Pada hari pernikahannya, Naiya dengan kesadaran penuh membantu calon suaminya untuk kabur agar pria itu bisa bertemu dengan kekasihnya. Selain karena suatu alasan, wanita dua puluh lima tahun itu juga sadar bahwa pria yang dicintainya itu tidak ditakdirkan untuknya.
Naiya mengira bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencananya. Namun siapa sangka bahwa keputusannya untuk membantu calon suaminya kabur malam itu malah membuatnya harus menikah dengan calon kakak iparnya sendiri.
Tanpa Naiya ketahui, calon kakak iparnya ternyata memiliki alasan kuat sehingga bersedia menggantikan adiknya sebagai mempelai pria. Dan dari sinilah kisah cinta dan kehidupan pernikahan yang tak pernah Naiya bayangkan sebelumnya akan terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon roseraphine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedih
Naiya melangkahkan kakinya menuju ke halaman belakang rumah dan duduk di kursi kayu yang berada tepat di tepi kolam renang. Hawa dingin yang menusuk kulitnya itu tak dihiraukan sama sekali oleh Naiya. Karena perasaan gelisah, sedih, dan takut lebih mendominasi di dalam dirinya.
Jika ia dan Shaka bercerai, maka ia harus keluar dari rumah ini serta kembali tinggal bersama papanya dan juga Tante Alya. Entah apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu nanti kepadanya. Apalagi selama beberapa minggu ini Naiya berusaha memutuskan kontak dengan mereka.
"Ma, boleh gak sih Naiya ikut mama aja?" ucap Naiya lirih sambil menatap ke arah langit.
Walaupun selama ini Shaka bersikap cuek dan ketus kepadanya yang tak jarang membuat dirinya sedih, namun pria itu tak pernah kasar secara fisik. Apalagi Bi Nur dan papa mertuanya yang teramat baik kepadanya selama ini. Tak dipungkiri, Naiya mulai nyaman dengan lingkungan barunya. Ia merasa lebih tenang dan aman.
"Kamu kok malah di sini? Bukannya masih sakit? Di sini dingin."
Naiya menoleh ketika merasa ada tangan yang mendarat di puncak kepalanya. Ia melihat Bi Nur yang menatapnya penuh khawatir. Entah mengapa rasanya Naiya ingin menangis. Ia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya.
"Naiya takut, Bi. Naiya mau sama Bibi aja terus," Naiya menghambur ke pelukan Bi Nur membuat wanita paruh baya tersebut terkejut.
"Kamu kenapa? Cerita sini sama Bibi. Sepertinya sedang banyak masalah, ya?" tanya Bi Nur. Tangannya yang keriput itu mengusap kepala Naiya lembut.
Naiya mendongak menatap Bi Nur dengan tatapan sendu, "Aku takut, Bi."
"Takut kenapa?" tanya Bi Nur dengan raut wajah bingung.
Naiya bingung menjawabnya. Ia ragu menceritakan semuanya kepada Bi Nur.
"Tapi Bibi janji jangan bilang siapa-siapa?" tanya Naiya dengan menyodorkan jari kelingkingnya kepada Bi Nur.
Bi Nur tersenyum kemudian menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Naiya, "Iya, Bibi janji."
Setelah itu, Naiya memantapkan dirinya untuk menceritakan tentang dirinya yang mendengar sendiri ucapan Shaka yang ingin bercerai serta ketakutannya untuk kembali ke rumah papanya.
"Kenapa takut? Apa papa kamu orang jahat?" tanya Bi Nur mencoba mencari tahu sumber ketakutan Naiya.
Naiya menggeleng. Tak mungkin ia menceritakan semuanya kepada Bi Nur sekarang.
"Takut karena gak ada Mama," jawab Naiya lirih.
Bi Nur yang paham situasi Naiya sekarang ini tak melanjutkan pertanyaannya lebih lanjut karena tidak ingin membuat Naiya semakin sedih.
"Tenang, ya. Bibi yakin Tuan Andra pasti tak akan menyetujui permintaan Nak Shaka," ucap Bi Nur dengan senyum yang meyakinkan Naiya.
"Kenapa Bibi bisa yakin?" Naiya memandang Bi Nur bingung. Hidungnya bahkan sudah memerah karena menahan tangis.
"Karena Tuan Andra sayang sama kamu. Beliau sudah menganggap kamu seperti anaknya sendiri," Bi Nur mengusap lembut kepala Naiya. Mencoba menenangkan wanita itu.
Naiya hanya diam lalu menunduk. Memang selama ini Papa Andra sangat baik kepadanya. Padahal beliau tahu semua yang dirinya lakukan kepada Azka dulu. Tapi entah kenapa pria paruh baya itu masih bersikap sangat baik kepada dirinya.
"Papa memang baik sekali sama aku, Bi. Tapi bukan berarti Papa berhak melarang Kak Shaka untuk cerai, kan?" ucap Naiya terdengar putus asa.
"Kamu sepertinya sudah jatuh cinta sama Nak Shaka, ya?"
Naiya sontak menoleh mendengar pertanyaan yang tak pernah ia sangka akan ditanyakan oleh wanita paruh baya itu. Mulutnya ingin mengelak namun kenyataannya yang dilakukan Naiya saat ini hanya diam. Memperkuat asumsi yang dilayangkan oleh Bi Nur.
Naiya sendiri juga bingung sebenarnya ia itu takut kembali ke rumah papanya atau takut berpisah dengan Shaka. Selama ini Naiya tak pernah dekat dengan lelaki manapun. Jadi mungkin ia sedikit sulit untuk memahami perasaan cinta itu seperti apa.
Ia pernah merasa jantungnya berdegup kencang saat melihat Azka. Namun itu dulu, sekarang Naiya tak merasakan apapun lagi pada pria itu. Bahkan saat melihat Azka rasanya biasa saja. Tidak seperti saat pertama kali mereka bertemu saat pesta beberapa wanita yang lalu.
"Jika memang kamu adalah jodoh yang telah ditakdirkan untuk Nak Shaka, maka hanya ada satu yang bisa memisahkan kalian, yaitu maut. Bibi yakin sekeras apapun Nak Shaka berusaha untuk berpisah dari kamu, pasti takdir akan menuntunnya kembali bersama kamu. Percaya sama Bibi."
"Kenapa Bibi bicara seperti itu? Memangnya aku kelihatan kalau jatuh cinta sama Kak Shaka, ya?" tanya Naiya. Terlihat dari sorot matanya bahwa ia ingin sekali mendengar jawaban Bi Nur.
Bi Nur mengangguk tanpa ragu, "Dari cara kamu menatap Nak Shaka saja sudah terlihat."
Naiya menunduk malu mendengar jawaban Bi Nur. Apa benar dirinya memang sudah jatuh cinta dengan dengan Shaka? Jika iya, mengapa secepat itu? Usia pernikahan mereka saja belum sampai dua bulan.
"Jangan malu. Tidak salah kok jatuh cinta sama suami sendiri," ujar Bi Nur menyadari gelagat Naiya.
"Tapi sebenarnya Naiya gak tahu apa Naiya memang udah jatuh cinta. Tapi akhir-akhir ini rasanya Naiya suka sekali jika sedang bersama Kak Shaka," sahut Naiya jujur. Mencurahkan segala perasaannya kepada Bi Nur. Juga mencoba mencari jawaban atas segala yang ia rasakan.
"Terkadang memang lebih susah untuk memahami perasaan diri sendiri. Jadi lebih baik ikuti kata hati kamu. Jika cinta tunjukkan kalau cinta. Begitu pun dengan rasa sayang, kecewa, sedih, marah. Jangan terlalu sering membohongi diri sendiri," ucap Bi Nur menasehati Naiya.
Naiya termenung sejenak mencoba memahami kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Bi Nur. Memang selama ini ia jarang mengutarakan apa yang ia rasakan. Terkadang ketika sedang sedih, ia harus berusaha baik-baik saja agar Nada juga tak ikut sedih. Rasa kecewa terhadap papanya juga tak pernah ia tunjukkan karena tahu hal itu akan sia-sia. Papanya tak akan pernah peduli sekecewa apa dirinya.
"Makasih ya, Bi. Naiya jadi lebih lega," ujar Naiya tersenyum.
Bi Nur menarik tubuh mungil Naiya ke dalam pelukannya. Mengelus punggung serta mengusap lembut kepala wanita itu. Mencoba menenangkan.
"Apapun yang terjadi, Bibi akan tetap menyayangi kamu. Jangan sedih terus, ya! Yakinlah banyak kebahagiaan yang menanti kamu di depan sana."
Naiya mengangguk lalu membalas pelukan itu tak kalah erat. Sudah lama ia tak memeluk mamanya. Dan hari ini ia seperti kembali mendapatkan pelukan yang begitu terasa hangat.
"Aku sayang sama Bibi."
Setelah mendapat nasihat dan juga pelukan dari Bi Nur membuat Naiya menjadi lebih tenang dan rasa takut yang tadi mendera sekarang telah berkurang. Jika memang takdirnya ia dan Shaka harus berpisah, maka Naiya ikhlas.
Naiya juga sudah memutuskan untuk tak akan pernah kembali lagi ke rumah papanya, apapun yang terjadi. Walaupun ada sedikit kekhawatiran bahwa papanya akan berbuat nekat kepada dirinya atau pun orang-orang terdekatnya termasuk Nada.
-o0o-
.
.
To be continued