Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH LIMA
Suara bel yang nyaring seketika menggema di seluruh ruangan, membuat Caca yang sedang membersihkan lantai dengan pel terhenti. Hatinya berdebar, mengira itu Faza, suaminya, yang mungkin pulang untuk mengambil sesuatu yang terlupa.
Namun, saat ia membuka pintu, raut wajahnya langsung berubah drastis. Kulitnya memucat, matanya terbelalak lebar saat sosok yang tidak lain adalah Felin, berdiri di depannya dengan tatapan yang tajam.
"Kak Fe," suara Caca tercekat, hampir tidak percaya. Felin hanya tersenyum tipis, langkahnya mantap memasuki rumah tanpa menunggu undangan, dan dengan angkuhnya duduk di sofa kesayangan Caca. Sikapnya yang dominan dan kontrol diri yang kuat terpancar jelas, membuat ruangan itu seolah miliknya.
Caca, masih terpaku di depan pintu, hatinya berdebar kencang, tidak tahu harus berbuat apa. Felin mengamati sekeliling dengan tatapan yang seolah mencari-cari sesuatu, atau mungkin seseorang.
"Pak Faza tidak ada di sini, Kak," Caca akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
Felin mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari wajah Caca yang jelas terlihat ketakutan.
"Aku tahu. Aku kemari untuk berbicara denganmu,. Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan" ucap Felin dengan suara yang tenang namun tegas, memotong setiap ruang bagi Caca untuk menolak atau berlari dari situasi ini.
"Katakan, apa yang ingin Kak Fe bicarakan?" tegas Caca, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia masih ingat janji Faza yang menyatakan bahwa dirinya adalah istri yang ditakdirkan Allah untuknya, sedangkan Felin hanyalah kenangan yang perlu dilupakan. Keberanian Caca itu tumbuh dari dukungan yang Faza berikan padanya.
Felin tersenyum sinis, matanya menyala penuh kebencian. "Oh, ternyata kamu berani juga bertanya, Caca?" Caca tak menanggapi ucapan Felin yang sengaja memancing keributan.
"Jika tak ada yang ingin Kak Fe bicarakan, lebih baik pergi," potong Caca, tak ingin terus tunduk dalam ketakutan dan intrik Felin.
"Kamu terlalu percaya diri, Caca. Saat ini memang kamu yang menang, menjadi Nyonya Faza. Tapi ingat, suamimu itu tidak mencintaimu... tidak akan pernah! Maukah kamu hidup selalu dalam bayang-bayang cinta kami yang sesungguhnya? aku bisa saja merebut Faza darimu, dan membuatmu terbuang" Felin mendekat, suaranya berbisik serak, penuh ancaman,setiap katanya. Caca terpaku, serangan kata-kata itu menohok jantungnya.
"Dengar baik-baik, Aku tidak akan menghalangimu tetap di sisinya, tapi dengan satu syarat. Berikan izin kepada Faza untuk berpoligami. Kita bisa berbagi suami, bukan?" Felin mendesak, matanya mengkilat tajam.
"Tenang saja, Aku tidak meminta Faza menceraikanmu, hanya bila kamu setuju dengan syarat ini." Ucapan Felin itu membekukan udara sekitar, membawa dingin yang menyesakkan dada. Kata-kata itu tidak hanya sebuah syarat, tapi sebuah penjara tanpa batas untuk hati dan masa depan Caca.
"Aku tidak bisa menerima jika Kak Fe ingin menjadi maduku. Katakan saja pada Pak Faza, karena keputusan ada di tangannya dan jawaban untuk pertanyaanmu adalah aku tidak ingin berbagi segala sesuatu dengamu lagi. Kali ini, aku ingin menjadi pribadi yang egois," tegas Caca, tak ingin diintimidasi lagi.
"Hmm...manis sekali kata-katamu, sejak kapan kamu berani menantangku, Sayang?" Felin menaikkan dagu adiknya dengan ujung jarinya.
Caca bukannya takut, dia malah menjawab.
"Sejak aku memilih untuk hidup bahagia dengan orang yang kucintai. Mungkin hal-hal lain bisa kubagi, Kak, tapi tidak dengan suamiku," Caca menjawab dengan mantap, matanya berkilat menantang Felin.
"Dia... kekasihku, Caca! Kau tahu itu! Berhenti berpura-pura menjadi istri yang paling dicintai. Kau...! tidak lebih dari sekedar pelampiasan nafsunya saja!" Felin mendekat, suaranya meninggi penuh amarah. "Ya, mungkin nafsunya ada pada tubuhmu, tapi ingat, hati dan cintanya tetap padaku!" Felin menunjuk tajam ke mata Caca, titik-titik air mata emosi mulai terbentuk di kelopak matanya, menandakan pertarungan kekuasaan cinta yang sesungguhnya dimulai.
Caca terpaku, jantungnya seolah dipilin antara kebenaran pahit dan harapan yang rapuh. "Aku tak peduli, setajam apa mulumu berbicara,Kak" seketika Felin menatap tajam, kemarahannya seakan membara.
"Baiklah, Caca. Jika itu yang kau inginkan, aku akan buka matamu dengan satu kenyataan yang tak terbantahkan. Apa kau benar-benar tahu diri..! Dari keluarga mana Faza dibesarkan? Dia itu putra dari seorang kiai terhormat, dengan ekspektasi tinggi atas menantu yang akan menjaga nama baik keluarganya. Katakan padaku, apakah kamu sudah siap dan pantas untuk mengemban gelar 'Ning' setelah bersanding dengan Gus Faza, hmmm?"
Serangan Felin tersebut benar-benar seperti petir yang menyambar, menghancurkan sisa-sisa kepercayaan diri Caca. Dirinya kini merasa begitu kecil dan terhina, menyadari bahwa ia masih jauh dari kelayakan seorang menantu ideal di mata keluarga Faza.
Air matanya menggenang, tubuhnya terasa lemah dan tak berdaya. Ketika Caca mencoba menguatkan hati untuk menangkis Felin, kembali menebar kata-kata yang lebih mematikan, membuat Caca seakan tertimbun dalam lubang rasa rendah diri yang dalam.
Felin yang membenci Caca, menatap tajam."Kamu harus sadar, Mas Faza itu tak layak menjadi pendampingmu, dia pria soleh, maka akan bersanding dengan wanita yang sepadan, bukan denganmu yang hanya anak hasil perselingkuhan," kata Felin dengan nada merendahkan dan penuh kebencian.
Sorot matanya dingin, menunjukkan betapa dia menyalahkan Caca atas semua yang terjadi.Caca, yang mendengar kata-kata itu, merasakan hatinya seperti ditusuk ribuan jarum. Dia sontak berdiri, tangannya gemetar, dan matanya berkaca-kaca. Dia menatap Felin balik dengan tatapan yang tajam dan penuh kekecewaan.
"Kamu boleh membenciku, tapi jangan fitnah Mama Kak," suaranya bergetar, mencoba keras untuk menahan emosi yang memuncak. Felin hanya diam, menatap Caca dengan ekspresi yang tak berubah, penuh kebencian dan ketidakpedulian atas rasa sakit yang dia timbulkan.
"Fitnah... kamu bilang?" tanya Felin dengan suara penuh amarah sambil melemparkan foto almarhum ibunya yang tampak setengah telanjang di ranjang bersama seorang pria yang jelas bukan Wijaya. Wajah Caca menegang, matanya terbelalak dengan perasaan campur aduk memungut foto ibunya yang berserakan di lantai.
"Sudah jelas, pria itu bukan Papa, mungkin itu ayahmu. Jadi sekarang juga, tinggalkan Mas Faza, sebelum dia jijik melihatmu! dan kamu ditendang oleh keluarga Mas Faza" Felin berkata dengan nada penuh hinaan sebelum dia berlalu pergi, meninggalkan Caca terpaku di ruang tamu.
"Tidak mungkin, aku percaya mamaku adalah wanita yang baik, yang mampu menjaga kehormatannya... tidak, aku bukan anak hasil perselingkuhan!" seru Caca, suaranya menggema memenuhi ruang, menunjukkan perasaan marah dan terluka yang mendalam. Rasanya dunia ini begitu kejam dan tak adil padanya.
Ucapan Felin terus berputar, merusak tatanan kewarasannya. Semua kata yang Felin ucapkan semua terasa benar, jika dirinya bukan siapa-siap yang bersanding dengan Faza.
"Aku sungguh tak layak untuknya..." jerit Caca dalam hati.
apa pada belum tau ya🤔