Menikah?
Setelah mengajaknya berpacaran secara tiba-tiba, kini Tama mengajak Embun menikah.
"Pak Tama ngomong apa sih? nggak usah aneh-aneh deh Pak," ujar Embun.
"Aku serius, Embun. Ayo kita menikah!"
Sebenarnya tidak seharusnya Embun heran dengan ajakan menikah yang Tama layangkan. Terlepas dari status Dosen dan Mahasiswi yang ada diantara mereka, tapi tetap saja saat ini mereka berpacaran. Jadi, apa yang salah dengan menikah?
Apakah Embun akan menerima ajakan menikah Tama? entahlah, karena sejujurnya saat ini Embun belum siap untuk menikah.
Ditambah ada mantan kekasih Tama yang belum move on.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke Rumah Embun
Tama POV
Setelah mengantarkan Amara ke kampus, aku yang awalnya berencana untuk pergi ke kantor akhirnya putar arah menjadi ke rumah Embun. Meskipun apa yang aku lakukan ini seperti tampak hanya karena permintaan Amara, sebenarnya tidak. Aku sangat khawatir saat Amara mengatakan kalau saat ini Embun sedang sakit.
Saat sarapan tadi, rasanya aku ingin langsung ke rumah Embun untuk menemui gadis itu. Namun tentu saja aku tidak bisa melakukannya. Belum ada keluargaku yang tau kalau sebenarnya aku memiliki ketertarikan khusus kepada Embun. Yang mereka tau, selama ini sikapku kepada Embun justru cenderung dingin dan formal.
Ya, aku akui selama 2 tahun ini memang seperti itulah hubunganku yang terjalin dengan Embun. Tidak lebih hanya sekedar hubungan antara dosen dan mahasiswanya saja. Kalian semua juga sudah tau kan?
Dan sebenarnya kalau Embun sudah menerima perasaanku, jelas aku tidak akan menyembunyikan hubungan kita. Kenapa? ya karena aku bangga memiliki Embun. Jadi aku rasa tidak perlu ada yang harus disembunyikan. Tapi--- sekarang kan hubungan kita masih hanya sebatas dosen dan mahasiswa saja.
"Beli bubur aja kali ya? di rumah Embun belum tentu ada makanan. Dan gue juga enggak bisa masak soalnya," gumamku seorang diri.
Untuk bisa minum obat, Embun tentu saja harus makan terlebih dahulu kan?
"Apa beli obat sekalian juga? kalau di rumah Embun enggak ada obat gimana?" gumamku lagi, "tapi Embun sakitnya apa? cuma pusing atau sama demam juga ya?"
Aku benar-benar bingung saat ini. Entah kenapa aku merasa otakku yang biasanya pintar mendadak tidak berfungsi sama sekali.
"Udahlah, yang penting beli bubur dulu buat sarapan Embun."
Akhirnya aku memutuskan untuk membeli bubur ayam yang aku temukan didekat taman kota. Aku sih berharap semoga saja bubur ayam itu enak ya. Karena aku benar-benar tidak tau harus membelinya dimana. Toh dari penampilan penjual dan gerobak bubur ayamnya terlihat bersih. Berdasarkan penilaian itu, aku sangat berharap kalau bubur ayam nya pun tidak akan mengecewakan.
"Pak, beli bubur ayamnya 1 ya," ujarku.
"Dibungkus atau dimakan disini Mas?"
"Bungkus aja," jawabku.
Bapak penjual bubur ayam menganggukkan kepala.
"Mau tambah sama sate-satean nya enggak Mas?"
Terlihat ada sate telur puyuh, sate usus, sate kulit, dan sate biasa. Aku mengambil masing-masing 3 tusuk persatean itu Jadi total aku mengambil 12 tusuk sate.
"Ini buburnya enggak mau tambah lagi Mas?" ujarnya saat melihat aku mengambil cukup banyak sate.
Aku menggelengkan kepala.
"Enggak Pak, 1 aja," jawabku.
Lagi pula aku udah sarapan, dan tidak berencana untuk makan lagi. Jadi aku hanya membeli satu saja untuk Embun. Dan karena aku tidak tau Embun suka sate yang mana, makanya aku mengambil semua jenis yang ada.
"Buburnya 10 ribu, sama satenya 12 tusuk 2 ribuan. Jadi 10 sama 24, total 34 ribu Mas," ujarnya.
Aku mengambil dompet dan mengeluarkan uang 50 ribuan.
"Kembaliannya ambil aja, Pak. Makasih bubur ayam sama satenya," ujarku.
"Beneran Mas kembaliannya buat saya?"
Aku menganggukkan kepala lagi.
"Wahh, makasih banyak ya Mass," ujarnya seraya tersenyum cerah.
Padahal yang aku berikan hanya kembalian yang jumlahnya tidak sampai 20 ribu. Tapi kenapa bapak penjual bubur ayam itu terlihat sangat bahagia ya?
"Sama-sama Pak," jawabku yang kemudian langsung berjalan menuju mobilku yang memang terparkir tidak tau dari sini.
Setelah membeli bubur ayam, aku kembali mampir ke apotek 24 jam untuk membeli obat. Aku membeli obat untuk sakit kepala dan juga demam.
Dan setelah itu, barulah aku melajukan mobilku langsung ke rumah Embun.
Tidak berselang lama, aku sampai di rumah Embun. Terlihat lampu teras depan rumah belum dimatikan. Itu artinya sampai saat ini Embun belum turun kebawah.
"Apa kondisi Embun parah ya?" gumamku.
Mengetahui sampai jam setengah 8 saja Embun belum turun, untuk sekedar mematikan lampu, aku jadi berpikir kalau ternyata kondisi Embun saat ini cukup parah. Tapi semoga saja pikiranku itu salah ya.
Dengan membawa bubur ayam dan obat yang sudah aku beli, aku turun dari mobil. Dan untuk formalitas, aku mengetuk pintu terlebih dahulu seraya memanggil Embun. Dan sesuai dugaan, tidak terdengar sahutan apapun dari dalam rumah. Oleh karena itu mau tidak mau aku harus menggunakan kunci cadangan yang tadi sempat Amara berikan kepadaku.
Dengan tenang aku membuka pintu rumah Embun. Gelap, itulah yang aku tangkap dari suasana rumah Embun saat ini. Karena gorden-gorden jendelanya memang belum dibuka. Hanya ada satu lampu yang masih hidup, yaitu dibagian dapur.
Sebelum naik ke lantai 2 dimana kamar Embun berada, aku mematikan lampu dan membuka gorden terlebih dahulu. Lalu membuka beberapa jendela agar terdapat pergantian sirkulasi udara di rumah ini.
Dan barulah setelah itu, aku naik ke lantai 2.
Sepi, beginilah suasana rumah Embun. Karena memang Embun tinggal sendiri. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesepiannya Embun karena harus di rumah seorang diri seperti ini. Pantas saja Embun selalu bahagia setiap kali Amara menginap disini.
Saat berada di lantai 2, aku tidak tau yang mana kamar Embun. Karena di lantai 2 terdapat 3 pintu yang aku yakini adalah kamar semua.
"Kamar Embun yang mana coba?" gumamku.
Setelah melihat dengan seksama, barulah aku sadar kalau ada satu pintu yang didepan tertempel sebuah stiker bertuliskan 'Embun's Room'. Dan ya, aku yakin kalau itu kamar Embun.
Aku berjalan mendekat kearah pintu kamar, lalu mengetuk pintunya beberapa kali. Tapi, tetap saja aku tidak mendapatkan jawaban. Akhirnya dengan terpaksa aku mencoba untuk membuka pintu kamar itu. Dan ternyata tidak terkunci.
Sekarang bisa aku lihat suasana temaram dalam kamar itu. Dan diatas ranjang, aku bisa melihat seseorang tampak tertidur disana. Orang itu tentu saja Embun.
Dengan hati-hati, aku berjalan masuk ke kamar. Sebelumnya aku membuka sedikit gorden agar suasana kamar Embun menjadi sedikit lebih terang namun tidak mengganggu tidur gadis itu.
Terlihat wajah Embun lebih pucat dari biasanya. Melihat itu, aku benar-benar merasa kasihan. Bagaimana bisa Embun sendirian disaat sedang sakit seperti ini. Kalau tidak ada dirinya dan Amara, apakah Embun hanya akan tertidur sepanjang hari tanpa makan dan minum obat sampai dia merasa kondisinya membaik dengan sendirinya? ya itu bisa saja, tapi kalau dibiarkan, kemungkinan sakitnya lebih parah justru lebih besar kan?
Aku duduk diatas ranjang tepat disamping Embun. Tanpa bisa ditahan, tanganku terulur untuk menyentuh dahi Embun untuk memastikan kondisi gadis itu. Dan ternyata--- Embun benar-benar demam.
"Badan kamu panas banget, Mbun," gumamku.
Mau tidak mau aku harus tetap membangunkan Embun agar dia sarapan lalu minum obat. Karena kalau dibiarkan seperti ini, yang ada sakit Embun justru semakin parah. Dan aku tidak mau kalau hal itu sampai terjadi.
Dengan lembut aku menyentuh lengan Embun yang terasa cukup panas, lalu menggoyangkannya pelan.
"Embun, bangun dulu yuk," ucapku dengan lembut.
Aku bahkan tidak tau kalau ternyata aku bisa berbicara selembut ini. Dengan Amara pun, sepertinya aku tidak selembut ini.
Tidak ada respon dari Embun, dan itu membuatku menjadi semakin khawatir karena takut kalau ternyata Embun pingsan. Namun, aku memutuskan untuk mencoba membangunkan Embun sekali lagi.
"Embun, ayo bangun dulu. Kamu harus sarapan dan minum obat," ujarku.
Kali ini terdengar lenguhan pelan dari Embun. Sepertinya gadis itu terganggu karena aku membangunkannya. Tapi mau bagaimana lagi, Embun memang harus bangun untuk sarapan dan minum obat.
"Embun, ayo bangun," ujarku seraya menggoyangkan lengannya lagi.
Dan barulah pada panggilan ke tiga ini, samar-samar Embun mulai membuka matanya. Aku sendiri memilih untuk diam dan membiarkan Embun menyesuaikan diri.
Sampai akhirnya mata Embun sudah terbuka sempurna, meskipun terlihat sangat jelas kalau gadis itu masih sangat mengantuk.
"Pak Tama," panggilnya dengan suara parau.
Aku tersenyum tipis.
"Iya, ini aku Tama. Ayo bangun, kamu harus sarapan dan minum obat, Mbun," ujarku.
Tampak Embun kembali terdiam seraya menatap ke arahku. Sepertinya Embun sedang meyakinkan diri kalau orang yang dihadapannya saat ini benar-benar aku.