Fenomena pernikahan tidak selalu berjalan sesuai harapan. Pengkhianatan pasangan menjadi salah satu penyebab utama keretakan rumah tangga. Dalam banyak kasus, perempuan sering menjadi pihak yang dirugikan. Namun, di tengah luka dan kekecewaan, tak sedikit perempuan yang mampu bangkit dan membuka hati terhadap masa depan, termasuk menerima pinangan dari seorang pria.
Pertemuan yang tak terduga namun justru membawa kebahagiaan dan penyembuhan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 34 OLEH-OLEH DARI AMMAR.
Setelah dua hari berada di desa, Ammar mulai terbiasa dengan ritme kehidupan yang tenang namun hangat. Setiap pagi, ia membantu bang Dafi menyiapkan berbagai keperluan pernikahan. Siang hari ia menemani abi ke rumah-rumah tetangga untuk menyebar undangan. Namun sore ini, Ammar punya rencana kecil rencana yang hanya melibatkan satu orang: Sofia.
Sore itu, setelah selesai salat asar, Sofia sedang duduk di teras rumah sambil membaca buku. dengan kepala menggunakan jilbab wajahnya tampak tenang walau matanya sesekali menatap ke kejauhan. Langit mulai menguning keemasan, angin semilir membawa aroma dedaunan basah.
Ammar muncul dengan langkah ringan. Di tangannya ada sebuah kantong kertas kecil berwarna coklat tua.
“Hei, Sofia,” sapa Ammar sambil berdiri di samping bangku kayu.
Sofia menoleh cepat, sedikit terkejut. “Eh, abang ngagetin aja.”
Ammar tertawa kecil. “Maaf, nggak niat nakutin. Aku cuma mau ngasih ini.” Ia menyodorkan kantong kertas itu.
Sofia memandang bingung. “Apa ini?”
“Buka aja.”
Dengan rasa penasaran, Sofia membuka kantong itu dan mendapati sebuah kotak kecil berisi dark chocolate dari toko langganan Ammar di kota. Di dalamnya ada kartu kecil bertuliskan.
> “Aku ingat kamu suka yang nggak terlalu manis. Tapi semoga ini cukup manis buat nambahin harimu yang kadang terlalu serius.”
Sofia terdiam beberapa saat, membaca tulisan itu dengan alis mengernyit pelan.
“Ini... Abang bawain dari kota?”
Ammar mengangguk. “Iya. Aku memang udah niat bawain ini. kemarin kan kamu bilang suka coklat, aku tapi aku bingung harus memilih rasa apa jadi aku beli semuanya " Jawab ammar menggaruk kepala yang tidak gatal.
Sofia tersenyum, samar. “Di sela-sela kesibukan abang ternyata Abang masih ingat ya?”
“Tentu. Ada beberapa hal yang nggak bisa dilupain begitu aja.”
Hening sejenak. Angin sore meniup pelan ujung jilbab Sofia. Mata mereka bertemu dalam diam, seolah ada banyak kata yang tak perlu diucap.
“Terima kasih, Bang ammar,” ucap Sofia pelan. “Aku suka.”
Ammar tersenyum lega. “Syukurlah. Aku takut kamu malah bilang kebanyakan gaya.”
Sofia menahan tawa. “Ya, sedikit sih. Tapi manisnya pas.”
Mereka tertawa bersama. Tak ada pengakuan cinta sore itu. Tak ada gombalan atau janji. Hanya sebatang coklat, sepotong senyuman, dan dua hati yang mulai kembali akrab… seperti cerita lama yang perlahan ingin ditulis ulang.
" Terimakasih ya bang.. aku memang suka coklat terutama yang rasa coklat dan strawberry, ada asem-asemnya gimana gitu "
Ammar tersenyum " Syukur lah jika kamu suka. ayok di coba "
Sofia mengangguk, ia langsung memakan coklat pemberian ammar. dan benar saja, rasanya sangat enak.
KEESOKAN HARINYA.
Siang itu, matahari bersinar malu-malu dari balik awan. Angin semilir meniup lembut dedaunan di halaman rumah keluarga Sofia. Dari arah jalan, suara langkah kaki Sofia terdengar pelan. Ia baru saja pulang dari sekolah, masih mengenakan seragam guru dengan kerudung yang terlihat masih rapih. Tas jinjing berwarna cokelat menggantung di lengannya.
Begitu membuka pagar, aroma harum dari dapur langsung menyambutnya.
" Assalamu'alaikum... " Ucap Sofia masuk kedalam ruma “Hm... wangi banget,” gumam Sofia sambil menaruh tas di ruang tamu dan berjalan menuju dapur.
Di sana, Umi sedang sibuk membentuk adonan kue nastar. Di meja, sudah berjejer loyang berisi kue kacang, kue semprit, dan bolu marmer yang baru saja keluar dari oven.
" Waalaikumsalam.. "
“Umi, Sofia bantuin, ya?” katanya sambil menggulung lengan baju.
Umi menoleh dan tersenyum. “Alhamdulillah, pas banget kamu pulang. Nih, bantuin Umi isi selai nanasnya. Jangan terlalu penuh ya, nanti meleber.”
Sofia langsung mengambil posisi duduk di samping Umi, dan dengan cekatan mulai membantu. Sambil bekerja, mereka mengobrol ringan tentang suasana di sekolah, murid-murid nakal yang mulai dekat dengan ujian, hingga soal pesta pernikahan Bang Dafi yang tinggal beberapa hari lagi.
Beberapa saat kemudian, suara motor terdengar berhenti di depan rumah.
“Itu pasti Bang Dafi dan Nak Ammar,” kata Umi sambil melirik ke arah jendela.
Benar saja. Tak lama kemudian, dua laki-laki itu masuk sambil membawa dua kantong plastik berisi minuman dingin.
“Assalamu’alaikum, tukang kue cantik!” sapa Ammar sambil tersenyum lebar.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Sofia, tersipu malu meski berusaha tetap fokus pada nastar yang sedang dibentuknya.
“Wah, harum banget!” kata Dafi sambil membuka tutup kotak kue yang sudah jadi. “Boleh nyicip, Umi?”
Umi pura-pura menatap tajam. “Kalau nyicip satu boleh. Tapi jangan sampai tiga puluh satu, ya.”
Ammar tertawa, “Tiga puluh satu? Itu mah bukan nyicip, Mi, itu namanya ngerampok kue!”
Akhirnya, mereka duduk di ruang makan kecil dekat dapur. Ammar mengambil satu kue semprit lalu menggigitnya perlahan.
“Masya Allah... Ini tangan siapa yang bikin?” tanyanya sambil melirik Sofia.
Sofia menjawab cepat, “Tangan Umi lah.”
“Tapi tangan Sofia yang nambahin cinta, kan?” goda Ammar dengan senyum nakal.
Sofia langsung tersedak kecil dan memalingkan wajahnya ke arah loyang, wajahnya memerah.
Bang Dafi tertawa sambil menepuk bahu Ammar. “Udah, Mar. Jangan bikin adek gue malu. Nanti malah adonannya jadi asin, bukan manis.”
Suasana siang itu benar-benar hangat. Tawa dan aroma kue memenuhi ruang dapur sederhana mereka. Bagi Sofia, momen seperti ini terasa sangat berharga. Dia bisa melihat keluarganya tersenyum, sahabat kakaknya yang perlahan menjadi akrab dengannya, dan kue-kue buatan tangan mereka yang menjadi bagian dari perayaan cinta yang sebentar lagi akan dilangsungkan.
Dan tanpa disadari, mungkin di antara remah-remah kue dan tawa kecil itu, benih rasa sedang tumbuh perlahan, manis, dan penuh kejutan.
Malam itu, meja makan keluarga Sofia dipenuhi dengan hidangan sederhana namun menggugah selera. Umi memasak sayur asem kesukaan Abi, ayam goreng lengkuas yang renyah, sambal terasi yang pedas menggoda, dan tak ketinggalan tahu tempe goreng hangat. Ammar, yang duduk di sebelah Bang Dafi, tampak sangat menikmati makanan buatan Umi.
Sofia duduk di seberang Ammar, dengan kerudung yang sederhana dan mengenakan baju rumahan berwarna biru langit. Ia tampak sibuk menyendok nasi ke piring Umi, sambil sesekali tertawa kecil mendengar lelucon dari Bang Dafi.
Namun, entah kenapa, Ammar malam itu tidak bisa menahan dirinya untuk sesekali mencuri pandang ke arah Sofia. Matanya mengikuti gerak-gerik gadis itu—mulai dari cara ia tertawa pelan, membetulkan kerudungnya yang agak miring, hingga saat Sofia diam-diam meniup sendok panas sebelum menyuap.
Satu… dua kali… tiga kali…
Ammar bahkan sempat tidak sadar kalau sendoknya sudah kosong, padahal dia belum menyuap apapun.
“Mar, kamu nunggu nasi terbang ke mulut?” goda Bang Dafi sambil menyikut pelan lengan sahabatnya.
Ammar terkesiap. “Hah? Nggak, nggak. Ini enak banget makanannya, sampe lupa diri.”
Sofia pura-pura tidak mendengar dan memilih sibuk memindahkan sayur ke piringnya. Namun pipinya sudah memerah, dan Umi sempat melirik geli.
lanjutkan Thor 🙏🙏🙏