Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Mengejutkan, Dalam Canda Tawa dan Fakta.
.
.
Setelah mereka selesai menikmati sarapan bersama di ruangan pribadi sang Tuan Evangrandene pagi ini, pria itu langsung meminta izin sejenak kepada sang gadis untuk mengikuti sebuah pertemuan singkat yang sudah ter jadwalkan hari ini.
Sedikit menawarkan kepada gadis itu untuk menikmati hal-hal yang terjadi di sekitar gedung besar ini seperti biasa, tanpa pernah benar-benar memberikan pilihan kepadanya untuk sepenuhnya keluar dari tempat ini.
“Pergilah bermain sejenak, My Revander.” Ucap pria itu dengan lembut dan tersenyum kepada gadisnya, merapikan sedikit jas hitam milik yang telah di setrika dengan sempurna itu, dan juga memperbaiki tata letak dasi serta jam tangan mahal yang melingkar di salah satu tangan kekar pria itu.
Sedangkan Revander?
Dia hanya mengangguk pelan, dan tetap diam terduduk di sofa ruangan itu tidak membalas perkataan pria itu.
Namun iris hitam gadis itu tidak pula pernah lepas dari setiap pergerakan pria yang kini kembali berbicara kepada Tobito yang sendari tadi berdiri tegap di ruangan ini.
Flauza kembali mendekat ke arah meja kerjanya, membaca sekilas dokumen-dokumen yang masih tertera di atas sana, dan menyusunnya secara perlahan dengan tenang.
Dalam beberapa menit saja, Flauza telah berhasil merapikan dokumen-dokumen yang dia perlukan untuk pertemuan ini, memberikan gerakan pelan kepada Tobito untuk mendekat dan memberikan lembaran-lembaran itu kepada pria pirang yang masih berwajah tenang itu dengan gerakan kaku dan formal.
Lalu pria itu kembali melangkah mendekat ke arah Revander yang masih dalam posisi yang sama.
“My Revander.” Panggil pria itu lagi.
Revander hanya menatap pria itu dengan memiringkan kepalanya, membuat rambut hitam panjang yang terurai itu jatuh dari pundak gadis itu.
“Iya?”
Tangan pria itu terjulur, mengelus lembut pipi sang gadis penuh ke hati-hatian.
Flauza tersenyum.
“Bersenang-senanglah.” Sedetik berikutnya pria itu melanjutkan langkahnya meninggalkan sosok gadis bermata hitam itu yang masih memandangnya dengan kebingungan.
Di susul dengan Tobito yang membungkukkan tubuhnya memberikan hormat kepada gadis itu lalu mengikuti langkah Tuannya itu dalam diam.
Huh?
Ada apa?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa.....
Kenapa semuanya terasa begitu tidak biasa untuk hari ini?
Atau itu hanya perasaan dirinya saja?
.
Litly menatap Revander yang tampak mengintip malu-malu dari sudut pintu ruangan milik perempuan itu.
Mata hitamnya berkedip cepat yang entah kenapa itu malah membuat gadis itu tampak sangat lucu.
“Er...?” panggil Litly bangkit dari meja kerjanya itu, berjalan ke arah pintu itu berniat menyambut sang sahabatnya yang tiba-tiba saja datang setelah beberapa hari ini tidak datang ke tempatnya ini. “Er...? ada apa?”
Apakah gadis ini tersesat lagi?
“Li....?” panggil gadis itu perlahan melangkah maju, setelah memastikan jika ruangan kerja temannya tidak terlihat sibuk, atau dia mengganggu pekerjaan sahabatnya itu.
“Iya?”
“Kamu...- apakah kamu sibuk? Maaf sepertinya aku selalu menemui mu di jam-jam saat kamu bekerja seperti ini.”
Litly tersenyum lembut melihat Revander.
OOhhh....
Gadis ini selalu pemalu.
Dan itu tampak tidak berubah dari dahulu.
“Tidak apa, pekerjaanku tidak selalu banyak, jika perusahaan tidak melakukan rekrutmen besar-besaran. Jadi aku sekarang pun aku memiliki waktu yang cukup luang.”
Dia menarik lembut tangan sahabat, dan melangkah keluar dari ruangannya.
Dengan Revander yang hanya pasrah menerima tangannya di tarik pelan. “Ayo.... temani aku ke kantin, aku sedikit lapar dan belum makan.”
Eh?
“kamu belum sarapan? Dan sekarang sudah jam berapa Li?” beo sang gadis berambut hitam itu.
“Kalau aku sarapan pagi nanti malah jadi sakit perut.”
Revander tertawa kecil mendengar keluhan sang sahabat.
“Kamu benar-benar masih memiliki kebiasaan buruk itukah?”
“Mau bagaimana lagi, memang sudah dari sanaknya aku harus seperti ini. Ya sudah terima saja lah” balas Litly, dengan mereka yang masuk pada ke lift yang membawa mereka ke lantai satu tempat kafetaria gedung ini berada.
Dalam perjalanan itu mereka itu, beberapa kali Revander mendapati orang-orang yang menegur Litly dengan senyuman dan memberi sahabatnya hormat, lalu melirik ke arah dirinya yang berada di samping sahabatnya itu dengan tatapan yang berbeda pula.
Mereka tidak menegur ataupun menyapa kepada dirinya.
Hanya diam melirik sekilas dan kembali terfokus kepada Litly.
Tanpa dirinya sadari dia mengambil satu langkah mundur dari posisi di samping belakang Litly, dengan tatapan yang sedikit menunduk dan menghindari orang-orang itu.
.
.
.
Ini bukanlah sebuah hal yang baru lagi, untuk terjadi dalam kehidupanmu.
Sudah ke berapa kali dirimu mengalami hal-hal seperti ini hm....?
Satu?
Dua?
Atau....
Tak terhingga sepanjang umur hidupmu?
.
.
.
Lift itu mengeluarkan suara dentingan pelan dan terbuka saat berhenti di tujuan mereka yaitu lantai satu gedung ini. Iris hitam pekat itu melirik sekilas keadaan lantai ini sebelum mengikuti dan tarikan lembut pada tangannya dari Litly yang sudah berada satu langkah terlebih dahulu di depannya.
Beberapa detik mereka berjalan menjauh dari lift itu, dengan berbelok ke arah kanan berujung mereka sampai ke sebuah pintu yang menjadi pintu masuk sebuah ruangan khusus di mana itu menjadi tempat para karyawan-karyawan di gedung ini biasanya menikmati waktu istirahatnya.
Di sana juga terdapat jejeran etalase-etalase yang menjual berbagai macam jenis makanan, sebuah minimarket dan juga sebuah apotek sederhana di sisi lain ruangan lantai satu ini.
Keduanya kini terlihat di salah satu meja yang telah di sediakan di tempat ini.
“Mau pesan apa Er? Pesan saja aku bayari deh...”
Perlu beberapa detik untuk gadis berambut hitam itu memproses apa yang di katakan oleh Litly.
“Itu.... aku sudah sarapan kok Li. Sudah sangat kenyang pula.” Dan itu adalah faktanya, dia masih terlalu kenyang dikarenakan makanan yang dia nikmati bersama Flauza tadi.
“Kamu yakin?”
Revander mengangguk pelan, melihat sahabatnya yang berjalan ke arah etalase itu. “Mungkin aku akan ke apotek terlebih dahulu untuk beli salep.”
Dia dapat melihat jika, Litly kini sedikit memutarkan tubuhnya sepenuhnya kepada Revander.
“Salep?”
Mata sahabatnya itu masih tertuju kepadanya, sebelum sedikit demi sedikit padangan itu turun ke arah.....
Bawah tepatnya kepada kaki sang gadis berambut hitam itu.
“Iya, aku baru sadar jika obatku sudah habis pagi ini, jadi mau beli dulu mumpung ada yang dekat di sini.”
Pandangan Litly kembali fokus kepada wajah sahabatnya itu, dan mengangguk pelan, tidak bertanya lebih lanjut dengan apa yang di ucapkan oleh Revander.
Seperti...
Seperti sudah tahu akan suatu maksud dari apa yang di kata Revander, dan dia mengerti akan hal.
“Baiklah... kalau begitu kita jumpa di sini lagi oke.”
.
Saat dirinya melangkah masuk ke dalam apotek itu, menemukan dua orang wanita berbaju putih khas perawat atau pekerja farmasi apoteker yang langsung menyambutnya dengan wajah sedikit terkejut, walaupun itu hanya sekilas.
Tentu Revander menyadarinya, sedikit menyipitkan mata hitamnya tapi tidak berkata apapun.
Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Tentu saja sedang terjadi sesuatu di sini!!!
“Iya.... ada yang bisa di bantu Nona?”
Heh....?
Lihatlah ini....
“itu mbak.... ada Bioplacenton? Bisa beli dua?” ucap Revander kembali dengan nada lurusnya.
“Tentu saja Nona.... sebentar ya.” Gadis itu hanya mengangguk dan melihat-lihat berbagai macam jenis obat-obatan yang terjejer pada rak-rak kaca di tempat itu, mengabaikan tatapan aneh lainnya dari seorang wanita lainya yang masih diam di sana.
“Ini Nona Bioplacenton lima belas gram gel. Ada lagi Nona?” Revander mengambil salah satu kota panjang kecil berwarna putih dan hijau itu dan membacanya sekilas.
“Dan ada kain perban yang cukup tebal dan plesternya?”
Kini wanita yang lain membawakan apa yang baru saja dia bilang, meletakkannya berdekatan dengan kota hijau putih itu.
“Jadi berapa totalnya?”
“Delapan puluh ribu, Nona” Revander segera membayar dan mengambil plastik putih berukuran sedang itu pergi dalam diam pula.
Kembali kepada meja yang telah dia dan Litly tunjuk, dan duduk diam menunggu sahabatnya untuk datang.
Disana dia dapat melihat Litly yang tengah mengantre di salah etalase, dengan dua orang yang masih di depannya untuk melakukan pembayaran pula, mungkin memerlukan beberapa menit lagi untuk sahabatnya itu selesai.
Selanjutnya Revander sedikit bergerak membuat posisi salah satu kaki kirinya berada di kursi di sampingnya setelah melepaskan sepatu ketsnya itu, menaikkan celana perlahan dan menampilkan luka kaki kirinya itu.
UUuhhh.....
Luka itu....
Benar-benar terlihat lebih parah di bandingkan biasanya.
Dia menyentuh itu perlahan berusaha menginspeksi, namun sejujurnya dirinya sendiri tidak mengerti dengan ini.
“Er...?” panggilan Litly berhasil mengalihkan pandangannya kepada perempuan yang baru saja datang membawa mapan, dengan sebuah piring berisi masih hangat dan lauknya, segelas kaca berukuran sedang berisi kopi dan susu, dan juga....“ini ku belikan sate kerang, kamu suka ini kan?”
Revander tersenyum melihat kedatangan sahabatnya itu, yang mengambil posisi duduk berseberangan darinya itu. “Iya.” Balas gadis itu lurus.
Dan dia dapat merasakan tatapan Litly langsung terfokus pada kaki kirinya yang ada di kursi samping itu. “Er, kakimu belum sembuh juga?”
Kini gadis kembali melihat kepada kakinya, ingin segera menyembunyikan luka itu, tapi tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
“Belum.”
“Itu..... bekasnya terlihat sangat jelas Er, apa masih sakit?”
Gadis itu terdiam sejenak, sebelum dirinya menjawab pertanyaan dari perempuan itu. “Tidak Li, sakitnya sudah tidak terasa lagi, hanya saja kamu bisa lihat sendirikan kalau bekasnya gak hilang-hilang.”
Dia dapat melihat sinaran sedih terpancar sama dari wajah sahabatnya itu.
Revander mengambil bungkusan plastik putih itu, dan mengambil salah satu kotak putih hijau itu, lalu membukanya.
“Bukankah akan lebih baik jika, di periksakan ke dokter saja Er?” gumam Litly pelan, berusaha memberikan sedikit saran kepadanya.
Dokter ya....
Revander menggelengkan kepalanya pelan. “kurasa ini tidak seburuk itu sampai harus ke dokter segala.”
Menekan benda putih kehijauan itu, hingga mengeluarkan sebuah gel putih dan mengoleskannya secara perlahan di sepanjang luka kaki dari lutut hingga mata kaki itu.
Sedangkan Litly hanya memulai memakan-makanannya sembari tetap melihat semau tindakan sang gadis itu.
“Aku rasa itu masih terlihat sama saja, seperti terakhir aku lihat saat kita masih kuliah dahulu Er....”
Benarkah akan hal itu?
Dia juga tidak terlalu memperhatikan luka ini, hanya memberikan obat yang sama dan membiarkannya begitu saja.
Revander mulai membalut luka itu dengan kain perban itu, dengan cepat namun tetap terlihat rapi, seperti dia telah terbiasa dengan melakukan ini.
“Setidaknya ini tidak sakit, ngilu ataupun gatal berlebihan lagi seperti dulu Li, jadi ku pikir itu sudah cukup?” gadis itu telah selesai dengan aktivitas kecilnya, lalu merapikan semua barang-barang itu memasukkan kembali ke dalam plastik putih.
“Li....” Revander kembali membuka percakapan di antara mereka sembari mengambil satu tusuk sate kerang itu.
“Hmmm...?”
“Tadi ibuku tadi bilang, kalau Dwi datang ke rumah cari kamu?” Litly mengangkat salah satu alisnya mendengar nama tak asing itu dari dirinya.
Tentu saja Litly tahu siapa sepupu perempuannya itu, mengingat cerita mereka semua di masa lalu.
“Adek sialanmu itu?” ucap Litly dengan sedikit kesal dan mengejek.
Revander hanya tertawa melihat itu. “Yup.” Balasnya mengambil tusuk sate berikutnya.
“Ada apa memangnya dengan murahan itu heh?”
Revander sedikit mengangkat bahunya sejenak, lalu merogoh kecil memberikan sebuah lembaran cantik yang terbungkus plastik bening tipis. “Dia sudah mau nikah minggu ini....”
“Hah....?”
“Yup...”
Litly mengambil cepat undangan itu, membacanya lalu kembali menatap kepada Revander dengan pandangan tidak percaya. “Secepat itu? bukankah seharusnya umur si Dwi masih dua puluhan?”
“Ya.... kamu tahu lah, kata ibuku kalau sudah jodoh dan cocok kenapa tidak.”
“Lebih tepatnya kalau sudah ngebet banget ya kawinkan saja....” Revander tertawa lagi. “Memang bagaimana dengan kuliahnya? Sudah tamat?”
“Jujur saja Lit, kamu yakin anak seperti Dwi itu lulus tepat waktu?” Ekspresi sang gadis berambut hitam itu berubah menjadi mencemooh kecil dengan ujung bibir yang di tarik ke bawah sedikit.
“Tentu saja tidak!!!! Otak udang seperti dia itu, bah...... mengharap lulus kuliah, dia lulus SMA saja aku masih mempertanyakan.”
“Kamu benar-benar masih dendam dengan dia huh?”
“Ohh... Revander..... Tentu saja aku masih dendam!!!! Selain murahan saudara mu itu juga sialan!!!” Revander kembali tertawa.
OOhh.....
Sudah berapa lama dia tidak berbicara julid seperti ini.
“Jangan bilang kamu belum bisa move on dari mantan ‘terindah’ mu itu...~”
“Oh... diamlah Er, terkutuklah laki-laki bejat itu, dan untuk adik mu sialanlah dirinya seumur hidupnya.” Litly memasukkan sesendok penuh nasi itu kedalam mulutnya dan mengunyah dengan cepat.
“Oi... hati-hati tersedak.”
“Bagaimana bisa aku lupa, si murahan itu sok akrab ke bejat itu, dan akhirnya kepergok berduaan di pinggir jembatan sok manja-manja menjijikkan itu.”
OOhhh....
Dia juga masih mengingat jelas kejadian yang terjadi di sore hari setelah pulang sekolah mereka saat masih SMA dulu.
“Kamu tahukan Er, kalau bukan kamu yang ada di sampingku dan menahanku di sana, mungkin aku bukan menjadi seperti sekarang. Malah jadi seorang kriminal karena sudah mendorong dua sialan itu jatuh ke jalan raya di bawahnya.”
Ya....
Itu benar.
Dia sangat yakin jika, dia tidak berhasil menarik Litly dari sana semuanya akan menjadi kacau.
“Tapi, sekarang kamu sudah jadi orang sukseskan meninggalkan mantamu itu?” Revander menunjuk Litly dengan tusuk sate yang sudah kosong itu. “Sudah ku katakan dari awal, cowokmu punya muka yang seperti bajingan.”
“Dan aku menyesal tidak dengar kamu saat itu.”
“Bukan salah mu juga, namanya cinta di masa remaja, semua terasa begitu indah dan milik berdua....~” Litly mendengus pelan saat mendengar ejekan Revander. “Tapi ya.... di antara kita, malah si Dwi-kan yang nikah terlebih dahulu. Aneh juga.”
“Itu karena dianya saja kegatalan!!! Aku yakin seratus persen itu ada cerita lain di balik ‘pernikahan’ ini”
“Husss.... Li gak boleh berlebihan...”
“Biarin, masih kesal aku kalau mengingat hal itu.”
“Memangnya.... kamu tidak akan datang ke undangan si Dwi ini? Hari minggu.”
“Kamu datang?” Revander mengerakkan kepalanya kiri dan kanan. “Sepertinya harus sih kalau aku, kemungkinan sama abangku juga bukan, satu keluarga satu kendaraan seperti biasa.”
Litly tampak mengerti dengan perkataan sahabatnya itu.
“Kalau kamu masih balas dendam dengan Dwi, kamu bisa memberikan amplop berisi dua ribu di dalam acara itu.” kini sang gadis berambut hitamlah mencoba memberikan saran aneh kepada sahabatnya itu.
“Bah.... bahkan untuk kasih dia seribu saja tidak rela aku, apa lagi dua ribu? Kebanyakan Er...!!!! Kebanyakan!!!!”
Revander tertawa.
Ooohh...
Dia benar-benar merindukan percakapan aneh yang sering terjadi di antara mereka ini.
“Bagaimana dengan ini? Bukankah Dwi masih memiliki hutang yang belum di bayarnya kepadamu saat dulu?” Litly mengedipkan matanya beberapa kali.
“Ya.... saking tak sudihnya lagi aku dekat-dekat dengan saudaramu itu, bahkan aku tak mau memintanya uang itu lagi. Entah itu jadi uang haram, atau uang buat kamu yang kurang mampu.”
Revander masih terkekeh pelan. “Nah.... jika begitu, kasih amplop tak bernama terus kamu buat surat yang isinya, ‘Uangnya buat bayar hutangmu, jadi lunas’ dan semuanya kelar deh!!!!”
Gelak tawa yang kuat terdengar dari perempuan di hadapannya itu, terlihat besar dan terlalu lepas, bahkan itu sampai tidak terkontrol, membuat orang-orang lain yang juga tengah menikmati makanan mereka langsung menoleh ke arah Litly yang menjadi sumber suara besar itu.
Tapi Revander tidak ada berniat untuk menghentikan Litly, dan hanya tersenyum tenang.
“OOOHH...... Revander...!!! kamu...- kamu selalu saja seperti ini, selalu saja ada gebrakan baru dari kepala dan bibirmu itu.”
Dia anggap itu sebagai pujian.
“Oh... aku akan datang melakukan saranmu Er, tentu aku akan melakukan saran gilamu itu, I Love It.”
“Ku anggap itu sebagai kemenangan kecil, dan aku tidak sabar menunggu dirinya membuat sesuatu di sosial media dirinya itu tentang tingkahmu ini.”
“Dan itu adalah saran dari kakak perempuannya!!!” tawa Litly lagi. “Ah..... ya....—“
Dengan perlahan Litly meredakan suaranya itu berusaha kembali melanjutkan sesuatu kepada dirinya, dengan mengambil ponsel ber-kesing merah muda itu.
“Hhmmmm.... ada apa Li?”
“Itu Er, kamu tahu gak kabar-kabar belakangan ini yang sedang beredar?”
Kabar yang sedang beredar?
“Memang ada apa?”
Litly tidak langsung menjawab, di karenakan perempuan itu masih sibuk mengotak-katik smartphonenya seperti mencari-cari sesuatu di sana.
Ada apa lagi?
“Itu Er..... seperti ada seseorang yang ambil gambar kamu....”
Huh?
Lalu sedetik berikutnya Litly menunjukkan layar ponselnya itu, memperlihatkan sebuah video yang seperti menunjukkan interaksi sebuah pasangan yang tengah bermain air di tengah aliran sungai tenang pada siang hari dengan lagu-lagu romantis yang mungkin terdengar manis untuk para penonton.
Huh?
Inikan?
Revander mengambil ponsel Litly itu dengan pelan, memperhatikan video itu lebih seksama.
Video yang kini sudah di tonton oleh lebih dari sembilan juta orang di aplikasi berbentuk huruf X besar itu, dengan ratusan ribu suka, dan komentar, yang di postingkan tiga hari yang lalu.
Huh?
“Li?” Revander melihat sekilas kepada sahabatnya dengan sedikit kebingungan.
“Aku juga tidak tahu pasti Er, aku cuma tahu dari Twitter, baru itu ya....—sudah banyak juga yang memulai membicarakan hal ini di gedung ini.”
Membicarakan apa?
Litly membersihkan sedikit tenggorokannya, berusaha menjelaskan sesuatu kepada Revander.
“Banyak yang orang-orang yang bekerja di sini, sudah yakin jika pria yang ada di sana itu pasti Tuan Evangrandene.” Ucap Litly.
Dia setuju dengan hal itu, mengingat Flauza adalah seorang yang sangat muda di kenali di wilayah ini dengan ciri fisik yang terlalu menonjok untuk di bandingkan pria-pria lokal lainnya.
“Jadi, mengingat bagaimana ‘hubunganmu’ dengan Tuan Evangrandene, kebanyakan dari mereka berpikir jika ‘perempuan’ yang ada di sana adalah kamu Er.... Well.... aku juga berpikir itu adalah kamu.”
Revander mendorong pelan ponsel milik Litly kembali kepada sahabatnya itu.
Apa yang harus di katakan dia kepada sahabatnya ini?
Dan bagaimana pula seseorang bisa-bisanya mempostingkan video seseorang yang tidak mereka kenal ke sosial media?!
Hanya demi apa?
Dilihat dan di pamerkan, lalu di komentar yang tidak-tidak?
“Aku bahkan tidak membuka Twitter dalam beberapa hari ini. Bagaimana pula mereka bisa dapat begituan?”
Litly menggelengkan kepalanya, sedikit menatap prihatin kepada Revander.
Walaupun sosok gadis berambut hitam itu hanya menunjukkan wajah datar seperti biasanya.
“Sebenarnya untuk aku sih.... kamu bahkan terlihat sangat bahagia saat bersama Tuan Evangrandene Er, serius! Kamu sangat jarang terlihat santai seperti saat di dekat dia!” Kini Litly tersenyum lembut kepada Revander.
“Aku rasa... Tuan Evangrandene memang cocok bersamamu.” Perempuan itu melihat singkat video yang dia berikan itu kepada Revander.
Huh?
“Apa yang kamu katakan Li? Jangan mengawur begitulah!” sangkal sang gadis.
“Serius Er....!” balas Litly cepat, meletakkan kembali ponselnya itu di atas meja. “Kamu berpikir kalau aku akan tidak mendukungmu jika kamu benar-benar punya hubungan dengan Tuan Evangrandene? Tentu saja aku dukung kamu! Malah kalau bisa aku ancam pria itu buat tidak aneh-aneh kepadamu.”
“Li...~”
“Er...—Aku dukung kamu sumpah! ya... aku tidak menyangka jika, ada beberapa orang di gedung ini berkata dan bertanya bagaimana bisa kamu bisa meluluhi ‘hati’ Tuan Evangrandene itu. Tapi aku malah mikir sebaliknya.” Litly tertawa kecil di akhir ucapannya.
Huh?
.
.
.
“Karena aku tahu dengan pasti Revander!!! Di bandingkan kamu yang mungkin mereka berpikir adalah seorang mengejar sosok bercahaya seperti pria itu.....
Faktanya adalah, seorang bercahaya seperti dia itu malah akan kesusahan untuk menerangi seorang yang sudah terlalu lama melihat dari bayangan dan merasa nyaman akan hal itu.”
.
.
.
Huh?