Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Bab 30
Mobil Ryan berhenti di depan gedung apartemen sederhana berlantai delapan.
Bukan tempat yang mewah, tapi bersih dan tertata.
Ryan turun, langkahnya cepat dan mantap.
Ia menunjukkan identitasnya pada petugas keamanan di pos.
“Oh, iya Pak… Mbak Asmara memang baru datang siang tadi. Naik lift kanan, lantai lima, unit B-12.”
“Terima kasih.” jawab Ryan singkat.
Lift berbunyi ting, pintunya terbuka.
Ryan melangkah masuk dengan rahang mengeras, napasnya dalam-dalam.
Tangannya menggenggam kuat ponselnya — menahan campuran antara amarah, kecewa, dan rasa khawatir yang belum juga reda.
Lift pun naik perlahan ke lantai lima.
Suara ding dari lift terdengar lembut, pintunya terbuka.
Ryan melangkah keluar dengan langkah berat namun pasti.
Lorong apartemen itu sepi, hanya terdengar dengung AC sentral dan samar suara televisi dari salah satu unit.
Di depan pintu B-12, Ryan berhenti.
Tangannya sempat terangkat, ragu sejenak, lalu ia mengetuk perlahan.
Tok… tok… tok.
Tidak ada jawaban.
Ia menunggu beberapa detik sebelum mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Tok! Tok! Tok!
Dari dalam, terdengar langkah kecil tergesa.
Pintu terbuka perlahan, menampakkan Asmara, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek kain, rambutnya masih sedikit berantakan.
Matanya membesar saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
“Ryan…? Gimana kamu bisa tahu aku di sini?” kata Asmara gugup.
Ryan tidak langsung menjawab.
Tatapannya menyapu ruangan kecil di belakang Asmara — koper terbuka di lantai, kardus berisi pakaian, dan suasana yang jelas menunjukkan betapa mendadaknya Asmara pergi.
Lalu matanya kembali menatap gadis itu. Dalam. Tenang. Tapi dingin.
“Kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja, dari aku. Dan kamu pikir aku bisa diam aja?”
Asmara menunduk. Suaranya nyaris tak terdengar.
“Aku cuma… nggak mau ganggu kamu lagi, Ryan. Aku tahu tempatku bukan di antara orang-orang seperti kalian.”
Ryan terdiam sesaat.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan nada suaranya agar tidak terdengar marah.
“Kamu tahu apa yang aku pikirin waktu Mami bilang kamu pergi? Aku takut, Mara. Takut sesuatu terjadi lagi sama kamu. Aku belum selesai nyari siapa yang nyakitin kamu, dan kamu malah pergi sendirian.”
Asmara menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk, antara sedih, bersalah, dan takut.
“Aku cuma butuh tenang, Ryan. Aku nggak mau jadi beban kamu…”
Ryan menatap tajam, tapi nada suaranya menurun
“Berhenti ngomong kayak gitu. Dari awal aku nggak pernah anggap kamu beban.”
Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin. Asmara tidak menghalangi, hanya mundur pelan.
Ryan menatap koper di lantai lalu berjongkok, menyentuh kain selimut yang masih terlipat rapi di atasnya.
“Kalau kamu mau tenang, aku ngerti. Tapi jangan pergi dari sisiku, Karena selama kamu jauh dariku, aku yang nggak akan pernah benar-benar tenang.”
Asmara tidak menjawab. Air matanya mulai menggenang, tapi ia menunduk agar Ryan tidak melihat.
Namun Ryan memperhatikan setiap gerak kecilnya.
“Aku tahu kamu takut, Mara. Tapi aku nggak akan biarkan kamu hadapi semuanya sendirian lagi. Bukan kali ini.”
Hening sejenak.
Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak pelan.
Ryan akhirnya berdiri.
Ia melangkah mendekat, lalu mengusap lembut rambut di sisi wajah Asmara yang menutupi perban di pelipisnya.
“Kamu boleh melakukan apa yang kamu mau… kalau itu yang bikin kamu nyaman. Tapi aku akan tetap pastikan kamu aman. Itu aja yang aku mau sekarang.”
Asmara mengangkat wajahnya perlahan, menatap Ryan dengan mata yang basah.
“Kenapa kamu selalu kayak gini, Ryan? Kenapa kamu nggak marah aja sama aku?”
Ryan berdecak.
“Aku marah kok, bahkan saat ini aku marah banget sama kamu kalau kamu keras kepala begini.”
Langit di luar tiba-tiba pecah.
Hujan deras mengguyur kota, disertai suara petir yang memekakkan.
Cahaya kilat sesekali menembus tirai jendela, membuat bayangan di wajah Ryan dan Asmara terlihat bergantian — antara dingin dan gelisah.
Asmara langsung duduk di sofa, memeluk bantal kecil di dadanya.
Ia menatap Ryan yang berdiri di depan jendela, kedua tangannya diselipkan di saku celana, bahunya tegang, rahangnya mengeras setiap kali petir menyambar.
Suasana itu terasa menyesakkan.
“Kenapa kamu bersikap begini, Ryan?” tanyanya lagi. “Aku nggak ngerti… kenapa kamu tiba-tiba jadi protektif banget sama aku.”
Ryan menoleh pelan, matanya tajam tapi menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Ia menatap Asmara dalam-dalam, seolah berusaha mencari jawaban yang bahkan ia sendiri tidak punya.
“Aku cuma nggak mau kamu disakiti lagi, Mara.”
Asmara menggeleng cepat, suaranya mulai bergetar, menahan emosi yang campur aduk antara bingung, takut, dan marah.
“Apa kamu lupa, kita cuma pura-pura, Ryan?” kata Asmara terisak. “Kamu sendiri yang bilang semuanya cuma permainan di depan mami kamu. Jadi… kenapa sekarang kamu seolah—”
Suara Asmara tertelan petir yang mengguntur keras di luar sana. Ia refleks menutup telinganya, tubuhnya sedikit bergetar.
Ryan spontan mendekat, memegang bahunya, membuat jarak di antara mereka mendadak lenyap.
“Asmara, lihat aku.” kata Ryan pelan dan tegas.
Asmara menatapnya, mata mereka bertemu dalam jarak yang nyaris terlalu dekat.
Ada ketegangan yang begitu nyata di udara; suara hujan di luar makin deras, seperti menutup dunia di sekeliling mereka.
“Iya, awalnya aku minta kamu pura-pura. Tapi sejak malam itu di Bali… aku nggak tahu lagi mana yang pura-pura dan mana yang sungguhan.” kata Ryan dengan nada berat.
Asmara tertegun.
Napasnya tercekat di tenggorokan. Ia ingin bicara, tapi bibirnya tak bisa bergerak.
Petir menyambar lagi, membuat cahaya putih sesaat menerangi wajah mereka, memperlihatkan betapa tulus dan rapuhnya perasaan yang kini muncul di mata Ryan.
“Ryan… kamu nggak boleh ngomong kayak gitu.” kata Asmara lirih. “Kalau aku mulai percaya… aku bakal terluka.”
Ryan menatapnya lama.
Hening.
Suara hujan terus menampar kaca, menciptakan ritme yang tak beraturan.
Akhirnya, Ryan menghela napas dalam, menatap ke Arah Asmara dengan tatapan dalam.
“Aku nggak akan paksa kamu percaya apapun. Tapi aku juga nggak akan biarin kamu terluka karena aku.”
Asmara hanya bisa diam.
Ia menunduk, jantungnya berdetak terlalu cepat, entah karena takut, marah, atau sesuatu yang lain yang mulai tumbuh di antara mereka.
Suara hujan semakin keras menghantam jendela.
Guruh berdentum, mengguncang udara.
Asmara menggeser tubuhnya menjauh dari Ryan, kedua tangannya menggenggam ujung baju yang ia kenakan.
Tubuhnya bergetar, entah karena udara dingin atau perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Namun Ryan semakin mendekat, ia meraih tangan Asmara pelan, meskipun wajahnya tegang, napasnya berat.
“Aku nggak akan pergi… sebelum kamu bilang kalau kamu mau bersamaku.”
Asmara menoleh cepat, matanya membulat.
Suara Ryan barusan, bukan sekadar nada tegas, tapi juga mengandung perasaan yang selama ini ia hindari untuk diakui.
“Ryan, jangan bercanda kayak gitu. Aku… aku nggak bisa—”
Ryan semakin mendekat lagi.
Hingga kini jarak wajah mereka hanya tinggal sejengkal.
“Aku nggak bercanda.” Ryan menatap lurus ke matanya.
“Kamu pikir aku datang ke sini cuma buat marah? Aku datang karena aku takut kehilangan kamu.”
Asmara menggeleng, menunduk, air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan.
“Kamu nggak ngerti, Ryan… kamu terlalu tinggi buat aku. Kamu anak orang kaya, pemilik SkyAir. Sedangkan aku cuma pramugari biasa.”
Ryan terdiam sesaat, lalu mengangkat dagu Asmara perlahan agar matanya kembali bertemu dengan matanya.
“Justru karena kamu beda, aku nggak bisa berpaling. Aku udah lihat banyak orang palsu di hidupku, Asmara. Tapi kamu—” kata Ryan pelan tapi dalam.
“Kamu nyata.”
Asmara memalingkan wajahnya, tapi Ryan menahan tangannya.
Suara petir menggelegar lagi, membuat ruangan itu terasa makin mencekam, namun juga sarat emosi
“Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Aku takut, Ryan…”
Ryan semakin menatapnya dalam, hampir tak berkedip.
“Kamu nggak perlu takut. Aku bukan kamu, yang bisa ninggalin aku tanpa kata-kata.” Ia menarik napas, nadanya kini tegas namun penuh harap.
“Jadi jawab aku, Mara… Kamu mau aku pergi malam ini, atau kamu mau aku tetap di sini, bersamamu?”
Hening.
Hanya hujan dan detak jantung mereka yang terdengar.
Asmara memejamkan mata, bahunya naik turun karena napas yang tercekat.
Air matanya jatuh satu demi satu, membasahi pipi. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia berbisik lirih, hampir tak terdengar.
“Aku nggak tahu… tapi aku nggak mau sendirian malam ini, aku takut petir.”
Ryan menatapnya lama, kemudian tanpa berkata apa pun, ia menarik Asmara ke dalam pelukannya.
Asmara menenggelamkan wajah di dada Ryan, menangis dalam diam, sementara di luar hujan masih terus turun deras, seolah ikut menyembunyikan kejujuran yang akhirnya mereka lepaskan malam itu.
...🌧...
...🌧...
...🌧...
...Bersambung........
kan sama2 masih singgel?moga2 aja yg pada ngiri akan dapat balesan
mantan kekasihnya yg masih Ter obsesi sama Asmara