NovelToon NovelToon
TANGAN IBLIS HATI MALAIKAT

TANGAN IBLIS HATI MALAIKAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Balas Dendam / Raja Tentara/Dewa Perang / Ahli Bela Diri Kuno
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Dhamar Sewu

Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 34:

Bayangan langit membelah malam. Tanah di sekitar Biara Gelap bergetar seperti denyut jantung yang ketakutan. Lubang hitam yang semula nyaris tertutup kembali membelah, kini lebih lebar dan dalam. Dari dalamnya, muncul sesosok makhluk tinggi, setengah batu setengah daging, dengan mata merah menyala seperti bara neraka yang lama dipendam.

Ying’er menggenggam tangan Jiang Hao yang masih terbaring tak sadarkan diri. Li Fan berdiri goyah, tubuhnya berkeringat dingin, masih bergelut dengan sisa-sisa racun jiwa yang menodai kesadarannya.

Sosok itu—penjaga bayangan kedua—berdiri dengan kekuatan yang menggetarkan dada. Bukan hanya kekuatan fisik, tapi semacam tekanan spiritual yang membuat langit terasa berat.

“Aku ...” suara makhluk itu menggema seperti petir dalam gua. “... adalah Sakra Batu. Penjaga Bayangan Kedua. Dan aku telah menunggu ribuan tahun untuk membunuh hati yang paling bersinar...”

Matanya menatap Jiang Hao.

Ying’er berdiri melindungi tubuh sahabatnya. “Kau tak akan menyentuhnya.”

"Kau tak akan bisa!"

Sakra Batu menyeringai, dan dari tubuhnya muncul simbol-simbol kuno yang menyala. Setiap simbol bukan sekadar ukiran, tapi sisa jiwa para penjaga sebelumnya—jiwa yang diserapnya demi menjaga satu tujuan: menghancurkan keseimbangan.

Li Fan maju, pedang di tangannya gemetar tapi tetap terangkat. “Kau harus melewatiku dulu.”

“Kau... bejana gagal,” geram Sakra Batu. “Kau bukan lagi bagian dari Tangan Iblis. Kau adalah kesalahan.”

Li Fan menghela napas, kemudian tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi kesalahan juga bisa jadi pelajaran.”

Ia menyerang lebih dulu. Pedangnya membelah angin, tapi begitu menghantam kulit Sakra Batu, bilahnya terpental, nyaris patah.

Makhluk itu mengayun tangannya seperti palu, menghantam tanah. Li Fan terlempar, darah menyembur dari mulutnya. Namun ia berusaha bangkit kembali, menahan rasa sakit.

Dari belakang, Jiang Hao mulai bergerak perlahan. Tubuhnya lemah, tapi matanya mulai terbuka. Ia melihat Ying’er berdoa, mulutnya melantunkan mantra pelindung. Aura pelindung memancar dari jimat di lehernya, membentuk lingkaran cahaya yang melindungi mereka dari getaran tanah yang makin kacau.

Sakra Batu melangkah. “Dunia ini punya hutang. Dan aku adalah penagihnya.”

Namun sebelum langkahnya mencapai mereka, dari langit turun cahaya perak—memecah kegelapan dengan nyaring. Sosok berjubah putih muncul dari cahaya itu, membawa tongkat panjang yang berpendar seperti sinar bulan di ujungnya.

Semua terdiam.

“Siapa kau?” tanya Sakra Batu, suaranya tajam.

“Aku bukan siapa-siapa,” jawab pria itu tenang. “Hanya pembawa keseimbangan. Aku datang karena salah satu Hati Malaikat telah bangkit—dan ancaman telah keluar dari bayangannya.”

Ying’er memandang pria itu dengan mata membelalak. “Hati Malaikat... maksudmu Jiang Hao?”

Pria berjubah putih mengangguk. “Dia adalah satu dari tiga. Cahaya yang bisa memurnikan tangan yang telah dikutuk.”

Sakra Batu menggeram. “Aku akan menghancurkannya sebelum cahaya itu tumbuh.”

Pria itu tersenyum samar. “Coba saja.”

Pertempuran pun pecah.

Cahaya dan batu bertabrakan. Langit terbelah, suara retakan tak henti membelah malam. Suaranya menggelegar, Ying’er menyeret Jiang Hao ke tempat yang lebih aman, tapi tubuh Jiang Hao mulai memanas. Tanda-tanda di dadanya menyala—bukan merah, bukan biru, melainkan putih suci seperti cahaya pertama yang lahir dari kegelapan.

Li Fan melihatnya dari jauh, meski tubuhnya remuk. “Jiang Hao... dia... benar-benar terpilih...”

Dalam pertempuran itu, Sakra Batu mulai kewalahan menghadapi kekuatan pria berjubah putih. Tapi ia tersenyum di tengah luka-lukanya.

“Kalian pikir... hanya aku?” bisiknya.

Dan dari lubang kegelapan yang makin melebar, terdengar bisikan—suara perempuan. Pelan, tapi penuh racun manis.

“Sakra hanya batu. Aku... adalah kabut yang menyelimuti. Bayangan ketiga... telah menghirup napas.”

Ying’er menatap lubang itu. Dari dalamnya, muncul kabut berwarna ungu kehijauan, dan perlahan membentuk tubuh wanita tanpa wajah. Suaranya seperti bisikan dalam mimpi buruk masa kecil.

“Dan aku... mengenal kalian semua.”

Li Fan menegang. Matanya membulat.

“Tidak...” bisiknya. “Itu dia. Bayangan Ketiga. Ia yang dulu menyamar sebagai pendeta suci... yang membuat kami bertarung demi kebenaran palsu...”

Jiang Hao yang kini duduk tegak, matanya bersinar terang, berbisik lirih: “Bayangan Ketiga... adalah Ibu dari Tipuan.”

Kabut itu merayap perlahan seperti ular lapar. Aromanya busuk, seperti daging membusuk dicampur darah lama. Sosok wanita tanpa wajah yang lahir dari kabut hanya berdiri diam di atas lubang neraka, seakan dunia ini adalah panggung yang telah lama dinantikan untuk pertunjukannya.

Li Fan jatuh berlutut. Matanya memerah, tapi bukan karena ketakutan—melainkan dendam yang tak sempat dituntaskan.

“Namanya... Yue Lian,” gumamnya pelan, hampir seperti gumaman orang sekarat. “Dia bukan hanya Bayangan Ketiga... dia adalah penyihir yang memutarbalikkan semua ajaran di dalam sekte Tangan Iblis. Dia membuat kami membunuh murid-murid sendiri. Dia membuatku—membunuh adikku.”

Ying’er tertegun. “Apa...?”

Namun belum sempat ia bertanya lebih jauh, kabut menggulung cepat, membentuk tangan-tangan tajam yang mencengkeram bumi. Satu tangan mencuat dari balik tanah, menancap di dada salah satu biksu penjaga biara yang bersembunyi di kejauhan. Darah menyembur seperti hujan merah. Tubuh biksu itu diangkat, lalu dicabik menjadi serpihan daging di udara.

“Aku lapar,” bisik Yue Lian. “Lapar akan kenangan... dan rasa takut.”

Dengan satu lirikan matanya—atau mungkin hanya kehendaknya—kabut mulai menyelimuti tubuh-tubuh yang lemah. Mereka berteriak. Kulit mereka melepuh. Mata mereka meleleh.

Ying’er menjerit melihat seorang penjaga wanita yang dikenal ramah berubah menjadi mayat hidup yang menari-nari sebelum jatuh membusuk.

“Apa ini ilmu... atau kutukan?” bisiknya ketakutan.

Li Fan berdiri dengan susah payah, memuntahkan darah. Ia mencabut belati hitam dari balik jubahnya. Senjata terkutuk. Yang hanya bisa digunakan sekali, lalu menyerap pemiliknya.

Ia menatap Jiang Hao yang masih terdiam dalam meditasinya, matanya tertutup rapat, seakan berperang dalam dunia batin.

“Jika dia tak bangun sekarang... kita semua mati,” bisik Li Fan.

Yue Lian mendekat. Kabut di tubuhnya berubah jadi rambut panjang yang hidup, melilit mayat-mayat yang ada, menyatu dengan daging, lalu membentuk tentakel baru dari kulit manusia.

“Li Fan...” ucap suara yang pelan, namun menghantam telinga seperti pisau. “Masih hidup rupanya. Kau anak kecil yang menangis waktu adikmu berteriak-teriak, ‘Aku tak ingin mati.’ Kau ingat suara itu!?”

"Ingat?! Hahaha!"

Li Fan memejamkan mata. Kenangan itu menamparnya keras.

Adiknya, Lan’er—masih berusia 10 tahun saat Yue Lian menanamkan racun di dalam jiwanya. Dalam keadaan kesurupan, Li Fan menyayat leher adiknya sendiri di depan altar. Air mata itu... jeritan itu... semuanya diputar ulang dalam ingatannya.

“Aku akan mengakhiri ini,” katanya pelan.

Ia melompat, menusuk langsung ke dada kabut Yue Lian dengan belati kutuk.

Namun...

Tubuh Yue Lian tidak berdaging. Belatinya hanya menembus angin pekat.

“Kau tidak bisa membunuh bayangan dengan pisau, bocah,” kata Yue Lian sambil tersenyum lebar. Mulut tanpa bibirnya terbuka, memperlihatkan deretan gigi tak berujung, seperti mulut lubang neraka.

Kabut menggulung balik dan menghantam Li Fan hingga tubuhnya terpental ke tiang batu. Darah menyembur dari punggungnya. Salah satu tulangnya keluar dari kulit.

Ying’er menjerit. Tapi sebelum dia bisa lari, rambut kabut menangkap pergelangan kakinya dan menggantungnya terbalik di udara.

“Aku akan menari dengan tubuhmu... seperti boneka kesayangan,” kata Yue Lian pelan.

Namun di tengah kehancuran itu, terdengar suara...

Denyut.

Detak keras, seperti genderang perang dari dalam tubuh Jiang Hao. Tanda putih di dadanya menyala. Matanya terbuka, tidak lagi biru—melainkan menyala putih terang.

Langit mengguntur.

Aura dari tubuhnya memukul mundur kabut, mendorong bayangan Yue Lian beberapa langkah. Semua orang—bahkan pria berjubah putih—menatap Jiang Hao dengan mata terbelalak.

“Dia... telah terbangun,” bisik pria berjubah itu. “Tapi... kenapa auranya... menyatu dengan kutukan Tangan Iblis?”

Jiang Hao bangkit, berdiri lurus. Suaranya rendah, bergema dari dua arah—seperti dua jiwa berbicara bersamaan.

“Saat kau membunuh orang-orang tak bersalah... kau mengundangku, Yue Lian.”

Yue Lian menatapnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak tersenyum.

“Aku mengenalmu,” bisiknya. “Kau... bukan sepenuhnya manusia... kau... darah itu... dari siapa kau berasal!?”

Jiang Hao menatap lurus padanya, kemudian berkata dengan suara menggelegar:

“Aku... adalah warisan dari Iblis Tertua. Tapi hatiku... masih milik seorang anak manusia.”

Ia melompat.

Dalam satu hentakan, kabut terbelah. Tangan kabut terbakar. Tubuh bayangan Yue Lian mulai retak. Ia menjerit, suara jeritannya menembus langit seperti serigala yang kehilangan bulan.

Jiang Hao menggenggam rambut kabut itu, dan menariknya seperti cambuk. Dalam satu putaran, ia menghantam Yue Lian ke tanah, menciptakan kawah gelap berdiameter sepuluh langkah.

Li Fan menatap pemandangan itu, darah mengalir dari pelipisnya.

“Dia... bukan hanya Hati Malaikat... dia juga Pewaris Tangan Iblis sejati.”

Tiba-tiba, tanah kembali bergetar.

Dari dalam lubang yang ditinggalkan Yue Lian, terdengar tawa. Tapi bukan miliknya.

Melainkan suara yang lebih tua. Lebih dalam. Seperti... akar dari semua kutukan.

Pria berjubah putih menegang. “Tidak... bukan sekarang...”

Ying’er yang masih gemetar, berbisik:

“Itu... bukan Yue Lian... itu... suara ayahnya.”

Sepersekian detik kemudian.

Tanah terbuka, menganga seperti luka purba yang belum sembuh. Dari kedalamannya, suara tawa itu terus menggaung, seperti seruling rusak yang dimainkan dalam mimpi buruk.

Li Fan terhuyung, mendekati Jiang Hao. “Kau harus mundur. Jika itu benar suara yang aku kira... dia bukan sesuatu yang bisa kau lawan sendiri.”

Jiang Hao tak menjawab. Matanya masih menyala, tapi tubuhnya mulai bergetar. Retakan-retakan kecil muncul di lengannya—bukan luka biasa, melainkan bekas tekanan kekuatan yang terlalu besar untuk tubuh manusia biasa.

Kabut kembali menggumpal. Tapi kini warnanya bukan abu-abu, melainkan hitam seperti malam yang dimakan bara api. Lalu… sosok itu muncul.

Tinggi. Kurus. Mengenakan jubah usang dari kulit manusia. Wajahnya dililit oleh benang-benang darah yang menjulur dari rongganya sendiri. Mata kosongnya menatap Jiang Hao, dan dalam sorot itu ada satu hal yang jelas: rasa muak terhadap semua makhluk hidup.

“Namaku... Gu Tien,” ujarnya, memperkenalkan. Suaranya pelan, tapi setiap katanya menggema seperti doa kematian. “Aku yang mengajari Yue Lian bagaimana membuat kabut bernyawa. Aku yang menulis mantra di tulang manusia. Aku... ayah dari semua kutukan di negeri ini.”

"Hahaha!"

Yue Lian, yang tubuh kabutnya sudah remuk, berlutut di samping Gu Tien seperti anak kecil minta maaf. “Ayah... aku belum berhasil membunuh mereka...”

Gu Tien menoleh pelan. Satu jari panjangnya menusuk tengkorak Yue Lian. Retakan keras terdengar. Wanita itu tak sempat menjerit—tubuhnya menguap menjadi abu dan menyatu kembali dalam tubuh ayahnya.

“Gagal... tak layak disebut anak,” desisnya tak berperikemanusiaan.

Jiang Hao melangkah ke depan, meski darah mulai menetes dari hidung dan telinganya. Aura Gu Tien menekan udara seperti batu menghimpit paru-paru. Sangat menyiksa.

“Jangan dekat-dekat, Hao!” teriak Ying’er, tapi suaranya tertelan oleh badai sihir hitam yang mulai terbentuk.

Jiang Hao bersiap. Ia mengepalkan tangan dan menyerang lebih dulu, melepaskan jurus “Tangan Malaikat Pembelah Bayangan.” Cahaya dari tinjunya menyambar seperti kilat putih.

Namun...

Gu Tien hanya mengangkat satu telapak tangan. Serangan itu berhenti di udara—lalu berbalik arah. Jiang Hao terpental. Tubuhnya membentur lima pohon dan jatuh telungkup, tulangnya terdengar patah.

Li Fan melangkah cepat. “Kita harus bantu dia!”

Namun Gu Tien hanya mengangkat jarinya, dan dari tanah muncul duri-duri hitam yang menyembur seperti jebakan binatang buas. Salah satunya menancap di bahu Li Fan. Ia menjerit, darah menyembur, lalu jatuh tak sadarkan diri.

Gu Tien berjalan mendekati Jiang Hao yang belum bangun.

“Kau kuat... tapi kau tak seharusnya ada,” ucapnya dingin. “Darahmu adalah pengkhianatan. Malaikat dan Iblis seharusnya tidak bercampur. Kau... adalah kutukan baru yang harus kuhapus.”

"Harus lenyap!!"Ia mengangkat tangannya tinggi. Dari langit muncul lingkaran simbol, mengerikan, dan berkedip seperti mata iblis.

Ying’er ingin berteriak, ingin berlari—tapi tubuhnya seakan tertahan oleh kekuatan tak terlihat. Mulutnya terkunci.

Jiang Hao masih belum bergerak.

Saat Gu Tien hendak menghantamkan kutukan itu, tiba-tiba sebuah suara kecil berbisik di kepala Jiang Hao.

“Jangan menyerah... hatimu masih punya suara.”

Matanya terbuka.

Tapi kini menyala merah—bukan sebagai tanda kehilangan akal, melainkan bangkitnya sisi iblis dalam dirinya... namun tetap dikendalikan oleh hati manusianya.

Ia bangkit perlahan.

Tangannya berdarah. Tubuhnya gemetar. Tapi wajahnya tak lagi ragu.

Gu Tien menghantamkan kutukan itu padanya.

Jiang Hao tak menghindar. Ia menerima kutukan itu dengan kedua tangannya—dan menahannya. Darah menyembur dari matanya. Urat-uratnya menyembul. Tapi ia bertahan.

“Aku bukan anak dari kegelapanmu... aku adalah luka dari masa lalu yang menolak sembuh... dan aku akan menjadi pedang balas dendam untuk semua yang kau hancurkan.”

Dengan raungan terakhir, ia membelokkan kutukan itu—dan meledakkannya ke tanah di samping Gu Tien. Ledakan itu menelan separuh altar.

Saat debu mengendap, Gu Tien terdorong beberapa langkah. Wajahnya tergores—untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun. "Sial!"

Ia tersenyum dingin. “Menarik... kau menyakiti tubuhku. Jarang terjadi.”

Namun Jiang Hao kini berlutut. Napasnya berat. Tubuhnya tak bisa bergerak lagi.

Gu Tien menatapnya. Mengejek.“Sayang sekali. Kau hampir berhasil.”

Ia mengangkat tangan untuk serangan terakhir... membinasakan Jiang Hao dari muka bumi, menghapus keberadaanya.

"Hiaaaaa ...."

Tiba-tiba dari balik reruntuhan, sebuah suara menggema: “Tahan tanganmu, Gu Tien! Tahan ! Masih ada aku yang belum kau kalahkan!”

Gu Tien urung, matanya memicing. Berusaha mengenali.

Sosok misterius muncul. Jubahnya putih. Rambutnya panjang. Tongkatnya bermata dua.

'Li Cheng??'

1
Daryus Effendi
pegunungan menjulang tinggi dan di tutupi kabut yg tebal
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh
Dhamar Sewu: wkwk, 🙈. Maaf, bos. Untuk tambahan jumlah kata, masukan diterima 😁
total 1 replies
spooky836
sampai bila2 pun penulis dari cerita plagiat ni,tak mampu nak teruskan. cerita ini tamat di sini. kerana mc otak kosong. cerita hasil plagiat. benar2 bodoh dn sampah.
spooky836: baguslah. jangan sampai mampus di bab 26 tu. banyak dh karya lain terbengkalai macam tu je.
Dhamar Sewu: Plagiat di mana, kak? Karya siapa?
Cerita ini masih bersambung 😁oke.
total 2 replies
Abah'e Rama
lanjut 💪💪
Dhamar Sewu: Semoga suka, kak. Siap 💪🔥
total 1 replies
Zainal Tyre
coba simak dulu ya
Dhamar Sewu: Semoga suka, bos!
total 1 replies
Suki
Terinspirasi
Dhamar Sewu: Semangat, Kak 💪 hehe 😊
total 1 replies
PanGod
mantap bang. jangan lupa mampir juga ya bang🙏🏻
Dhamar Sewu: Siap, Kak. Terimakasih sudah berkunjung. Nanti setelah download aplikasinya, masih bingung ini 😁.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!