Salahkah jika Anyelir mencintai Devan tunangan kakaknya? Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak.
Devan adalah masa lalu Anye yang selama ini dengan susah payah ia lupakan, tapi sepertinya takdir memang tidak berpihak padanya. Setelah tiga tahun dan Anye sudah berhasil menghapus semua kenangan akan Devan, laki-laki itu muncul kembali. Tapi kali ini dia datang sebagai tunangan kakaknya!
****
Season 2
Axel putra kedua dari pasangan Anye dan Devan, baru pertama kalinya jatuh cinta pada seorang gadis berparas cantik.
Dia tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi semua yang di rasakan dalam hatinya membuat dia mengalah dan harus percaya akan hal itu. Dia ingin merebut perhatian Renata, seorang gadis pelayan kafe yang tak menyukai anak orang kaya.
Demi meraih cintanya, Axel bersedia mengikuti jejak sang pujaan hati. Mendekati dia dengan menyamar sebagai pelayan kafe.
Hingga akhirnya, Axel berhasil mendapatkan jawaban atas perasaannya. Namun apa yang terjadi jika kemudian dia tahu tentang sesuatu. Sebuah misteri yang selama ini dia cari kebenarannya.
Apakah benar Renata mencintainya?
Atau hanya mencintai jantung kakaknya yang ada pada dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trias wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
part 33
"Kak Mel...!!!"
Aku terkejut hingga refleks berdiri dari pangkuan Devan. Begitu juga Devan berdiri di belakangku.
Kak Mel berlari meninggalkan kami dengan berurai air mata. Aku berlari mengejar Kak Mel, Devan berteriak memintaku agar jangan berlari. Dia lebih khawatir dengan kandunganku daripada Kak Mel.
Devan mencekal tanganku. Kak Mel sudah berlari menjauh dan masuk ke dalam lift.
"Dev, kak Mel..."
"Kita akan pulang, tapi kamu jangan lari, please!" pintanya.
Devan menatap kedua pengawalnya yang hanya menunduk.
"Maaf tuan, kami sudah melarang tapi nona Melati memaksa." ucap salah seorang.
Sampai di rumah.
Suasana rumah tiba-tiba serasa asing dan mencekam. Papa duduk bersandar di sofa. Mama sedang memeluk kak Mel. Padahal ini masih jam tiga tapi kenapa mereka sudah pulang dari kantor?
Papa menatap lurus ke depan, wajahnya tanpa ekspresi seperti biasa tapi dari sorot matanya terlihat begitu banyak amarah dan kebencian.
"Pergi. Dasar wanita penghianat!!!" teriak kak Mel yang membuatku pilu.
Penghianat.
Aku.
"Kak, maafkan Anye. Ini..."
"Sejak kapan?" suara Kak Mel tercekat. "Sejak kapan kamu sama Devan?!!" teriaknya lagi. Papa tanpa ekspresi dan mama menangis.
"Sejak lama. Dan yang aku suka Anyelir bukan kamu." Devan menjawab di pegangnya tanganku. Memberi kekuatan untuk menatap balik kakakku yang sedang menangis, aku menatap Devan dan menggelengkan kepala.
"Aku suka Anye dari dulu Melati, jauh sebelum kita bertemu. Maaf."
"Aku minta maaf, om, tante!"
Hening, hanya ada isak tangis mama dan Kak melati.
"Sudah berapa usia kandungan kamu Anye?!"
"Anye hamil?" tanya Mama menatap kak Mel dan aku bergantian tidak percaya. Aku hanya diam menunduk takut. Dan merasa bersalah pada mama.
"BERAPA USIA KANDUNGAN KAMU ANYELIR!!!" teriak Melati.
"Delapan minggu!" jawab Devan. "Dan aku akan tanggung jawab untuk Anye dan anakku."
"Seminggu setelah kita tunangan?" Kak Mel menggelengkan kepalanya, lalu tertawa mengejek. "Hebat kamu Anye! Kamu sama saja seperti ibumu. Wanita penggoda!!!" teriak kak Mel lalu berlari menaiki tangga.
Apa maksudnya. Sama seperti ibuku? Wanita penggoda?
Aku menatap mama dan papa bergantian. Papa tidak bisa aku harapkan, mama menangis dengan hebat.
"Apa maksudnya ma? Sama seperti ibuku? Apa aku bukan anak kalian?" tanya ku menatap mama dan papa. Aku akan mendekat pada mama tapi papa melarangku dengan keras.
"Pergi kamu!" papa masih di posisinya, tapi bisa ku lihat wajahnya mulai mengeras dan nada suaranya lebih dingin dari kutub utara.
"Pa, jangan pa." mohon mama dengan menangis hebat.
"Papa usir aku?"
"Iya. Pergi sekarang juga! Dan jangan muncul lagi di depan kami!"
"Pa, mama mohon jangan usir Anye." mama tetap menangis. Papa sudah berdiri.
"Masuk kamar, Linda!" titah papa.
"Ma..." Aku mendekat tapi tanganku di cekal oleh Devan.
"Kita pulang!" bisik Devan.
"Rumah ku disini Dev."
"Jangan berharap kami akan menerima kamu disini setelah kamu coreng muka kami!" ucap Papa dingin dan membawa mama dengan paksa ke dalam kamar.
"Pa, setidaknya papa jelaskan aku siapa!" teriakku, tapi papa terus membawa mama masuk ke dalam kamar.
"Anye, ayo pulang."
"Kak Mel. Aku harus ketemu kak Mel, Dev." Devan masih mencekal tanganku. Tidak perduli dengan aku yang menangis meminta kejelasan.
"Kita pulang. Sekarang!" tegas Devan. Lalu menarik tanganku keluar dari rumah yang selama ini aku tinggali.