaksa dalam hal seperti ini.”
Pak Firman langsung menyambung dengan nada lebih serius.
“Saya tidak ingin memaksakan. Tapi saya percaya, ini perjodohan yang saling menguntungkan. Dante adalah sosok yang bisa menuntun dan mendidik. Dan Naya… meski terlihat keras, dia sebenarnya sedang mencari arah.”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan.
“Dia sedang masa skripsi. Tekanan tinggi, dan saya yakin... kemarin itu hanya luapan emosinya. Bukan penolakan sesungguhnya.”
Bu Rina tampak berpikir, tapi tidak menutup kemungkinan.
“Lalu bagaimana langkah kalian selanjutnya?”
Bu Mita ikut bicara sambil tersenyum lagi, “Kami akan bicara baik-baik dengan Naya. Kami pastikan dia mau menerima perjodohan ini. Dan... kami tidak keberatan jika dante ingin berbincang langsung, dalam konteks lebih santai. Tanpa tekanan.”
Pak Hermawan dan Bu Rina saling bertukar pandang. Lalu akhirnya Pak Hermawan mengangguk pelan.
“Baik. Tapi ini bukan hanya soal restu. Kami juga akan bicara dengan Akvan. Kami tidak akan memaksa jika dia menolak.”
Pak Firman tersenyum tipis, namun jelas lega.
“Itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih atas kebijaksanaan Bapak dan Ibu.”
Di ruang mewah itu, suara sendok menyentuh piring mengiringi langkah rencana baru.
Sementara itu, Naya tidak tahu bahwa di balik meja-meja mahal dan senyum diplomatis, masa depannya sedang diperjualbelikan atas nama “kedewasaan”.
Dan Alvan belum tahu bahwa kedua orang tuanya sedang mempertimbangkan untuk menjadikannya calon suami mahasiswi sendiri.
___
🍒🍒🍒