Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Nama , Dua Luka
Pagi itu terasa berbeda. Udara terasa lebih tenang, seolah ingin memperlambat waktu yang sebentar lagi akan kembali berlari. Hari ini adalah hari terakhir dari libur panjang keluarga kecil itu. Besok, segalanya kembali seperti semula—Rasya kembali ke sekolah, dan Rendi kembali bekerja sebagai Direktur Perencanaan Konstruksi. Jabatan yang baru ia emban selama empat bulan terakhir, namun entah mengapa, semuanya terasa tidak sama lagi.
Di halaman belakang, Rasya tertawa riang, memutar-mutar mobil remot barunya di antara rerumputan yang basah oleh embun. Rendi duduk di kursi rotan, matanya mengikuti setiap gerak lincah putranya. Di sampingnya, Alisya menyandarkan kepala pelan ke bahu suaminya.
“Sayang, Ayah bilang mau kasih ruko ya?” lirih Alisya, membuka percakapan dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
“Iya, Sayang. Itu terserah kamu, mau kamu pakai atau enggak. Jangan terlalu mikirin ucapan Ayah,” jawab Rendi, sambil mengelus lembut tangan istrinya. Ucapannya tulus, seperti ingin menenangkan hati perempuan yang selalu ia jaga dengan cinta.
Alisya mengangguk-angguk pelan. Pikirannya mulai melayang, memikirkan apa yang bisa ia lakukan dengan sebuah ruko yang tiba-tiba diberikan itu.
“Sebenarnya…” ucapnya lirih, senyumnya mengembang manja saat menatap wajah Rendi.
“Ihh kamu… kalau wajah kamu udah kayak gitu, aku jadi gemes,” goda Rendi sembari mencubit pipi Alisya. Ia tertawa kecil, lalu melanjutkan, “Kamu mau apa, Sayang? Biar aku wujudin semua keinginan kamu.”
Ia mengecup tangan Alisya perlahan. Gerakan kecil, tapi bermakna besar. Alisya hanya menatapnya, masih ragu, masih belum tahu harus berbuat apa.
“Disewakan saja, ya?” ucap Rendi akhirnya sambil tertawa kecil. Alisya ikut tertawa, ringan dan tulus.
“Kamu ini… nanti Ayah marah ke aku,” ujar Alisya menggoda, senyumnya kembali muncul.
“Siapa Ayah? Aku yang maju ke depan buat lindungin istri tersayangku,” sahut Rendi cepat, lalu menarik tubuh Alisya ke dalam pelukannya. Pelukan hangat, pelukan penuh cinta.
Pagi itu seperti janji diam-diam antara dua hati yang saling percaya. Tidak ada yang tahu bagaimana hari esok akan berjalan, tapi hari ini… hari ini mereka memeluknya erat.
...****************...
Tak lama setelah kehangatan pagi itu, rumah yang semula dipenuhi tawa dan cinta perlahan terasa hening. Alisya, yang tengah menyelesaikan masakan untuk makan siang, dikejutkan oleh suara bel rumah.
Ting... ting... ting...
Tiga kali berbunyi. Untungnya, ia baru saja mematikan kompor. Segera, ia melepas apron, menyambar kerudung, dan mengenakan blus simpel yang justru membuatnya tampak makin anggun.
Dengan langkah ringan, ia membuka pintu.
“Eh, Ayah...? Buu... ngaaa...?” lirih Alisya, bingung sekaligus terkejut melihat siapa yang berdiri di depan pintu: Ayah mertuanya, Pak Wiratma, datang bersama Bunga—sekretaris pribadi Rendi.
Tanpa banyak tanya, Alisya mempersilakan keduanya masuk. Namun hatinya mulai dipenuhi tanda tanya. Ada apa hingga mereka datang bersama?
Ia pun memanggil Rendi dan buru-buru berganti pakaian ke yang lebih sopan. Dalam hati, ia mencoba menenangkan diri.
Rendi muncul beberapa menit kemudian, masih mengenakan kaus rumahan. Dahinya berkerut begitu melihat kehadiran ayahnya yang duduk bersisian dengan Bunga.
“Ada apa, Yah?” tanyanya, bingung.
Pak Wiratma tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sambil melirik ke arah Bunga.
Tak lama, Alisya datang membawa dua cangkir air dingin. Siang itu begitu terik, dan ia hanya ingin menghormati tamu seperti biasa.
Mereka duduk bersama di ruang tamu. Bunga masih tertunduk, rambutnya terurai rapi. Ia mengenakan dress selutut berwarna mahogany yang sederhana namun elegan.
Tiba-tiba terdengar suara dari Bunga.
“Uweeek...” gumamnya lirih, membuat semua orang menoleh.
“Kenapa, Bunga?” tanya Alisya sambil menyodorkan tisu, berusaha menenangkan.
Rendi dan ayahnya saling pandang. Tatapan mereka menyiratkan sesuatu yang belum terucap. Wajah Rendi pucat, jantungnya tak tenang. Ia tahu, sebentar lagi segalanya akan berubah.
Bunga melirik ke arahnya sambil mengambil sepotong melon dari piring. Ia mengunyah pelan, berharap rasa mualnya reda.
“Mas, ingat nggak... waktu aku hamil Rasya dulu, aku juga suka mual kalau minum air dingin,” ucap Alisya pelan, tersenyum samar saat mengingat masa lalu yang indah.
Ruang tamu mendadak hening. Hanya suara napas yang terdengar.
“Bunga juga sedang hamil, Lis...” ucap Pak Wiratma perlahan, tepat saat Alisya baru saja duduk kembali.
Alisya tersentak. Ia menoleh cepat ke arah Bunga, lalu ke mertuanya. Kaget—tentu saja. Karena yang ia tahu, Bunga belum menikah.
“Suaminya...” lirih suara Pak Wiratma, namun Alisya segera memotongnya.
“Sudah, Yah... yang penting Bunga sehat. Dan bayi dalam kandungannya juga sehat,” ujar Alisya tenang, walau jelas suaranya bergetar. Rendi yang duduk di sebelahnya menggenggam erat tangannya.
Tangis Bunga pecah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tak kuasa menahan emosi yang selama ini ditahan. Ingin rasanya Alisya menghampiri, memeluknya, tapi Rendi menahan lengan istrinya, seolah berkata: jangan dulu.
Alisya hanya menatap dari seberang meja, bingung... hancur.
“Kamu harus tahu, Alisya,” suara Pak Wiratma kali ini lebih tegas, sambil menepuk pundak Bunga dengan lembut.
“Tidak, Ayah...” balas Alisya, masih berusaha menjaga harga diri dan kesabaran yang rapuh.
Namun suara itu tetap terdengar.
“Suami Bunga... ayah dari anak yang dikandungnya... adalah Rendi.”
Tangisan Bunga kian pecah. Rendi tertunduk, genggamannya pada tangan Alisya makin erat, tapi tak cukup kuat untuk menahan segalanya.
“Namanya sama... sama-sama Mas Rendi...” suara Bunga nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat dunia Alisya runtuh seketika.
“Rendi Arjuna Langit.”
Satu nama. Satu sosok. Satu luka besar.
Alisya, tanpa sadar, melepaskan genggaman tangan suaminya. Ia bangkit, lalu melangkah cepat ke halaman belakang. Tak memedulikan siapa pun, tak memedulikan aturan atau sopan santun. Semua meledak dalam diam.
Langkahnya berat. Tangisnya tertahan. Napasnya sesak.
Di halaman belakang, Rasya masih bermain. Wajah kecil itu tersenyum tanpa tahu badai apa yang baru saja menghantam rumah ini.
Alisya memanggil pelan.
“Sayang... ayo ke kamar dulu ya,” ucapnya lembut meski suaranya bergetar hebat.
Tanpa banyak tanya, Rasya menggenggam tangan ibunya. Seolah ia tahu, Bunda sedang tidak baik-baik saja.
Sesampainya di kamar, Alisya memeluknya erat lalu membaringkan tubuh kecil itu di ranjang.
“Tidur siang dulu, ya... sendiri. Bunda temani Kakek sebentar.”
“Iya, Bunda...” jawab Rasya singkat. Penuh pengertian yang luar biasa dari seorang anak kecil.
Saat pintu tertutup, tubuh Alisya merosot pelan ke lantai. Di balik pintu kamar Rasya, ia menangis dalam diam. Badannya gemetar. Hatinya patah.
Semua cinta yang ia bangun, kini retak di tangan orang yang paling ia percaya.