Love With Ketos

Angkara yang baru saja membaringkan tubuhnya di tempat tidur setelah mengerjakan tugas, harus mengurungkan niatnya memejamkan mata kala mendengar ponselnya bergetar. Melihat siapa pengirim tersebut, lagi-lagi jantungnya berdebar tidak normal.

📩Lana: Halo calon suami. Pasti sekarang habis belajar untuk jadi suami yang sukses dan bertanggung jawab kan?

📩Kara: Hm

📩Gue cuma mau bilang besok jadwalnya membeli cincin pernikahan kita.

📩Kara: Aku tahu

📩Lana: Gue hanya mengingatkan takut lo lupa.

📩Kara: Panggilannya nggak bisa diganti seperti dulu? Aneh pakai gue-lo

📩Lana: Boleh Sayang

....

Tatapan para inti Avegas terus tertuju pada ketuanya yang sejak tadi cekikikan sendiri sambil memandangi ponselnya. Ke empat lelaki tampan itu merasa horor mendapati Alana seolah kerasukan jin di tengah malam seperti ini.

"Al, lo ngapain senyum-senyum mulu?" tegur Jayden.

"Nggak ada." Alana segera memasukkan ponselnya ke saku celana dan menghampiri sahabatnya di bawah pohon mangga. Duduk di samping Gio yang sedang menikmati kopi buatan Jevian. "Btw ada pertandingan ya besok? Kita lawan siapa?"

"Lawan Atlas."

"Ini mah gampang."

"Iya, kalah menang pun nggak akan ada keributan," celetuk Roy yang sibuk bermain game di ponselnya melawan Jevian.

"Yo, besok lo nggak usah masuk sekolah ya!" Alana melirik wakilnya yang tampak serius menunduk.

Lelaki itu mendongak dan menatap Alana. "Kenapa memangnya?" Kening Gio mengerut.

"Pokoknya lo nggak boleh datang."

"Jawab dulu!" Desak Gio tetapi Alana malah beranjak dari duduknya.

"Kabari anak-anak, gue mau mengumumkan sesuatu!"

"Siap!" Jayden langsung mengirim pesan di grup chat yang dihuni oleh seluruh anggota Avegas.

Tak sampai setengah jam, beberapa anggota Avegas pun berkumpul di aula. Adapun yang izin karena rumahnya jauh dari markas. Namun, itu tak mampu mengagalkan tekad Alana untuk mengumumkan keputusannya setelah memikirkannya dengan matang dan berdiskusi bersama teman-temannya. Toh Alana yakin inti Avegas tidak akan ada yang setuju dengan alasan keselamatannya.

"Gue nggak mau basa-basi keburu tengah malam. All Star sudah membuat dua masalah untuk kita dan gue pribadi. Mereka membuat kita kalah dengan merencanakan kecelakaan gue dan memfitnah gue hingga keluar dari sekolah SMA Angkasa." Alana menjeda kalimatnya, menatap para sahabatnya yang berada di barisan paling depan.

"Apa hanya karena gue sekolah di kandang All Star kalian jadi lemah seperti ini? Kalian nggak akan bergerak untuk membantai mereka satu persatu? All Star semakin meresahkan masyarakat. Mereka kembali mengklaim tempat pedagang miliknya padahal itu milik pemerintah! Malam ini, gue ketua Avegas memberikan wewenang untuk menyerang All Star!"

"Gue nggak setuju!" ujar Gio cepat.

"Gue juga!" Jayden pun ikut angkat bicara.

"Keputusan gue bersikap mutlak! Laksanakan perintah gue!" Perintah Alana pada anggota Avegas.

Para anggota Avegas pun membubarkan barisan dan mengambil motor masing-masing. Mendengar ucapan Alana tadi, mereka sudah mengerti akan ke mana malam ini.

Melihat itu pun Alana menyusul anggotanya yang telah pergi dengan suara deruman cukup memekakkan telinga.

"Lo gila hah? Devano bisa membunuh lo di sekolah!" peringatan Gio. "Gue tahu lo bisa bela diri, tapi menghadapi banyak orang lo nggak akan mampu, Al!"

"Gue punya rencana jadi lo nggak perlu khawatir!"

"Apapun rencana lo gue nggak akan setuju. Ini tentang keselamatan lo!" Jayden pun ikut mencegah Alana pergi.

Namun, siapa yang bisa mengubah keputusan Alana jika sudah bertindak? Gadis itu menepis tangan Gio dan Jayden kemudian melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Menyusul para anggota yang belum jauh dari jalan raya.

Ke empat inti Avegas pun terpaksa ikut dan mengikuti segala rencana ketuanya yang tidak tahu akan ke arah mana. Sesampainya di tempat tanah pemerintah untuk para pedagang. Mereka menemukan sejumlah motor yang sedang melakukan atraksi. Di depan mereka juga ada Devano duduk bersedekap dada di atas motornya.

"Kita kedatangan tamu ternyata." Devano tersenyum. Mendekati Alana yang juga turun dari motornya.

"Ini bukan tempat lo!" ucap Alana.

"Lalu?"

"Pergi dari sini dan biarkan para pedagang hidup tenang Vano!"

"Lo nantangin gue hm?" Devano menyentuh pipi Alana tetapi hanya sesaat karena ditepis dengan kasar oleh pemiliknya.

"Kalau iya kenapa? Jangan mengira gue takut berurusan sama pengecut kayak lo! Lo tuh banci yang hanya mampu bermain belakang alih-alih bermain fisik!" Alana menyeringai. Menunjuk dada bidang Devano dan sengaja mempermalukannya.

Detik itu juga, ia mendapatkan sebuah tamparan. Tamparan pemancing amarah dari semua anggota yang langsung maju dan menyerang Devano. Perkelahian pun terjadi di lapangan tersebut. Malam yang mulai larut dan sepinya kendaraan membuat mereka dengan leluasa saling melukai tanpa bisa dicegah.