Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 BAYANGAN BARU
Hujan deras semalam masih meninggalkan jejak genangan di jalan. Udara dingin menusuk tulang ketika Amara melangkah masuk ke ruang yayasan pagi itu. Matanya sembab, tetapi langkahnya tegap. Semua relawan menatapnya dengan cemas, seakan takut satu kata buruk keluar dari mulutnya.
“Sidang kemarin bagaimana, Kak?” tanya seorang relawan muda dengan suara lirih.
Amara tersenyum tipis. “Aku masih saksi. Kita tidak kalah. Tapi permainan ini belum selesai.”
Rani segera mendekat, meraih map dari tangan Amara. “Kau benar-benar membuatku takut. Kau keluar dari gedung kejaksaan dengan wajah dingin, tapi aku tahu kau gemetar.”
Amara menepuk pundak sahabatnya. “Aku memang gemetar. Tapi aku tidak runtuh. Itu bedanya.”
Sore hari, beberapa anak yayasan berkumpul untuk kelas rutin. Ruangan dipenuhi suara riuh, tawa kecil, dan bau kertas baru. Amara berusaha menenangkan hatinya dengan melihat senyum mereka.
Namun di antara wajah-wajah polos itu, muncul seorang perempuan muda dengan rambut panjang bergelombang. Ia memperkenalkan diri dengan penuh semangat.
“Halo, aku Livia. Aku baru bergabung sebagai relawan. Senang bisa membantu.”
Anak-anak langsung menyambutnya, dan beberapa relawan tampak lega ada tenaga baru. Amara mengulurkan tangan, menatap Livia sejenak. “Selamat datang. Kita selalu butuh orang yang benar-benar tulus.”
Livia tersenyum lebar, matanya berbinar. “Tentu saja. Aku datang karena ingin belajar dari Kak Amara.”
Namun entah kenapa, dada Amara terasa berat. Senyum Livia terlalu sempurna, tatapannya terlalu menusuk.
Di luar gedung yayasan, sebuah mobil hitam berhenti. Livia menunduk sebentar, mengirim pesan singkat dari ponselnya. “Sudah di dalam. Dia tidak curiga.”
Balasan datang cepat: “Bagus. Mainkan perlahan. Jangan terburu-buru. Pastikan kau dekat dengannya.” Nama pengirim: Meylani.
Malam itu, Amara menghadiri rapat keluarga di rumah besar Atmadja. Ruang tamu dipenuhi kerabat, suasananya kaku. Beberapa paman berbicara lantang.
“Bagas, ini semakin keterlaluan. Nama besar keluarga terus disebut di berita hanya karena perempuan itu!”
“Kalau yayasan bermasalah, publik mengira perusahaan kita juga bermasalah!”
Amara duduk di sisi sofa, menunduk, menahan air mata. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada interogasi di kejaksaan.
Meylani yang duduk di tengah pura-pura menenangkan. “Tenanglah, semua. Kita hanya ingin reputasi keluarga tetap bersih. Kalau Amara memang tidak salah, biarkan hukum yang membuktikan. Tapi kalau salah…” Ia menoleh ke Amara dengan senyum samar. “…lebih baik kita yang mengambil keputusan duluan.”
Ruangan hening. Semua mata beralih ke Bagas.
Ia berdiri, menatap semua kerabat dengan sorot tajam. “Amara tetap istriku. Selama proses ini, aku akan mendampinginya. Jika kalian menganggap dia masalah, maka anggap aku juga masalah.”
Keributan pecah. Suara-suara protes terdengar. Namun bagi Amara, satu kalimat itu lebih berharga dari seribu pembelaan. Dadanya bergemuruh, antara lega dan takut.
Usai rapat, Amara berjalan keluar dengan langkah berat. Bagas mengejarnya, menahan lengannya. “Kau baik-baik saja?”
Amara menoleh, matanya berkaca. “Tidak. Tapi aku harus kelihatan baik-baik saja.”
Bagas menatapnya lama, seolah ingin mengatakan banyak hal, tapi hanya menghela napas. “Aku sudah siapkan tim pengacara tambahan. Kita akan buktikan bahwa tuduhan itu palsu.”
“Kenapa kau begitu peduli, Bagas?” tanya Amara pelan. “Padahal lebih mudah bagimu membiarkanku jatuh.”
Bagas tidak menjawab. Matanya hanya menatap dalam, lalu ia berjalan lebih dulu ke mobil. Amara menggigit bibir, hatinya berdebar tak karuan.
Keesokan harinya, Livia semakin aktif di yayasan. Ia mendekati anak-anak, membantu mengatur buku, bahkan pura-pura bersikap akrab dengan Rani.
Namun beberapa kali Amara menangkap Livia sedang memotret dokumen di meja tanpa izin. Saat ditanya, Livia tersenyum canggung. “Oh, aku cuma ingin mengunggah kegiatan kita di media sosial. Supaya donatur tahu kita aktif.”
Amara mengangguk, tapi hatinya tetap gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres.
Sore itu, Indra datang membawa kabar mengejutkan. “Amara, ada artikel baru di forum mahasiswa. Mereka bilang yayasanmu punya relawan bermasalah. Katanya ada kebocoran data donatur.”
Amara terbelalak. “Dari mana informasi itu?”
Indra mengangkat ponselnya, menunjukkan sebuah postingan anonim lengkap dengan foto daftar donatur.
Amara meraih ponsel itu dengan tangan gemetar. Foto itu persis sama dengan dokumen yang ia lihat di meja kemarin—dokumen yang sempat disentuh Livia.
Apakah dia…?
Malamnya, Amara tidak bisa tidur. Ia menulis di buku catatannya dengan tangan bergetar.
“Hari ini aku melihat bayangan baru. Wajahnya tersenyum manis, tapi matanya menusuk seperti pisau. Jika benar Livia orang mereka, maka permainannya semakin berbahaya. Aku harus lebih hati-hati. Aku tidak boleh jatuh ke jebakan.”
Ia menutup buku, menatap bulan pucat di langit. Di kejauhan, petir menyambar, seakan memberi isyarat bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat.
Dan tepat saat itu, ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal masuk: “Percaya pada orang yang salah, dan yayasanmu akan hancur lebih cepat dari yang kau kira.”
Amara menatap layar itu lama, merasakan tubuhnya menggigil. Untuk pertama kalinya, ia merasa dikelilingi musuh bahkan di tempat yang seharusnya aman.
Amara mencoba menenangkan dirinya dengan menghirup udara malam dari balkon kamar. Namun pikirannya berputar terus, terutama tentang Livia. Senyum manis itu, cara ia menyusup begitu cepat ke hati anak-anak, bahkan sikap ramahnya pada relawan lain—semuanya terlalu sempurna untuk dipercaya.
Rani mengetuk pintu kamar. “Mar, kau belum tidur? Besok kita masih harus mengatur kelas tambahan.”
Amara menoleh, berusaha tersenyum. “Aku hanya… tidak bisa berhenti memikirkan yayasan. Semua terasa terlalu cepat berubah.”
Rani duduk di kursi dekat jendela. “Kau selalu memikirkan orang lain. Tapi jangan lupa, kau juga manusia, Mar. Kau butuh tidur, butuh makan, butuh istirahat. Kalau kau tumbang, yayasan benar-benar bisa runtuh.”
Amara menggenggam tangan sahabatnya erat. “Kalau bukan aku yang berdiri, siapa lagi? Semua anak-anak itu butuh tempat ini.”
“Bagas,” jawab Rani spontan. “Dia selalu datang di saat kau hampir jatuh.”
Nama itu membuat dada Amara bergetar. Ia menunduk, wajahnya memanas. “Bagas hanya… menjalankan tanggung jawabnya.”
Rani tersenyum samar. “Mungkin. Tapi aku lihat cara dia menatapmu berbeda.”
Keesokan harinya, Bagas benar-benar datang ke yayasan. Kehadirannya membuat semua relawan tegang. Ia meninjau ruangan kelas, berbicara singkat dengan relawan, lalu mendekati Amara.
“Aku sudah dengar soal kebocoran data,” ucapnya pelan. “Aku akan perintahkan tim IT untuk melacak dari mana bocornya.”
Amara mengangguk, menahan perasaan campur aduk. “Aku takut, Bagas. Kalau benar ada orang dalam yang bermain, berarti aku tidak bisa mempercayai siapa pun lagi.”
Bagas menatapnya lama. “Kalau kau ragu pada orang lain, setidaknya percayalah pada dirimu sendiri. Kau tahu mana yang benar.”
Amara terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti pegangan di saat ia hampir tenggelam.
Di sisi lain, Livia mengamati dari kejauhan. Matanya menajam saat melihat Amara dan Bagas berbicara begitu dekat. Ia mengirim pesan cepat ke ponselnya: “Keduanya makin akrab. Aku akan cari cara memecah mereka.”
Balasan masuk beberapa detik kemudian: “Gunakan kelemahan Amara. Dekati orang-orang terdekatnya. Pecah lingkarannya dari dalam.”
Livia menggenggam ponselnya erat, lalu memasang kembali senyum manis di wajahnya saat seorang anak yayasan memanggil namanya.
Siang itu, berita daring kembali mengguncang. Judulnya mencolok: “Yayasan Cahaya Anak Diduga Bocorkan Data Donatur.” Artikel itu menyebutkan ada kebocoran informasi pribadi yang bisa merugikan pihak sponsor.
Relawan panik, beberapa bahkan mulai bicara untuk mundur. “Kalau benar ada kebocoran, kita bisa kena tuntutan, Kak,” ujar salah satu dari mereka.
Amara berusaha tenang. “Tenang, kita cek dulu. Jangan membuat keputusan hanya karena gosip.”
Namun di dalam hatinya, ia gemetar. Ia tahu, berita ini bisa membuat donatur besar benar-benar menarik dukungan.
Malam harinya, Amara kembali menulis di buku catatannya. Tinta berlari cepat, seolah kata-kata harus segera keluar sebelum lenyap.
“Hari ini aku melihat wajah manis yang mungkin menyimpan belati. Aku melihat keluargaku sendiri meragukanku. Aku melihat yayasan yang kuperjuangkan hampir runtuh oleh gosip yang tak henti-henti. Tapi aku juga melihat secercah keberanian dari orang-orang yang masih berdiri di sisiku. Aku tidak tahu siapa musuh sebenarnya di sekelilingku, tapi aku tahu satu hal: aku harus lebih kuat dari rasa takutku sendiri.”
Ia menutup buku itu dengan tangan bergetar, lalu menatap jendela. Di luar, lampu jalan berkelip samar, seperti mata-mata yang terus mengawasi.
Di rumah besar, Meylani membaca laporan dari Livia dengan senyum puas. “Bagus. Pecah lingkarannya, buat dia ragu pada semua orang. Kalau ia tidak punya siapa-siapa, lebih mudah untuk menjatuhkannya.”
Ia meneguk anggur merah, menatap pantulan wajahnya di kaca jendela. “Amara, kau pikir sudah kuat? Kau belum tahu bagaimana rasanya benar-benar sendirian.”
Amara menutup matanya di ranjang, berusaha tidur. Namun sebelum kantuk datang, ponselnya kembali bergetar. Pesan baru muncul:
“Besok, seseorang yang paling kau percaya akan menusukmu dari belakang.”
Tangannya gemetar. Ia memandang layar lama, lalu memeluk ponselnya erat-erat. Dadanya bergemuruh. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak tahu siapa yang harus ia percayai.