“Lelaki baik untuk perempuan yang baik, sedang lelaki buruk untuk perempuan yang buruk. Tapi, bagaimana bisa orang yang baik mendapatkan seseorang yang buruk?”
***
Ruby, gadis muslimah keras kepala yang bercita-cita menjadi seorang animator. Sebuah kejadian rumit membuatnya memutuskan khitbah Iqbal, pria yang dicintai, lalu menikahi Hiko, kekasih sahabatnya.
Pernikahan suci itu ternodai demi keegoisan pribadi. Meski dalam kapal yang sama, mereka hidup dengan dunia masing-masing. Sampai Allah menggerakkan hati mereka untuk saling membutuhkan.
Dalam keindahan rumah tangga yang mulai terjalin, tiba-tiba mereka terjebak dalam pilihan yang cukup berat. Apakah rumah tangga itu harus bertahan di atas keegoisan atau ikhlas melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin Aiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
"Saya ingin menikahinya, Ruby putri anda."
Satu kalimat yang membuat Ruby menarik diri dari pelukan umminya. Air matanya terhenti, ia menatap Maria yang ada disampingnya.
"Hiko mau menerima kamu apa adanya, sayang. Kami sekeluarga menerima kamu dengan segala kekuranganmu." Maria menjawab arti dari tatapan mata Ruby.
"Bagaimana denganmu, Nak?" tanya Nyai Hannah pada Ruby.
Sejak menerima telpon dari Abinya semalam, Ruby benar-benar terkejut. Ia sudah mengira jika Hiko tidak akan mau menikahinya karena Hiko pasti lebih memilih Nara. Tapi, kenyataannya berbeda dengan yang ia pikirkan. Hiko mau menikahinya.
Ada apa dengannya, apa Nara mengetahui hal ini? Apa ini bagian dalam rencana mereka? atau Hiko sedang ingin bertanggungjawab dengan perbuatannya.
"Ruby..."
Sentuhan lembut Maria di tangan Ruby menyadarkannya dari segala prasangka dikepalanya.
"Hiko juga banyak kekurangan, pasti kamu bimbang ya?"
Jika melihat fisik, Hiko memang jauh diatas Iqbal. Tetapi, dari sikap dan sifat apalagi ilmu agamanya, dia jauh dibawah standart yang telah diterapkannya selama ini.
Ruby menghela nafas panjang, "Bismillahirahmanirrohim, saya menerima lamaran dari mas Hiko, Bu."
"Alhamdulillah..."
Ucapan syukur keluar dari kedua orang tua Ruby dan Hiko. Sedangkan Ruby dan Hiko sedang bingung akan menjelaskan apa pada Nara.
Nyai Hannah mengajak Ruby ikut ke ruang tamu bertemu dengan Hiko dan Handoko.
Ruby memberi salam dari jauh pada Handoko. Namun tidak pada Hiko, Ruby tak mau memandang wajah calon suaminya itu.
"Saya ingin menikahkan kalian hari ini juga ba'da magrib. Apa kamu bersedia, Nak?" Tanya Kyai Abdullah pada Hiko.
Hiko terkejut, secepat ini? batinnya.
Handoko menyentuh bahu putranya, "Papa setuju jika kalian segera menikah."
"Hiko belum mempersiapkan apapun, Pa." kata Hiko.
"Ruby, apa mahar yang kamu inginkan?" Tanya Handoko.
"Sekecil apapun, semurah apapun itu. Jika mas Hiko ikhlas, saya akan menerimanya, pak." Jawab Ruby.
"Sebutkan saja, By. Biar Ajudan pak Handoko yang mencarikannya." kata Maria.
Ruby tersenyum dan menggeleng, "Tidak, Bu. Saya tidak ingin merepotkan siapapun. Apapun yang mas Hiko berikan untuk dijadikan mahar akan saya terima. Yang terpenting dia ikhlas, saya ridha menerimanya."
Handoko dan Maria menatap putranya.
Hiko sendiri sedang kebingungan, apa yang akan ia jadikan mahar untuk Ruby. Dia tak membawa barang apapun yang berharga untuk dijadikan mahar.
Akhirnya ia putuskan melepaskan cincin perak polos dari kelingkingnya dan melepaskan Fossil Grant dari pergelangan tangan kirinya. Ia meletakkan dua barang itu didepan kyai Abdullah.
"Dua barang ini yang akan saya jadikan mahar, pak kyai." ujar Hiko.
"Apa kamu ikhlas dua barang ini dijadikah mahar untuk Ruby?" Tanya kyai Abdullah meyakinkan ulang.
Hiko mengangguk, "Saya ikhlas pak kyai."
"Bagaimana denganmu, By?" Tanya kyai Abdullah pada putrinya.
Ruby mengangguk, "Ruby menerimanya dengan ridha, Abi."
"Baiklah, Usai sholat magrib kalian akan ku nikahkan dengan mahar cincin dan jam tangan ini." kata kyai Abdullah.
Hiko dan Ruby mengangguk.
"Abi, bisakah aku minta ijin untuk bicara berdua dengan mas Hiko. Ada yang harus ku tanyakan padanya sebelum kami menikah." Tanya Ruby.
Kyai Abdullah sudah menunjukkan ekspresi tidak setuju, tapi Nyai Hannah memegang tangan suaminya untuk memberikan ijin pada putrinya.
"Bicaralah di dekat kolam." Ucap Kyai Abdullah.
Ruby mengangguk, "Bisa ikut saya, mas." ajak Ruby pada Hiko.
Ruby berdiri dan Hiko mengikuti dibelakang Ruby menuju bagian tengah rumah, dimana ada kolam ikan dengan teras kecil disisi kiri dan ruang kosong terbuka yang digunakan untuk mushola di sisi kanan kolam.
Ada dua bangku kayu dengan meja bulat yang memisahkannya. Ruby mempersilahkan Hiko duduk di sana, kursi yang biasa digunakan Abinya untuk bersantai.
"Apa yang mau lo bicarain?" Tanya Hiko setelah duduk, ia menatap Ruby yang duduk disisi kirinya.
"Apa alasan mas ingin menikahi saya?" Tanya Ruby tanpa mengalihkan pandangannya dari sekumpulan ikan koi yang sedang berharap dua manusia disana akan memberi mereka makanan. "Apa ini bagian dari rencana kalian?"
Hiko menyandarkan punggungnya di kursi, matanya lurus menatap mushola terbuka yang berada diseberang kolam. "Ada alasan yang gak bisa gue jelasin ke lo."
Deg!
Ruby menatap Hiko, Apa alasan yang sedang kupikirkan sama dengan alasan yang ada dipikirannya? batin Ruby.
Hiko kembali menatap Ruby, "Alasan lo nerima lamaran ini apa?" Tanya Hiko.
"Mungkin alasan yang sama dengan apa yang sedang mas pikirkan." Jawab Ruby.
"Apa?" Hiko menegakkan duduknya menatap Ruby.
Bibir Ruby mulai bergetar, sekuat tenaga ia menahan agar air matanya tak menetes.
"Jawab pertanyaan gue dengan jelas." Pinta Hiko.
Rubby menggeleng, "Biarkan saya menyimpan alasan saya sendiri dan saya akan membiarkan mas menyimpan alasan mas sendiri. Dengan begitu kita akan bisa menjalani semuanya bersama."
Hiko masih menatap Ruby, mencoba menebak alasan Ruby. Apa lo tahu kalau gue yang ngambil kehormatan lo? Batin Hiko.
Rubby segera memalingkan wajahnya, kembali menatap ikan ikan-ikan koi yang sudah berenang menyusuri kolam. Ia tahu arti tatapan Hiko, sedangkan ia tak mau Hiko menemukan jawaban di dalam matanya.
Baginya, berpura-pura tidak tahu dan menyimpan semuanya dibenak masing-masing adalah hal terbaik. Saling memberitahu hanya akan membuat Ruby semakin membenci Hiko.
"Bisa saya meminta sesuatu padamu, mas?" Tanya Ruby.
Hiko menatap Ruby.
"Walau kita nanti menjadi suami istri, tolong jangan sentuh saya tanpa ijin."
"Huh!" Hiko mengangkat salah satu ujung bibir atasnya, "Tenang aja, Gue gak minat sama lo!"
Ruby hanya mendengus kesal.
"Apa Nara tahu tentang keputusan mas?" tanya Ruby.
Hiko menggeleng, "Gue akan jelasin kalo udah di Jakarta."
"Dia akan merasa dihianati."
Hiko mengangguk, "Tapi lo tahu gue akan tetap nikahin dia, kan?" Tanya Hiko.
Ruby mengangguk, "Setelah mas menceraikan saya." Ucap Ruby.
Ia sudah memikirkannya, lebih baik orang melihatnya sebagai janda daripada seorang gadis yang sudah ternoda.
**********
Cakrawala masih memancarkan warna jingga di ufuk barat, kerlip-kerlip bintang pun masih malu menunjukkan kecantikannya. Do'a penutup Sholat sudah dilafakan sang imam, tanda sholat magrib telah usai dilaksanakan.
Setelah warga mendengar kabar kyai Abdullah akan menikahkan putri semata wayangnya, jamaah masjid pesantren Al Mukmin magrib ini lebih banyak dari biasanya. Bahkan ada jamaah dadakan, tidak ikut sholat tapi tiba-tiba saja sudah memenuhi shaf belakang.
Tes tes tes
Ngiiing....
Salah seorang santri kyai Abdullah mencoba microphone yang digunakan kyai Abdullah dan Hiko untuk mengucapkan Ijab Qobul. Jam tangan dengan brand ternama dan cincin perak kesayangan Hiko sudah siap menjadi mahar diatas meja kecil.
Kyai Abdullah sudah duduk berhadapan dengan Hiko, yang dalam hitungan menit akan menjadi menantunya, istri dari putri kesayangannya.
Pria yang selalu tampil stylist itu kini mengenakan baju koko putih dengan sarung hitam, rambut hitamnya sudah tertutup songkok hitam. Beruntung Allah memberinya wajah yang rupawan, sehingga memakai apapun tidak akan membuatnya tak sedap dipandang.
Handoko sudah bersiap disisi kanan Hiko, sedangkan disisi kirinya ada imam masjid. Mereka berdua dan para jamaah yang akan menjadi saksi pernikahan Hiko dan Ruby.
"Sudah siap?" Tanya Kyai Abdullah.
"Sudah, pak kyai." Jawab Hiko.
Kyai Abdullah mengulurkan tangannya, tanpa ragu Hiko menjabatnya. Sudah beberapa kali Hiko melakukan adegan akad nikah, seharusnya dia sudah nyaman dan terbiasa. Tapi rasa itu sama sekali tidak ia dapatkan disana. Jantungnya trus berdegup kencang walau ia sudah berulang kali menenangkannya.
Dengam microphone yang sudah menempel di janggut Kyai Abdullah membuat Ruby yang berada dikamar bersama Nyai Hannah dan Maria bisa mendengar Abinya melafalkan beberapa doa sebelum memulai kalimat ijab qobul.
Ruby duduk diatas tempat tidur dengan gamis dan kerudung putih. Nyai Hannah dan Maria berada di sisi kanan dan kirinya.
"Ibrahim Akihiko!"
Suara nyaring keluar dari pengeras suara masjid, menggema ke seluruh pesantren hingga ke kamar Ruby. Jantungnya semakin terpacu kuat.
"Saya!"
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putriku yang bernama Tabina Ruby Azzahra binti Abdullah dengan mas kawin jam tangan dan cincin perak dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Tabina Ruby Azzahra binti Abdullah dengan maskawin tersebut diatas tunai." Sekali tarikan nafas Hiko menyelesaikan kalimat Qobulnya
"SAAAAH!!"
Seruan jamaah menjadikan Ruby istri sah dari Hiko. Nyai Hannah memeluk putri semata wayangnya, tangisnya terurai merelakan putrinya menjadi milik orang lain.
-Bersambung-
.
.
.
.
.
aku lupa dichapter berapa 🥺
kalau baca cerita ini selalu nangis😭 padahal udah tau cerita nya