NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mulai menjauh?

Tak terasa ulangan akhir semester akhirnya berakhir. Bagi sebagian besar siswa, itu berarti hari-hari bebas sudah menanti di depan mata. Namun sebelum benar-benar menikmati libur, masih ada satu hal yang harus dilewati—remedial bagi mereka yang nilainya belum memenuhi standar, lalu pembagian rapor yang selalu menjadi momen paling menegangkan.

Hari itu, suasana sekolah terasa jauh lebih santai dari biasanya. Para guru sedang mengadakan rapat, membuat para siswa dibebaskan melakukan apa pun selama tetap berada di lingkungan sekolah. Beberapa memilih berkumpul di kantin, sebagian mengobrol di kelas, dan sisanya berbondong-bondong menuju lapangan basket.

Elara, Nayomi, dan Keira termasuk di antara mereka. Bertiga memutuskan untuk menonton kelas Arsen yang sedang bertanding basket melawan kelas lain. Sejak tadi pagi, lapangan sudah dipenuhi sorakan dan teriakan penuh semangat.

Di tribun penonton, Elara duduk di tengah, diapit Nayomi di sisi kanan dan Keira di sisi kiri. Elara terlihat paling antusias. Tangannya tak henti bertepuk, sesekali berdiri sambil meneriakkan nama Arsen dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Nayomi ikut menyemangati, meski sorot matanya terlihat sedikit kosong. Sementara Keira hanya bertepuk seadanya, pikirannya entah melayang ke mana.

Namun tiba-tiba, teriakan dari kelas lain terdengar jauh lebih nyaring dan berisik.

“ARSEN SAYANG, SEMANGAT!”

“YA AMPUN, ARSEN MAKIN GANTENG KALO KERINGETAN GITU!”

“KAIZEN I LOVE YOUUU!”

“LEO, KAIRO, EZRA HWAITING!”

Nayomi dan Elara langsung berdecak bersamaan. Elara memutar bola matanya, sementara Nayomi mendengus kesal tanpa sadar.

“Kalian kok mukanya pada kesel gitu sih?” Keira akhirnya angkat bicara. “Kalo Elara sih wajar ya, orang pacarnya lagi main. Lah lo, Nay? Kok kayak kesel banget?”

Nayomi langsung menyandarkan punggungnya ke bangku. “Diem deh, Kei. Gue lagi gak mood.”

Lalu Nayomi menoleh ke arah Keira, menatapnya penuh selidik. “Eh, ngomong-ngomong, kemarin-kemarin lo ke mana sih? Kita gak ketemu sama sekali. Lo juga gak pernah ngumpul.”

“Iya, Kei,” sambung Elara. “Lo ada masalah?”

Keira terlihat gugup sesaat. Ia mengalihkan pandangan ke lapangan sebelum akhirnya menjawab, “Enggak. Gue cuma males keluar kelas aja. Jadi mutusin buat belajar di kelas.”

“Ooh,” sahut Nayomi singkat. “Gue kira kenapa.”

Pertandingan terus berlanjut dengan penuh semangat. Peluit akhir akhirnya dibunyikan, disambut sorakan riuh para penonton. Nafas para pemain terengah, kaus mereka basah oleh keringat.

Elara berdiri. “Nay, gue mau kasih minum. Mau ikut gak?”

“MAU!” jawab Nayomi cepat, seolah ingin mengalihkan pikirannya.

“Kalo lo, Kei?” tanya Elara.

“Enggak ah. Panas ke lapangan,” jawab Keira sambil mengipas wajahnya.

“Yaudah,” kata Elara singkat.

Elara dan Nayomi berjalan menuju Arsen dan teman-temannya. Mereka membagikan botol minum satu per satu. Arsen tersenyum manis saat menerima botol dari Elara. “Makasih,” ucapnya lembut.

Kaizen menerima minum dari Nayomi. Ia menatap Nayomi sekilas, lalu membungkuk sedikit. “Makasih.” Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.

“Masih marah?” bisik Kaizen pelan.

“Enggak,” jawab Nayomi datar tanpa menatapnya.

Leo dan Kairo juga mengucapkan terima kasih pada Elara. Namun saat Elara hendak memberikan minum pada Ezra, hal yang tak terduga terjadi. Ezra hanya melirik sekilas, lalu berbalik pergi begitu saja, meninggalkan tangan Elara yang masih menggantung sambil memegang botol.

“Ezra…” gumam Elara lirih.

Dadanya terasa sesak. Apakah Ezra mulai membencinya karena hubungannya dengan Arsen? Atau ia sengaja menjaga jarak agar tidak menimbulkan salah paham? Elara sendiri tak tahu jawabannya.

Arsen yang melihat kejadian itu tampak heran. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara Elara dan Ezra.

“Kenapa?” tanya Arsen sambil menggenggam tangan Elara dan menariknya kembali ke tribun.

“El… Ezra kayaknya kecewa sama aku,” ucap Elara pelan. “Dia bilang dia udah suka aku dari dulu, tapi aku nganggep dia cuma sebagai adik.”

Elara menunduk. “Aku harus gimana lagi? Itu kenyataannya. Tapi malah jadi begini.”

Arsen mengusap punggung tangan Elara dengan lembut. “Bukan salah kamu. Mungkin sekarang Ezra lagi butuh waktu buat nyendiri.”

Elara mengangguk kecil.

“Mau pulang?” tanya Arsen.

“Emang boleh?” Elara menengadah menatap Arsen, membuat Arsen tersenyum karena perbedaan tinggi mereka.

“Hari ini bebas. Guru bilang boleh pulang asal udah lewat jam 11, ini udah jam 11.20"

“Yaudah deh, ayo,” kata Elara pelan.

Dari kejauhan, sepasang mata memperhatikan mereka. Vira tersenyum puas melihat Elara berjalan pergi bersama Arsen.

Dalam hatinya, ia berjanji pelan.

Ia akan membuat satu per satu orang yang berada di dekat Elara menjauh.

Pelan, tapi pasti.

★★★

Keira baru saja keluar dari kelas ketika sebuah tangan tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dengan kasar. Ia tersentak, nyaris berteriak, tapi langkahnya sudah diseret menuju lorong belakang gedung lama sekolah—area yang jarang dilewati siswa.

Pintu toilet lama yang sudah lama tak terpakai didorong terbuka. Bau lembap dan cat mengelupas menyambut mereka.

“Lo mau apa, bawa gue ke sini?” tanya Keira datar, meski dadanya berdegup tak karuan.

Orang itu menutup pintu, lalu bersandar santai seolah tempat itu miliknya. “Besok, gue mau lo ngelakuin sesuatu,” ucapnya pelan. “Dan satu lagi—jangan pernah buka mulut soal hubungan kita. Jangan sampai ada yang tau kita sepupu.”

Keira tertawa pendek, penuh ejekan. “bongkat bahwa kita sepupuan?” Ia menatap tajam. “Jangan ngelucu. Mana mau gue ngaku sepupuan sama titisan ibl*s kayak lo.”

Wajah orang itu tak berubah, tapi sorot matanya mengeras. Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa senti.

“Jangan macem-macem, Kei,” katanya dingin. “Aturan gue jelas. Lo langgar, akibatnya bukan ke lo—tapi ke ibu lo.”

Keira membeku.

“Atau,” lanjutnya sambil tersenyum sinis, “lo mau liat ibu lo disiksa lagi?”

“Nggak!” Keira spontan berteriak, suaranya bergetar. Tangannya mengepal. “Jangan sentuh ibu gue.”

“Bagus. Sekarang dengerin.”

Keira menelan ludah. “Cepet bilang lo mau apa,” katanya lirih, amarah dan takut bercampur jadi satu. “Tapi jangan sakiti ibu gue.”

Senyum puas terukir di wajah orang itu. Ia mencondongkan tubuh, membisikkan sesuatu tepat di telinga Keira.

Mata Keira membelalak.

“Nggak,” katanya tegas sambil mundur selangkah. “Gue nggak mau. Gue nggak bakal setuju.”

Ia berbalik hendak pergi, tapi tiba-tiba rambutnya ditarik keras dari belakang. Kepalanya tersentak, rasa perih menjalar sampai kulit kepalanya.

“Berani-beraninya lo nolak,” desis orang itu. “Ingat ancaman gue. Satu kata dari lo, ibu lo yang kena.”

“Lepasin!” Keira meringis, air mata mulai menggenang. “Akh… lepas!”

Tarikan itu semakin kuat.

“Oke—oke,” Keira terisak. “Iya… gue nurut. Gue lakuin. Asal ibu gue nggak kenapa-kenapa.”

Tarikan itu akhirnya dilepas.

“Pinter,” ucap orang itu ringan, seolah tak terjadi apa-apa. Ia merapikan pakaiannya, lalu membuka pintu. “Jangan bikin gue kecewa.”

Pintu menutup. Langkah kaki menjauh.

Keira terduduk lemas di lantai dingin. Napasnya terengah, tangannya gemetar saat menyentuh rambutnya sendiri. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.

“Tenang, bu…” bisiknya lirih, seolah ibunya bisa mendengar. “aku bakal keluarin kita dari neraka ini.”

Tatapan Keira mengeras.

“Dan gue janji,” gumamnya penuh luka, “semua perbuatan lo bakal gue balas.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!