Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
...****************...
Sesampainya di ruangan Arion yang kosong, Aresya membuka pintu dengan pelan, seolah tak ingin membangunkan keheningan yang baru saja ia ciptakan.
Ruangan itu masih dingin dan rapi, aroma maskulin yang familiar langsung menyergap hidungnya. Ia menutup pintu perlahan, lalu berjalan tenang menuju meja kerja Arion yang megah dengan jendela besar yang menghadap lanskap kota.
Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah alat mungil seukuran jari kelingking—berbentuk seperti gantungan kunci biasa. Hitam, mengilap, dan nyaris tak mencolok. Tapi di dalamnya, alat itu bisa merekam suara dan gambar dengan kualitas tinggi.
Aresya melirik sekeliling. Langkahnya ringan, senyap, seolah telah terbiasa menari di antara batas kepercayaan dan rahasia.
Tangannya bergerak mantap menyingkap sedikit dedaunan dari vas bunga besar di pojok ruangan, lalu menempelkan alat itu di bagian dalam pot—posisi yang cukup tersembunyi tapi memiliki sudut pandang sempurna ke seluruh ruangan, terutama ke kursi tamu yang sering ditempati banyak orang penting.
Ia mundur perlahan, memastikan posisinya tak mencolok. Tak ada getaran dalam dirinya. Seolah tindakan ini bukan hal baru. Seolah dia memang punya alasan yang tak semudah dijelaskan.
“Aku hanya... butuh tahu,” gumamnya lirih, meski tidak ada siapa pun yang mendengar.
Suara langkah kaki di luar pintu membuatnya buru-buru kembali ke tempat duduk. Ia membuka laptopnya dan memasang ekspresi serius, seolah sibuk mengetik naskah. Tak lama, pintu kembali terbuka.
Arion masuk, tanpa banyak suara. Ia melepaskan jam tangannya dan melempar jas ke sofa tanpa menoleh sedikit pun ke arah Aresya.
“Kamu masih di sini,” ucapnya pelan.
Aresya hanya mengangguk kecil tanpa menatapnya.
“Aku belum selesai riset. Banyak yang perlu kutulis.”
Arion tak menjawab. Ia duduk di balik mejanya, membuka map dokumen dan mulai membaca. Tak ada kecurigaan dalam matanya. Tak ada tanda-tanda bahwa ia menyadari apa yang baru saja dilakukan Aresya. Tapi matanya...
...terus mencuri pandang ke arah wanita itu.
Diam-diam, Arion memperhatikan setiap gerakan Aresya. Cara dia mengetik. Cara rambutnya tergerai dan jatuh menutupi sebagian wajah. Cara dia tampak begitu tenang, tapi entah kenapa... Arion tahu hatinya tak benar-benar diam.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya suara Arion memecahnya.
“Kalau kamu mau pulang, bilang. Nanti aku yang antar.”
Aresya menoleh pelan, menatapnya beberapa detik. Ada sedikit keraguan, lalu ia tersenyum kecil.
“Baik,” jawabnya singkat.
Ruangan kembali tenggelam dalam keheningan. Hanya terdengar denting lembut dari keyboard laptop Aresya yang ditekan satu demi satu, berpadu dengan hembusan halus dari pendingin ruangan. Arion sesekali melirik dari balik mapnya, tapi tak mengatakan apa-apa.
Beberapa menit berlalu dalam diam.
Hingga suara keyboard itu berhenti.
“Aku ingin pulang,” ucap Aresya pelan, namun cukup jelas untuk terdengar oleh Arion.
Tanpa banyak tanya, Arion mengangguk dan langsung berdiri. Gerakannya tenang, bahkan terlalu cepat, seolah memang menunggu kalimat itu keluar dari mulut Aresya sejak tadi.
Tapi langkah Arion baru saja akan mengambil jasnya ketika suara Aresya kembali terdengar, kali ini lebih lembut, tapi mengandung nada tanya yang samar menyentuh sesuatu di antara mereka.
“Kamu belakangan ini… mengikuti apa yang aku katakan. Kenapa?”
Langkah Arion terhenti. Tubuhnya menegang sejenak, tangannya yang menggenggam jas tak jadi mengangkatnya. Bahunya naik turun pelan, seperti sedang menahan sesuatu yang ingin ia katakan… tapi tak sanggup.
Diam.
Tak ada jawaban.
Mata Arion tetap menatap lurus ke arah jendela, seolah menjauh dari tatapan Aresya yang menunggunya.
Jelas sekali, dia membeku. Bibirnya seperti ingin terbuka, tapi tak ada satu kata pun yang lolos dari sana.
Karena dia tahu... apapun jawabannya, itu bisa membuatnya kehilangan kendali lagi.
Dan untuk seseorang seperti Arion, kehilangan kendali adalah hal yang paling ia benci. Tapi... kenapa saat bersama Aresya, ia justru sering kehilangan itu?
Arion tak membalas pertanyaan Aresya. Hanya diam sejenak, lalu akhirnya membuka suara dengan datar, mencoba kembali mengendalikan situasi atau setidaknya dirinya sendiri.
“Kamu jadi pulang, enggak?” tanyanya sambil meraih kunci mobil di meja.
Suara itu terdengar tenang, tapi ada ketegangan samar yang tak bisa disembunyikan. Seolah ia sedang membangun kembali tembok yang tadi sempat retak hanya karena satu pertanyaan sederhana dari wanita itu.
Aresya memiringkan kepala, menatap punggung Arion yang tetap tak menoleh padanya. Senyumnya perlahan muncul. Bukan sekadar senyum manis biasa—tapi senyum yang licik, penuh kemenangan.
Ia tahu, Arion tak bisa menjawab pertanyaannya tadi karena memang ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan... atau pertahankan.
“Iya, aku mau pulang,” jawabnya ringan, dengan nada seolah tak terjadi apa-apa, padahal dalam hati ia tahu... dia baru saja menang dalam satu permainan kecil lagi.
...****************...
Setibanya di penthouse, suasana senyap menyambut mereka. Langit mulai menggelap, bias oranye matahari sore menyelinap melalui jendela kaca besar, membingkai ruangan dalam cahaya hangat. Arion membuka pintu lebih dulu, membiarkannya terbuka untuk Aresya yang berjalan santai di belakang.
Yang tak ia duga, Arion ikut masuk.
Aresya mengerutkan alis, agak bingung. Ia pikir pria itu akan langsung kembali ke kantor seperti biasanya. Ia melepas sepatunya pelan, lalu menoleh pada Arion yang sudah menggantung jasnya di dekat gantungan pintu.
“Aku pikir kamu bakal langsung balik ke kantor,” ucap Aresya datar, walau ada nada ingin tahu di baliknya.
Arion tak langsung menoleh. Ia melangkah santai ke dapur, membuka kulkas dan mengambil air mineral dingin sebelum menjawab dengan nada khasnya—dingin, tegas, penuh jarak yang disengaja.
“Sudah kubilang, jangan urusi urusanku. Terserah aku mau balik atau tidak.”
Jawaban itu seharusnya menutup percakapan.
Tapi tidak untuk Aresya.
Senyumnya perlahan muncul. Lebar. Nakal. Penuh fantasi licik yang sejak tadi berputar-putar di kepalanya. Ia menatap punggung Arion yang berjalan menuju sofa, tegap dan angkuh seperti biasa, lalu mengikuti pelan dari belakang.
Langkahnya tenang. Tapi matanya menyala. Dan begitu Arion melewati sisi sofa, Aresya menarik tangan pria itu dengan seluruh tenaganya.
“Apa—”
Tubuh Arion terhempas ringan ke sofa.
Belum sempat protes, Aresya sudah dengan cepat naik ke pangkuannya, duduk dengan percaya diri sambil menatap mata Arion yang membelalak karena tak menyangka.
Jarak di antara mereka menguap. Wajah Aresya hanya sejengkal darinya. Napas mereka nyaris saling berburu.
Mata Aresya bersinar, seperti predator yang berhasil memerangkap mangsanya.
“Kalau kamu bebas ngelakuin apa yang kamu mau...” bisiknya pelan, “berarti aku juga boleh, kan?”
.
.
Next 👉🏻
gitu gak sih thor? salah satu tujuannya? 🤔