Jangan Rubah Takdirku !

"Nyonya, Anda sudah ditunggu Tuan di ruangan. Mari saya antar."

Diana hanya mengangguk dan mensejajarkan langkah laki-laki itu.

Tak membutuhkan waktu lama, dua orang itu sudah sampai di depan ruangan CEO. "Silahkan masuk, Nyonya." Asisten pribadi Ansel membukakan pintu mempersilahkan Diana masuk.

"Terimakasih," Sahut Diana seraya memberikan senyum yang di jawab dengan sebuah anggukan oleh pria itu.

Diana pun masuk ke sana menampilkan Ansel yang sedang fokus menatap dokumen di meja kebesarannya, tak lupa kaca mata lensa yang bertengger di hidung mancung pria itu.

"Hei, kau sudah datang rupanya. Aku memang sedang menunggu mu sejak tadi." Ansel begitu ramah menyambut istri nya datang, bahkan dia rela meninggalkan kursi kebesaran nya itu demi menjemput istrinya.

"Duduk sini," Ansel memposisikan Diana agar duduk ke sofa. Mendapatkan perlakuan ramah suaminya membuat Diana canggung, terlebih mengingat surat yang ditulis di sarapannya tadi membuat wajah Diana memanas. Jika yang diungkapkan laki-laki itu benar, Diana tak tahu harus menjawab apa. Hatinya masih terlalu ragu untuk membalas pernyataan cinta Ansel. Dan Diana berharap Ansel tidak membahas hal itu lagi, karena jika Ansel membahas nya maka dipastikan Ansel tak akan mendapat jawaban sesuai keinginan nya.

Di satu sisi masih ragu dengan hatinya namun disisi lain Diana tak ingin mengecewakan Ansel karena belum bisa membalas cinta nya. Tapi sebenernya Diana juga tak yakin kalau apa yang ditulis laki-laki itu memang benar dari lubuk hati nya.

"Apa kau sudah memakan sarapan yang ku buat?"

Deg.

Baru saja Diana berharap Ansel tak membahas hal itu, nyatanya laki-laki sangat bersemangat saat mengatakan nya.

"Y-ya, aku sudah memakan nya. Terimakasih." Sahut Diana seraya menautkan kedua tangan nya.

"Em, apa kau sudah membaca surat nya?" Tanya Ansel yang juga sedikit ragu mengatakan nya.

"S-sudah," Diana benar-benar berharap Ansel tak membahas surat itu lagi. Sungguh dia tak ingin mengecewakan orang yang sedang berusaha menyenangkan diri nya.

"Bagaimana menurut mu?" Rupanya Ansel memang belum menyerah. Dia ingin tahu tanggapan Diana tentang surat itu. Walau bagaimanapun, pertanyaan harus mendapat Jawa bukan? Walau surat yang Ansel buat itu bukan kah pertanyaan melainkan sebuah pernyataan, namun dia juga butuh kepastian jawaban.

"M-maks-"

Tok tok tok.

Huh, akhirnya Diana bernafas lega saat dia tak tahu harus berkata apa dan otak nya sedang merangkai kata yang belum jadi dan akhirnya dia terselamatkan oleh ketukan pintu.

Baik Ansel maupun Diana mengalihkan tatapan ke arah pintu. "Masuk,"

Klek.

Terlihatlah seorang pria yang memakai seragam supir, dan supir itu tidak lain dan tidak bukan adalah seorang yang ditugaskan untuk menjemput Diana tadi.

"Maaf, Tuan. Sepertinya nyonya Diana melupakan bekal nya." Pria itu menunjukkan paper bag yang berisi bekal makanan membuat Diana melotot, padahal tadi memang sengaja meninggalkan bekal karena mengatakan tidak perlu membawa bekal.

"Kau membuatkan ku bekal?" Tanya Ansel dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Hal itu semakin membuat Diana merasa takut. Bagaimana pun rasa trauma itu masih ada meksi sekarang laki-laki itu cenderung bersikap baik namun tak bisa menghilangkan ingatan sikap buruk Ansel terhadap nya.

Diana hanya menanggapi dengan sebuah anggukan tanpa menatap wajah Ansel.

"Kenapa kau repot-repot membuatkan makan siang? Aku sudah bilang tidak perlu melakukan pekerjaan apapun. Di Mansion sudah tidak kekurangan pelayan lagi. Aku tidak ingin kau kelelahan."

Pernyataan memberondong Ansel itu seketika mampu merubah seluruh pemikiran buruk Diana. Hati wanita itu bahkan merasa terombang ambing, jika tadi dia masih terlalu biasa saja menyikapi sikap ramah Ansel, kini hati Diana dibuat menghangat. Dan hati nya sudah percaya 80% kalau apa yang ditulis Ansel dalam surat itu benar.

"Kenapa kau menatap ku seperti itu? Apa kau lelah?" Ansel meraih dua tangan Diana dan digenggam erat. Bahkan laki-laki itu mengamati seluruh tubuh Diana, membuat wanita itu merasa terharu.

Walau bagaimanapun Diana yang belum pernah mendapatkan perhatian oleh seseorang, sejak kecil orang tuanya sudah meninggal dan hanya di asuh oleh bekas pelayan yang sudah dianggap menjadi ibu nya. Tapi tetap saja dia jarang mendapatkan perhatian seperti ini, membuat Diana benar-benar merasa terharu. Akhirnya setelah sekian lama hidup di dunia, Diana bisa merasakan kasih sayang itu. Diana kini merasakan bagaimana dikhawatirkan oleh seseorang, membuat dirinya merasa berharga sebagai manusia. Bahkan matanya sampai berkaca-kaca namun itu hanya sebentar karena tak ingin Ansel sampai mengetahui.

"Hei, kenapa kau tak menjawab? Apa ada yang sakit? Biarkan aku memeriksa mu." Ansel tampak semakin khawatir karena tak mendapati jawaban dari istri nya. Dia segera merapatkan tubuhnya pada Diana lalu membuka blazer yang dipakai wanita itu jika saja Diana tidak menahan.

"Apa yang kau lakukan? Masih ada pak sopir." Diana mengingatkan. Ansel menepuk jidatnya, dia lupa kalau belum menyuruh orang itu keluar. Bahkan bekalnya saja masih berada di tangan pria itu.

"Letakkan saja di meja, pak. Kau boleh keluar. Terimakasih." Ansel menginstruksi laki-laki itu yang langsung dia lakukan. Setelah pintu itu tertutup sempurna, Ansel kembali menatap ke arah Diana.

"Aku tidak apa-apa, Ansel. Hanya sedikit terharu, selama ini aku tak pernah merasakan perhatian dari siapapun. Dan kau lah orang pertama yang mau perduli dengan ku." Diana lebih dulu memangkas tindakan Ansel yang ingin meneruskan membuka blazer nya.

Sedangkan Ansel langsung mematung mendengar perkataan istri nya ini.

"Apakah hidup mu se-menyedihkan itu sampai tak ada siapapun yang perduli dengan mu?" Nada suara Ansel sedikit bergetar dan hampir meluruhkan air mata. Laki-laki itu merasa tertampar dengan pernyataan istri nya, selama beberapa bulan ini dia tak pernah memanusiakan istri nya, dan ternyata bukan hanya dirinya yang bersikap seperti itu, tapi seluruh dunia juga melakukan hal yang sama.

"Tidak ada alasan bagi orang-orang peduli pada ku. Aku hanya lah seonggok daging bernyawa yang sangat hina. Demi mempertahankan hidup, aku rela menjual tubuh ku pada banyak pria. Bahkan aku sudah lama kehilangan keperawanan hanya untuk menebus hutang ayah angkat ku yang kalah judi." Tanpa izin air matanya luruh membasahi pipi dan segera mengusap wajah nya kasar.

"Sekarang aku menyadari kenapa kedua orang tua ku meninggal saat aku masih kecil. Itu karena memang aku tak berguna menjadi anak. Bahkan meksi mereka masih hidup pun pasti hanya akan membuat mereka malu memiliki anak seperti ku." Sahut nya lagi.

Ansel segera mendekap erat tubuh wanita itu dan mengelus punggung nya.

"Kau jangan berkata seperti itu. Kau tidak hina, kau berharga, dan kau wanita hebat bisa melalui semua ini sendiri." Bukan hanya Diana yang menangis, bahkan Ansel pun suaranya sampai berubah serak karena ikut meneteskan air mata.