"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Cakra
Hujan telah reda, tapi langit malam masih mendung. Di lorong rumah sakit, hanya suara langkah suster sesekali terdengar, menyatu dengan dengungan mesin dan detak monitor yang terhubung pada tubuh seorang prajurit yang terbaring lemah.
Di dalam ruangan, Shifa duduk tanpa suara di sisi ranjang Cakra. Wajahnya pucat, mata sembab karena tak tidur semalaman. Jaket medis yang ia kenakan sudah lusuh dan sedikit basah di ujungnya, sisa dari perjalanan mendampingi Cakra sejak evakuasi. Tangannya terus menggenggam tangan Cakra yang dingin dan tak merespons.
“Kamu keras kepala banget, Bang. Aku udah bilang jangan pergi. Aku udah mohon. Tapi kamu tetap milih perang daripada aku… dan sekarang lihat kamu, diam kayak gini. Kalau kamu pergi beneran… aku nggak tahu harus bagaimana.”
Ia menunduk, bibirnya bergetar menahan tangis yang hampir pecah. Tapi ia tetap duduk, tak bergeser sedikit pun, seolah kehadirannya saja bisa membuat Cakra bertahan. Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba, jari Cakra bergerak sangat pelan. Hanya satu getaran kecil, nyaris tak terlihat. Tapi bagi Shifa, itu seperti cahaya di tengah gelap.
Matanya membelalak, dan tanpa sadar ia membisikkan, “Bang…?” Ia mendekat, menatap wajah Cakra yang masih tenang, namun rona pucatnya mulai sedikit memudar. Tangannya menggenggam lebih erat. Jantungnya berdegup kencang bukan karena panik, tapi karena harapan kecil yang mulai tumbuh.
“Kalau kamu bisa dengar aku… tolong, Bang. Bertahanlah. Aku belum selesai marah, belum selesai mencintaimu.”
Cakra berjalan dalam lorong panjang tanpa ujung. Dindingnya tak terlihat, sekeliling hanya kegelapan pekat. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan ia melangkah di antara dunia nyata dan sesuatu yang lebih sunyi. Awalnya, hanya kesunyian yang menemaninya. Namun perlahan, suara-suara mulai muncul… Isak tangis. Tangisan bayi. Jeritan minta tolong. Suara langkah kaki terburu-buru. “Cakra! Cakraaa!”
Cakra berhenti. Nafasnya memburu. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Ia berusaha memahami di mana ia berada. Tiba-tiba, sosok seorang pria muncul di hadapannya. Siluet itu perlahan menjadi jelas — ayahnya. Rangga. Untuk pertama kalinya, Cakra benar-benar melihat wajah ayahnya yang selama ini hanya ia kenal dari foto dan cerita. “Ayah?” Rasa rindu dan marah berbaur dalam tatapannya.
“Kenapa Ayah pergi waktu itu? Kenapa Ayah tinggalin Ibu? Tinggalin aku?”
Rangga menatapnya, tenang. Tak menjawab langsung. Cakra mulai menangis, emosinya meledak dalam kehampaan lorong itu. “Sekarang aku ngerti… aku hampir ngelakuin hal yang sama. Meninggalkan orang-orang yang aku sayang demi idealisme yang bahkan belum tentu aku pahami seutuhnya.”
Cakra terduduk. Suaranya lelah. Matanya berkaca-kaca.
Rangga mendekat, berlutut di hadapannya, dan menepuk pundaknya. “Kamu kuat, Cakra. Tapi kekuatan bukan berarti kamu harus selalu mengorbankan dirimu sendiri. Pulanglah. Perjuanganmu belum selesai di sini.”
Lalu, terdengar suara lembut, seperti dari kejauhan “Cakraaa… Sayang, bangun... pulang, Nak...” Suara ibunya, Dita. Seperti belaian kasih sayang saat ia kecil dahulu.
Cakra menoleh. Dalam kilatan cahaya samar, ia melihat ibunya memanggilnya sambil tersenyum… dan di sisi lain— Shifa. Duduk sendirian di bangku rumah sakit, menggenggam sebuah foto kecil—foto mereka berdua. Air matanya menetes. “Jangan tinggalin aku, Bang…” “Aku nggak sanggup kehilangan lagi…” Cakra menatap semua itu. Hatinya tergetar. Langkahnya mulai berat, tapi perlahan ia berbalik arah, menuju cahaya di ujung lorong.
Suara mesin dan detak jantung pelan mulai terdengar samar. Pencahayaan putih menyilaukan matanya. Cakra mengerjapkan mata perlahan, mencoba memahami di mana ia berada. Pandangannya masih kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang hangat menggenggam tangannya. “Bang… kamu dengar aku?” Suara itu… lembut, penuh harap… dan sangat familiar. Pelan-pelan, Cakra memalingkan wajah ke arah suara tersebut. Di sampingnya, Shifa duduk dengan wajah lelah dan mata sembab, tapi senyumnya menyembunyikan kelegaan yang begitu dalam.
Cakra mencoba membuka mulut, dan sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. “Aku… masih hidup?” Suaranya pelan, serak, nyaris tak terdengar. Shifa menahan tangis. Ia mengangguk pelan sambil menggenggam tangan Cakra lebih erat. “Iya… dan kamu nggak boleh pergi lagi,” jawabnya dengan suara bergetar. Cakra berusaha duduk, namun tiba-tiba wajahnya meringis—rasa sakit menyerang perut dan dadanya. Nafasnya tertahan sejenak, tubuhnya menggeliat pelan karena luka yang belum pulih.
Shifa segera menahan bahunya, “Jangan bergerak dulu, Bang… lukamu belum kering.” Ia memandangi tubuh Cakra yang dibalut perban, dada dan sisi perutnya terlihat penuh memar dan bekas luka. Meski sakit, ada cahaya kehidupan di mata Cakra yang mulai kembali bersinar. Shifa menyentuh dahinya pelan, mengusap keringatnya. “Kamu udah berjuang sejauh ini… sekarang giliran aku yang jagain kamu.” Cakra hanya tersenyum pelan, tak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi tatapan mereka saling bicara—tentang rasa syukur, tentang harapan yang sempat pupus, dan tentang cinta yang tak sempat benar-benar mereka ucapkan selama ini.
Langit malam menggantung kelam di balik jendela rumah sakit. Lampu ruangan diredupkan, hanya menyisakan cahaya temaram dari lampu sudut dan monitor medis yang terus berbunyi pelan. Cakra bersandar di ranjang dengan bantal tinggi, wajahnya pucat dan lesu. Di meja kecil, semangkuk bubur ayam hangat masih utuh, uapnya perlahan menghilang. Shifa duduk di samping ranjang, menatapnya dengan cemas.
“Bang, makan dulu ya. Dokter bilang kamu harus isi tenaga.” Cakra menggeleng pelan. “Aku nggak lapar, dek…” ucapnya lirih. Shifa menahan napas, lalu menghela panjang. Ia mengambil sendok, meniup bubur itu sebentar, dan menyodorkannya ke mulut Cakra. “Kalau abang nggak mau makan sendiri, ya udah… aku suapin.”
Cakra terdiam. Ia sempat menatap Shifa seperti ingin menolak, tapi tatapan lembut dan tegas dari gadis itu membuatnya akhirnya membuka mulut, menyerah.
Sendok pertama masuk. Shifa tersenyum kecil, seolah merasa menang. “Gitu dong. Kalau nggak kuat jalan, kuat makan, ya kan?" Cakra hanya mendengus kecil, namun tak melawan. Ia pasrah disuapi. Tiba-tiba suara pintu diketuk dua kali, lalu terbuka perlahan. Darma, sahabat Cakra, masuk membawa kantong plastik berisi buah-buahan. Tatapannya langsung tertuju pada pemandangan di depannya. Ia berhenti sejenak, lalu mengangkat alis tinggi. “Wah, wah… Ini beneran Bang Cakra yang kita kenal? Disuapin… dan diem aja?”
Cakra menoleh pelan ke arah Darma, wajahnya sebal, tapi tidak bisa membantah.
Shifa langsung menahan tawa. “Ya… karena kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa bikin dia nurut?”
Darma tertawa keras, mendekat ke ranjang. “Hebat juga, Fi. Gue baru liat komandan kita kayak gini. Biasanya ngasih perintah galak banget, sekarang disuapin kayak bocah.” Cakra mendecak pelan, lalu berkata dengan suara lemah namun penuh sindiran, “Kalo lo masih banyak komentar, gue bisa nyuruh lo keluar sekarang juga.”
Mereka bertiga tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya malam itu, suasana menjadi lebih ringan. Di antara nyeri dan luka, mereka masih bisa menemukan canda. Dan di tengah segala kehancuran, ada rasa yang perlahan-lahan tumbuh—dan pulih.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf