NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Hari itu langit mendung, udara terasa lembap seperti pertanda hujan akan turun.

Risa baru saja selesai mengecek komentar terbaru di platform menulis ketika suara bel berbunyi dari pintu utama.

Ia berjalan ke arah pintu dengan langkah pelan. Saat membukanya, matanya membelalak.

“Mama? Papa?” gumamnya nyaris tak percaya.

Di hadapannya berdiri sepasang suami istri paruh baya, wajah mereka tegas namun hangat.

Orang tua Aditya. Mereka tinggal di luar negeri, jarang pulang, dan belum pernah sekalipun datang sejak Risa dan Aditya menikah.

“Kamu Risa, kan?” tanya sang ibu sambil menatap lekat, suaranya datar.

Risa mengangguk. “Iya, Bu. Silakan masuk...”

Mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Risa menyiapkan minuman dengan gugup, hatinya tidak tenang.

Tak lama kemudian, Aditya keluar dari kamarnya dan terkejut, lalu segera menghampiri mereka.

“Papa.. Mama... kenapa nggak kasih kabar dulu?” ucapnya setengah panik.

Sang ayah menatapnya dingin. “Kami ingin melihat sendiri. Bagaimana kamu... dan pernikahan ini.”

Suasana berubah kaku. Risa hanya bisa duduk diam di ujung sofa, mencoba tetap tersenyum meski tubuhnya terasa kaku.

“Kami dengar banyak dari keluarga. Dan kami ingin tahu... apakah kamu bahagia, Aditya?” tanya sang Mama sambil menatap anaknya tajam.

Aditya terdiam.

Risa menunduk, seolah tahu bahwa kedatangan ini bukan semata untuk bersilaturahmi, melainkan untuk menilai… dan mungkin memutuskan sesuatu.

“Kami tidak melihat kebahagiaan di rumah ini, bahkan sejak kami masuk,” ujar sang Papa tegas.

Tak ada yang langsung menjawab. Hanya diam... dan ketegangan yang menggantung di udara.

Setelah orang tuanya naik ke kamar tamu untuk beristirahat, Aditya menarik napas panjang lalu menghampiri Risa yang sedang membereskan cangkir di dapur.

“Risa…” ucapnya pelan tapi tegas.

Risa menoleh, sedikit terkejut dengan nada suara itu.

“Tolong, pindahkan barang-barang mu ke kamarku. Sementara saja. Selama mereka di sini, aku nggak mau mereka kecewa.”

Risa mematung. Kata-kata itu terasa pahit di telinganya.

Bukan karena diminta tinggal bersama suaminya itu wajar.

Tapi karena alasannya, ‘aku nggak mau mereka kecewa’. Bukan karena cinta, bukan karena ingin… tapi karena menjaga citra.

Namun ia hanya mengangguk pelan.

“Baik. Aku akan bereskan malam ini.”

Aditya tak menjawab. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu berbalik saat terdengar suara dari atas.

“Aditya, ke sini sebentar,” panggil Mamanya dari tangga.

Aditya naik, dan Risa mendengar samar-samar percakapan mereka dari kamar tamu.

“Kami tahu kamu bukan anak yang mudah menunjukkan perasaan. Tapi kami ingin tahu… kamu bahagia dengan pernikahan ini?”

“Kami tidak ingin kamu menjalani hidup hanya karena rasa bersalah.”

Risa yang mendengarnya dari bawah hanya bisa menunduk.

Hatinya terasa perih. Ia ingin menjerit bahwa semua ini bukan hanya tentang rasa bersalah tapi juga tentang janji. Tentang Kirana. Tentang cinta yang dipaksa tumbuh di tanah yang tandus.

Risa selesai memindahkan koper kecil, tumpukan pakaian, dan beberapa barang pribadinya ke kamar Aditya.

Kamarnya terasa lebih sempit kini, lebih penuh, tapi juga lebih dingin, bukan karena suhu, tapi karena jarak emosional yang tak bisa dijembatani.

Ia duduk di tepi ranjang, diam, mencoba menenangkan hati yang mulai gelisah.

Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk.

Tok tok...

“Masuk, Ma,” ucap Aditya dari balik pintu yang tak terkunci.

Pintu terbuka pelan. Sang Mama melangkah masuk dan langsung tersenyum melihat keduanya berada dalam satu kamar.

“Kamar kalian terasa hangat, seperti rumah yang utuh.”

Risa hanya tersenyum kecil, menunduk sopan. Aditya pun ikut mengangguk, walau matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa diungkapkan.

“Mama harap kalian saling jaga, ya. Rumah tangga itu tentang saling memahami. Dan kalian kelihatan bahagia sekali,” tambah ibunya sebelum keluar dari kamar.

Begitu pintu tertutup kembali, hening langsung menyelimuti ruangan. Risa menatap lurus ke dinding, dan perlahan berkata lirih.

“Lucu, ya… bagaimana orang bisa melihat kebahagiaan dari hal yang sebenarnya tidak ada.”

Aditya tidak menjawab. Ia hanya berdiri menatap jendela, membiarkan malam menelan semua yang tak sanggup diucapkan.

Siang itu, matahari bersinar cerah seolah tak tahu ada badai yang sedang merayap diam-diam di dalam hati dua insan.

Mama dengan semangat mengajak makan siang di luar, mengatakan ada rumah makan favoritnya yang ingin ia kunjungi.

Papa menyetir, mama duduk di samping, dan Risa duduk di belakang bersama Aditya.

Suasana di dalam mobil sunyi. Hanya suara AC dan deru kendaraan dari luar yang terdengar.

Tak ada percakapan. Tak ada tawa.

Sampai akhirnya suara mama memecah keheningan.

“Kalian kenapa diam saja dari tadi?” tanyanya sambil menoleh sebentar ke belakang.

“Apa sedang bertengkar?”

Risa terdiam, kaget dan gugup. Ia belum sempat menjawab saat tiba-tiba Aditya meraih tangannya—hangat, tiba-tiba, dan mengejutkan.

“Nggak, Ma… kami baik-baik saja,” jawab Aditya cepat sambil tersenyum.

Risa melirik ke arah genggaman itu. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena tersentuh, tapi karena tahu... genggaman itu bukan karena cinta. Itu hanya cara menyelamatkan kebohongan mereka.

“Oh, Mama senang dengarnya. Pegangan tangan seperti itu yang Mama suka lihat. Romantis sekali,” kata Mama sambil tertawa kecil.

Risa memaksakan senyum. Sementara Aditya tetap menatap lurus ke depan, masih menggenggam tangan Risa, tapi tak ada kata lain yang keluar dari bibirnya.

Mobil melaju menuju rumah makan. Dari luar, mereka terlihat seperti pasangan yang saling mencintai.

Tapi hanya mereka berdua yang tahu, betapa rapuh dan palsunya semua ini.

Meja makan dipesan di dekat jendela, dengan pemandangan taman kecil dan kolam ikan.

Mama tampak senang, terus bercerita tentang masa kecil Aditya, tentang liburan mereka dulu, seolah semuanya berjalan sempurna.

Risa hanya bisa tersenyum dan mengangguk, menanggapi dengan sopan meski pikirannya melayang ke tempat lain.

Tiba-tiba, Aditya duduk di sebelahnya dan mengambil tangan Risa, lalu menciumnya perlahan.

“Terima kasih sudah sabar mendampingi aku,” ucapnya pelan, cukup keras agar kedua orang tuanya mendengar.

Risa terkejut. Pandangannya langsung jatuh pada wajah Aditya, seolah ingin bertanya: Kenapa? Untuk apa?

Tapi ia tetap diam.

“Aduh… itu romantis sekali,” seru mama sambil tersenyum haru. “Kalian pasangan yang saling melengkapi. Ibu bisa melihat itu.”

Risa menunduk, menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca. Bukan karena tersentuh, tapi karena sedih—bahwa semua ini hanya sandiwara yang harus ia jalani untuk mempertahankan janji pada seseorang yang kini sudah tiada.

Tak lama kemudian, makanan datang seperti ikan bakar, sayur asam, sambal terasi, dan seporsi nasi hangat. Aroma sedap memenuhi meja, tapi bagi Risa, semuanya terasa hambar.

Ia makan dalam diam, mencoba menelan bukan hanya makanan... tapi juga semua kepura-puraan yang mulai menusuk jiwanya.

Risa meletakkan sendoknya perlahan. Suaranya nyaris tenggelam di tengah riuhnya restoran saat ia berkata,

“Ma, Pa… permisi sebentar, aku ke toilet dulu.”

“Iya, Sayang. Jangan lama-lama ya,” jawab Mama dengan senyum lebar, masih dibuai kebahagiaan semu yang terpancar dari drama meja makan tadi.

Risa melangkah cepat ke toilet wanita. Begitu pintu tertutup dan memastikan dirinya sendirian, ia masuk ke salah satu bilik, mengunci pintu, dan menutup mulut dengan tangan.

Isaknya pecah.

Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh juga. Ia membungkuk, menyandarkan kepala di dinding dingin.

"Sampai kapan aku harus berpura-pura seperti ini, Kirana?"

Ia bergumam pelan, suara serak bergetar.

Tangisnya bukan hanya karena Aditya, bukan hanya karena cinta yang tak berbalas… tapi karena luka yang terus dibiarkan terbuka, demi memenuhi janji pada seseorang yang kini hanya tinggal nama di batu nisan.

Ia usap air matanya, berusaha menenangkan diri. Menatap cermin, memaksakan senyum. Wajahnya harus tetap tenang.

Ia tidak boleh terlihat lemah di depan orang tua Aditya. Tidak sekarang.

"Kamu kuat, Ris… demi Kirana."

Ia keluar dari toilet beberapa menit kemudian dengan mata sedikit sembab, tapi wajahnya kembali datar tanpa cela, tanpa tanya.

Saat Risa membuka pintu toilet wanita dan melangkah keluar, ia terkejut melihat Aditya berdiri di dekat dinding, bersandar dengan tangan menyilang di dada.

Matanya menatap Risa tajam, tidak seperti sebelumnya.

“Ris… kamu nangis?” tanyanya pelan, tapi nadanya dingin.

Risa buru-buru menunduk, menyeka sisa air mata di sudut matanya. Ia tidak menjawab.

Aditya mendesah pelan, lalu menggeleng pelan.

“Kamu nggak usah lebay, Ris. Ini semua cuma sementara. Nggak perlu terlalu terbawa perasaan.”

Ucapan itu menusuk Risa lebih dalam dari yang bisa ia perkirakan.

Ia menatap Aditya, matanya merah namun penuh ketegasan.

“Kamu pikir aku menikmati semua ini? Kamu pikir gampang pura-pura jadi istri bahagia di depan orang tuamu, sementara kamu bahkan nggak pernah anggap aku sebagai istrimu?”

Aditya terdiam, terpojok oleh kemarahan tenang Risa.

“Aku lakukan semua ini karena Kirana. Karena janji. Tapi kamu… kamu bahkan nggak mencoba menghargai perasaan orang yang berjuang menahan semua ini.”

Risa melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Langkahnya ringan, tapi hatinya berat.

Aditya masih berdiri di sana, terdiam dan untuk pertama kalinya, ia mulai merasa bersalah.

Risa menarik napas panjang sebelum kembali ke meja makan.

Ia tahu, di sana ada dua pasang mata yang menantikan kebahagiaan palsu yang harus terus mereka mainkan.

Ia menatap cermin sekali lagi, memastikan wajahnya kembali tenang, lalu melangkah keluar dari lorong menuju meja makan.

Begitu sampai, Mama langsung menyambutnya dengan senyum hangat.

“Nah, itu dia pengantinnya,” canda Mama sambil tertawa kecil. “Sampai Papa tadi bilang, kamu nggak kabur kan, Ris?”

Risa ikut tertawa, walau tawanya hampa. Ia duduk kembali di samping Aditya dan tersenyum kecil.

“Maaf, agak lama.”

Papa mengangguk sambil melanjutkan makan. Aditya tidak mengatakan apa-apa, tapi sekilas melirik ke arah Risa.

Wajah gadis itu tampak tenang, bahkan tersenyum, seolah tak ada apa-apa yang terjadi beberapa menit lalu.

“Bagaimana dia bisa sekuat itu?” pikir Aditya diam-diam.

Mama kembali berbicara seru tentang rencana mereka tinggal sementara di kota, dan betapa bahagianya melihat anak dan menantunya bersama.

“Mama selalu berdoa agar kalian langgeng. Rumah tangga itu harus saling jaga, ya.”

Risa mengangguk pelan.

“Iya, Ma. Saya akan jaga Aditya... dengan sebaik mungkin.”

Kata-kata itu keluar dengan lembut, tapi hanya Risa yang tahu, di balik senyum itu ada luka yang terus ia bawa pulang.

Perjalanan pulang dari rumah makan berlangsung dalam keheningan.

Papa dan Mama tampak lelah tapi bahagia, duduk di kursi depan sambil membahas makanan yang mereka nikmati siang itu.

Sementara itu, di kursi belakang, Aditya dan Risa kembali dalam diam.

Tak ada genggaman tangan kali ini, tapi tatapan sekilas sempat saling bertemu namun segera dialihkan.

Sesampainya di rumah, Mama langsung naik ke lantai atas, pamit untuk istirahat lebih awal. Papa menyusul beberapa saat kemudian.

Risa berdiri canggung di depan pintu kamar Aditya.

Aditya membuka pintu, menoleh ke Risa, dan tanpa berkata apa-apa, ia masuk lebih dulu.

Risa menarik napas dalam-dalam dan mengikuti dari belakang.

Lampu kamar sengaja dibiarkan redup. Risa berjalan pelan ke sisi kasur, menarik selimut dan berbaring membelakangi Aditya.

Tubuhnya menegang, tapi ia mencoba tetap terlihat tenang.

Aditya, yang duduk di tepi ranjang, hanya menatap punggung Risa dalam diam.

“Kamu nggak perlu takut. Aku nggak akan ganggu kamu,” ucap Aditya lirih.

Risa tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, menahan segala perasaan yang bergejolak di dalam dirinya.

"Semua ini hanya sementara..." bisiknya dalam hati.

"Selama Mama dan Papa di sini, aku harus kuat. Harus tetap berpura-pura..."

Dan malam itu pun berlalu dalam sunyi. Dua insan yang pernah dipersatukan oleh janji, kini terjebak dalam sandiwara di tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi cinta.

1
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!