kisah cinta anak remaja yang penuh dengan kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Frustasi
Dara tampaknya tidak memperdulikan Andra yang tengah memperkenalkan diri, tatapan Dara tertuju pada Dela. "Del, kenapa dia duduk di tempat gue?!" tanyanya, suaranya meninggi, raut wajahnya memerah menahan amarah. Tatapannya terlihat tajam, menusuk, menunjukkan betapa besar kekesalannya.
Semua pasang mata di dalam kelas menatap ke arah pertikaian tersebut. Dela menghela napas panjang untuk menghadapi amarah Dara yang masih belum reda. "Ra, tenang dulu, biar gue jelasin ya, lo jangan marah-marah," ucap Dela dengan lembut dan tegas.
"Gimana gue ngak marah Del? Lo tahu kan kalo gue ngak mau duduk sama siapapun, termasuk sama dia!" Seru Dara, jari telunjuknya menunjuk ke arah Andra yang masih duduk dengan tenang, mengamati Dara dengan senyum tipis di bibirnya.
"Gue juga udah bilang sama Bu Ani kalo lo mau duduk sendiri, tapi kan lo lihat sendiri ngak ada tempat duduk yang kosong Ra," jawab Dela, suaranya terdengar sedikit frustasi. Ia menyadari penjelasannya mungkin tidak cukup memuaskan bagi Dara.
Dara mendesah kesal, mengeluarkan napas panjang yang menunjukkan kejenuhannya. Sementara itu, Andra masih terus memperhatikan Dara, senyum tipis masih terpatri di bibirnya. Dalam pandangannya, Dara terlihat lucu ketika sedang marah.
"Udah Ra, terima aja, emang lo mau kalau Bu Ani jadi Bu kunti? Kalo lo mau siap-siap aja lo kena ceramah sampe pagi," kata Sella, suaranya sedikit bercanda namun tetap berusaha menenangkan Dara, mengingat betapa menyeramkannya Bu Ani jika sudah marah.
Dengan berat hati, Dara akhirnya mengalah. Ia menarik kursinya dengan kasar, suara gesekan kaki kursi dengan lantai terdengar nyaring, menunjukkan kekesalannya yang belum sepenuhnya mereda. Ia terpaksa duduk berdampingan dengan Andra, lelaki menyebalkan yang menurutnya telah merusak harinya.
Setelah mendudukkan pantatnya, Dara menyembunyikan wajahnya di antara kedua lipatan tangannya yang berada di atas meja. Kepalanya terasa berat, kelelahan yang teramat sangat mencengkeramnya. Hari ini, energinya terkuras habis oleh serangkaian peristiwa yang membuatnya frustrasi.
Andra menyandarkan dagunya di tangan, mengamati Dara dari samping. Tatapannya tenang, mengamati setiap gerakan kecil Dara yang masih menunjukkan sisa-sisa kekesalan.
Della dan Sella saling bertukar pandang, mengeluarkan napas lega. Amarah Dara yang tadinya membara, akhirnya mereda. Mereka memutuskan untuk tidak mengganggu Dara lebih lanjut, memberinya ruang dan waktu untuk menenangkan diri.
Rasa gelisah kembali menerjang hatinya. "Hati gue bener-bener ngak tenang banget, kalau lagi kaya gini pilihan gue cuma mau ke UKS," ucap Dara dalam hatinya.
Saat itu juga Dara mengangkat wajahnya dan bangkit dari duduknya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Dara melangkah keluar kelas dengan langkah gontainya. Kelelahan fisik dan mental yang saat ini dia rasakan.
Della, yang memperhatikan kepergian Dara, segera memanggilnya. "Ra, mau kemana lagi?" tanyanya, suara sedikit khawatir.
Langkah Dara terhenti saat mendengar Dela memanggilnya. "UKS, pusing kepala gue," ucap Dara dengan suara lesunya.
Sella, merasa ia juga bosan di dalam kelas lebih baik ikut saja dengan Dara. "Ok, gue ikut, mau tidur," ucap Sella dengan suara riangnya.
Dara hanya mengangguk lemah, menyatakan persetujuannya. Melihat itu, Della pun memutuskan untuk menemani kedua sahabatnya ke UKS.
Sebuah senyum tipis mengembang di bibir Andra saat melihat Dara pergi. "Lucu juga," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar, namun tatapannya mengikuti kepergian Dara.
Di ruang UKS yang sunyi, ketiga gadis itu berbaring di ranjang. Suasana hening hanya diiringi suara napas mereka yang teratur. Setelah beberapa saat, Della angkat bicara, suaranya lembut dan penuh perhatian. "Ra, kalau lo ada masalah, cerita ke kita. Jangan dipendam sendiri."
Dara menutup matanya dengan lengan kirinya. "Del, masalah gue ngak jauh-jauh dari orang tua gue," ucapnya lirih, suara itu bergetar samar, mengungkapkan beban yang selama ini ia rasakan. Bayangan kedua orang tua yang selalu tenggelam dalam pekerjaan mereka, menghantui setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Dela dan Sella saling bertukar pandang, mereka paham akan permasalahan yang dialami oleh Dara, tetapi Dara tidak pernah menceritakan garis besar permasalahannya setiap ia mendapatkan masalah. "Gue tahu Ra, tapi lo coba cerita ke kita biar hati lo tenang dan pikiran lo nantinya juga ikutan tenang," saran Dela, ia tidak mau sahabatnya itu larut dalam keterpurukannya.
Dela dan Sella meraih kedua tangan Dara, memberikan kekuatan agar Dara lebih tegar dalam menghadapi permasalahan yang ia alami. "Iya Ra, kita ada buat lo, jangan sungkan buat cerita," ucap Sella dengan pengertian.
Dara menatap kedua sahabatnya dengan haru. "Makasih ya, kalian bener-bener temen gue, kalau ngak ada kalian gue ngak tahu bisa menghadapi semua ini atau engak." ucapnya lirih, suaranya terdengar bergetar. Ia merasa sangat bersyukur memiliki teman yang sangat perhatian kepada dirinya.
Dengan gerakan serentak, Dela dan Sella menarik tubuh Dara ke dalam pelukan hangat mereka. Pelukan itu seakan memberikan kekuatan. "Ra, lo jangan ngomong kya gitu, lo juga kuat karena diri lo sendiri, kita sebagai pelengkap,"
Tiba-tiba, suara cemas menggema dari balik pintu ruang UKS, "Dara! Kamu di mana Dara!" Nada panik yang jelas terdengar memecah kesunyian ruangan.
Seseorang itu membuka tirai dan tampaklah Dara yang berada dalam pelukan kedua temannya . "Dara, cintaku kamu kenapa?" ucap seseorang itu menghampiri Dara yang tengah menatapnya sengit.
Kedua tangannya seakan ingin memeluk Dara tetapi kedua temannya membentuk dinding penghalang untuk orang itu.
"Mau apa lo?!" tanya Sella dengan tegas dan tatapan mata yang tajam.
"Gue mau ketemu sama Dara, minggir lo pada!" ucap orang itu mencoba menepis mereka yang menghalangi dirinya.
"Ngak! Dara saat ini ngak mau diganggu sama siapapun, termasuk lo!" ucap Dela dengan sengit.
Orang itu berusaha mendorong Sella dan Dela. "Minggir! Gue mau ke Dara!" ucapnya lagi dengan tegas, namun kekuatan mereka tak bisa diragukan lagi. Orang itu tak bisa menyingkirkan Sella dan Dela dari hadapannya.
"Ngak!" ucap Dela dan Sella serentak, suaranya terdengar sangat menggema di ruangan itu.
Mereka terus bertengkar hingga membuat kepala Dara terasa sakit. "Diam!" teriak Dara dengan suara lantangnya membuat mereka seketika itu terdiam. "Zian lo lebih baik keluar!" ucap Dara dengan lantang pada orang itu yang bernama Zian.
Zian Giorgino. Nama itu saja sudah cukup untuk membuat sebagian besar siswi di sekolahnya berdebar-debar. Zian, mantan kapten tim basket dengan postur tubuh atletis yang sempurna, wajah tampan yang memesona, mata sipit yang tajam, kulit putih bersih yang selalu terawat, bibir tipis yang sering melontarkan senyum menawan, dan potongan rambut undercut yang selalu rapi. Ia adalah definisi sempurna dari pria idaman, setidaknya bagi sebagian besar wanita. Namun, bagi Dara, Zian hanyalah sebuah paradoks. Sebuah keindahan yang membungkus kepribadian yang buruk.
Ketampanan Zian seringkali menjadi senjata andalannya untuk mendekati wanita. Ia seperti kupu-kupu yang hinggap dari satu bunga ke bunga lain, menikmati manisnya madu tanpa pernah benar-benar menetap. Rangkaian kisah asmaranya yang silih berganti menjadi bualan di antara teman-temannya.
Namun, Dara selalu menjadi satu-satunya bunga yang tak pernah mampu ia taklukkan. Ia mengejar Dara dengan gigih, tetapi setiap pendekatannya selalu berakhir dengan penolakan tegas dari Dara.
Sikap Zian yang menurut Dara arogan dan tengil menjadi alasan utama penolakannya. Bukan hanya karena kebiasaan Zian yang gemar bergonta-ganti pasangan, tetapi juga karena sikapnya yang seenaknya sendiri dan seringkali melukai hati orang lain.
Baginya, ketampanan Zian hanyalah topeng yang menutupi kepribadiannya yang dangkal dan egois. Dara melihat jauh melampaui keindahan fisiknya, menembus topeng tersebut dan melihat ketidaksempurnaan yang tersembunyi di baliknya.
"Dara," suara Zian terdengar seperti rengekan anak kecil, wajahnya dikerutkan dengan ekspresi cemberut yang dibuat-buat. "Kok kamu tega banget sih sama aku?"
Alih-alih merasakan simpati, Dara justru merasa geli melihat sikap manja Zian yang kelewat dibuat-buat itu. Ekspresi wajah Zian yang biasanya penuh dengan percaya diri kini terlihat begitu lemah dan menyedihkan, tapi bagi Dara, itu semua tak lebih dari sandiwara.
"Jijik, tahu nggak?" Dara berkata dengan nada datar, suaranya dingin dan penuh penolakan. "Pergi sana! Gue mual lihat muka lo!" Kata-katanya tajam, menusuk seperti pisau. Ia tidak ragu untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Tidak ada ruang untuk basa-basi.
"Muka tampan gini kok bikin kamu mual sih?" Zian masih mencoba berkelit, suaranya terdengar sedikit kesal, tapi ada juga nada sarkasme yang samar. Ia masih sulit menerima penolakan Dara. Ia merasa ketampanannya seharusnya cukup untuk menaklukkan siapa pun.
Dara menghela napas panjang, rasa frustasi memenuhi dadanya. Tingkah laku Zian yang menyebalkan itu benar-benar membuat kepalanya berdenyut-denyut. Ia merasakan gelombang pusing yang semakin intens. "Del, Sell," suaranya terdengar lelah, "kita pulang aja, yuk. Pusing banget kepala gue. Rasanya ada orang gila yang berkeliaran di hidup gue." Kata-kata itu keluar tanpa beban, mengungkapkan rasa frustasinya yang sudah mencapai titik puncak.
Sebelum Dela atau Sella sempat menjawab, Zian menyela dengan suaranya yang lantang, "Biar aku antar kamu." Tawarannya terdengar begitu percaya diri, seolah-olah ia berhak atas Dara.
Sella, yang sedari tadi memperhatikan interaksi keduanya dengan tatapan tajam, langsung membentak, "Kecoa! Nggak boleh nimbrung Mendingan lo pergi sana!" Suaranya keras dan penuh amarah, mengungkapkan rasa tidak sukanya pada Zian yang begitu jelas. Ia membandingkan Zian dengan hama yang menjijikkan.
"Heh! Mulut lo itu kayak pantat sapi, berani banget ngatain gue kecoa?!" Zian membalas dengan nada tinggi, wajahnya memerah menahan amarah. Ia merasa tersinggung dengan perkataan Sella yang kasar dan menghinanya. Ia tak terima dihina seperti itu, apalagi di depan Dara. Perdebatan kecil itu mulai memanas, menambah beban yang sudah dipikul Dara.