NovelToon NovelToon
Paket Cinta

Paket Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Chicklit / Enemy to Lovers
Popularitas:793
Nilai: 5
Nama Author: Imamah Nur

Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.

   Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.

   Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?

Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31. Gertakan

Napas Nokiami tercekat di tenggorokan. Udara di sekelilingnya seolah membeku, berubah menjadi bongkahan es yang menghimpit paru-parunya. Janji Reygan, harapan yang baru saja mekar—semuanya lenyap ditelan teror yang dingin dan familier. Matanya terpaku pada layar, pada kata-kata kejam yang seolah merayap keluar dari ponsel dan melilit lehernya.

“Sialan,” desis Reygan, refleksnya mengambil alih. Dalam satu gerakan cepat, ia sudah berada di depan Nokiami, tubuhnya menjadi perisai antara Nokiami dan pintu. “Jangan panik. Jangan bersuara.”

“Dia… dia di luar,” bisik Nokiami, suaranya bergetar hebat. Ia mencengkeram lengan Reygan, jari-jarinya dingin seperti mayat. “Reygan, dia di sini!”

“Tenang,” potong Reygan, suaranya rendah dan tajam, membelah kepanikan Nokiami. Ia menempelkan telinganya ke pintu.

Hening.

Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada napas tertahan di luar. Hanya keheningan apartemen yang mencekam. “Aku nggak dengar apa-apa.”

“Tapi pesannya…”

“Itu cuma tulisan, Nokia. Bisa jadi gertakan,” kata Reygan, matanya menyapu sekeliling ruangan, mencari sesuatu seperti senjata atau apapun yang bisa menjadi jalan keluar. Tatapannya berhenti pada lubang intip di pintu. Dengan sangat hati-hati, ia menggeser penutupnya dan mengintip keluar. Koridor itu kosong. Lampu neon yang temaram memantulkan kilau steril pada lantai yang bersih. Tidak ada bayangan, tidak ada sosok Leo yang menunggu.

Reygan menarik diri dari pintu, keningnya berkerut dalam. “Nggak ada orang.”

“Apa?” Nokiami tidak percaya. “Tapi… bagaimana dia bisa tahu kau ada di sini? Dia bilang 'Aku tahu kau tidak sendiri’. Bagaimana?”

Reygan kembali menatap ponsel Nokiami, otaknya bekerja cepat, menghubungkan titik-titik. “Dia nggak tahu itu aku. Dia cuma menebak. Bajingan kayak dia itu paranoid. Dia mengirim pesan itu untuk membuatmu takut, membuatmu melakukan kesalahan. Kalau kau panik dan teriak, atau kalau kau menelepon seseorang, dia akan tahu tebakannya benar.”

Penjelasan Reygan masuk akal, sedingin logika matematika. Itu adalah permainan psikologis, dan Nokiami baru saja hampir menelan umpannya bulat-bulat.

“Jadi… dia nggak di sini?” tanya Nokiami, sedikit harapan merayap kembali ke dalam suaranya.

“Kemungkinan besar nggak. Tapi dia mengawasi,” Reygan menyimpulkan, menunjuk ke arah jendela. “Mungkin dari seberang jalan, mungkin dia menyuruh orang. Dia mau lihat reaksimu.” Ia mengambil ponsel Nokiami, mematikannya, lalu meletakkannya kembali di meja dengan layar menghadap ke bawah.

“Untuk sekarang, kita anggap semua perangkatmu disadap. Jangan sentuh.”

Nokiami mengangguk, napasnya mulai kembali normal meskipun jantungnya masih berdebar seperti genderang perang. Ia menatap Reygan, yang kini berdiri tegak di tengah ruangan, ekspresinya keras dan penuh perhitungan.

“Oke,” kata Nokiami, suaranya lebih mantap. “Oke. Dia nggak akan menang. Kau benar, kita harus hadapi dia.”

Reygan menatapnya, ada sedikit kekaguman di matanya melihat Nokiami bisa mengendalikan diri secepat itu.

“Bagus. Karena syaratku masih berlaku. Nggak ada lari-lari lagi.”

“Nggak akan,” sahut Nokiami. “Jadi, apa rencana kita?”

“Rencana kita adalah menghancurkannya,” jawab Reygan tanpa basa-basi. Ia menunjuk ke kotak kardus berisi kenangan pahit Nokiami yang masih tergeletak di lantai.

“Kita mulai dari sana. Kita kumpulkan semua amunisi yang kita punya. Setiap pesan, setiap foto, setiap tulisan tangannya yang merendahkanmu. Kita buat daftar semua tindak intimidasi yang pernah dia lakukan.”

“Lalu?”

“Lalu kita serang titik lemahnya,” lanjut Reygan. “Orang kayak Leo, yang terobsesi dengan citra dan status, paling takut kalau topengnya dilepas di depan orang yang penting baginya. Keluarganya, rekan bisnisnya, dan… orang tuamu.”

Nokiami tersentak. “Orang tuaku? Reygan, mereka nggak akan percaya padaku. Mereka lebih peduli pada reputasi perusahaan daripada kebahagiaanku.”

“Itu karena selama ini kau datang pada mereka dengan emosi,” bantah Reygan. “Kau datang sebagai anak perempuan yang ketakutan. Kali ini, kita datang pada mereka dengan data. Dengan bukti. Kita tunjukkan pada ayahmu, bukan sebagai ayah, tapi sebagai pebisnis, bahwa Leo adalah investasi yang buruk. Aset yang berisiko tinggi.”

Debat itu dimulai. Dinamika tim mereka yang baru terbentuk langsung diuji.

“Tapi ini bukan cuma soal bisnis!” seru Nokiami, frustrasi. “Ini soal hidupku! Aku mau mereka lihat kalau aku menderita, kalau aku tersiksa!”

“Mereka nggak akan lihat, Nokia! Atau mereka memilih untuk nggak lihat!” balas Reygan, nadanya tidak marah, hanya sangat lugas.

“Orang tuamu, dari ceritamu, mereka bicara dalam bahasa keuntungan dan kerugian. Jadi kita harus bicara pakai bahasa mereka. Kita tunjukkan pada mereka kalau Leo, dengan sifat obsesif dan kelakuannya yang nggak stabil, bisa menghancurkan citra perusahaan mereka jauh lebih parah daripada skandal keuangan kecil-kecilan itu. Kita buktikan kalau dia adalah bom waktu.”

Nokiami terdiam. Logika dingin Reygan menembus kabut emosinya. Selama ini ia selalu mencoba membuat orang tuanya merasakan penderitaannya. Ia tidak pernah berpikir untuk membuat mereka menghitung kerugiannya.

“Kau… kau benar,” aku Nokiami pelan. “Mereka hanya peduli pada angka.”

“Tentu saja,” kata Reygan. Ia duduk di lantai, menarik kotak itu ke dekatnya. “Ayo, kita mulai kerja. Keluarkan semua yang kau punya. Kita bedah bajingan ini sampai ke tulang-tulangnya.”

Selama beberapa jam berikutnya, apartemen kecil itu berubah menjadi ruang strategi. Mereka menyebar semua surat, foto, dan kartu ucapan dari Leo di atas lantai. Reygan, dengan pulpen dan buku catatannya, dengan teliti mencatat setiap kalimat yang berpotensi menjadi ancaman, setiap tanggal, setiap pola perilaku. Nokiami, di sisinya, memberikan konteks untuk setiap bukti, menjelaskan kapan dan bagaimana Leo menggunakan kata-kata itu untuk menyakitinya.

Suasana tegang, tapi produktif. Tidak ada lagi pertengkaran sengit di antara mereka. Hanya ada fokus dan tujuan bersama. Sesekali, saat Nokiami menceritakan kenangan yang sangat menyakitkan, suaranya akan bergetar. Dan setiap kali itu terjadi, Reygan akan berhenti menulis, menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada datar, “Oke. Catat. Itu bisa kita pakai untuk menunjukkan pola kekerasan emosional.” Ia mengubah trauma Nokiami menjadi data, mengubah air mata menjadi amunisi.

Setelah selesai dengan bukti-bukti dari Leo, Reygan mengalihkan perhatiannya. “Sekarang, giliranku,” katanya sambil mengeluarkan setumpuk amplop cokelat kusam dari tas selempangnya. Itu adalah surat-surat tagihan utang ayahnya. Kertas-kertas yang sama menakutkannya bagi Reygan seperti surat-surat Leo bagi Nokiami.

“Ini semua data utang ayahku,” jelasnya, menyebarkannya di antara bukti-bukti milik Nokiami. “Aku mau kau lihat. Kau bilang kau bisa bantu. Buktikan.”

Tantangan itu tidak diucapkan dengan sinis, melainkan dengan kepercayaan yang ragu-ragu. Nokiami mengangguk. Ia mengambil tumpukan kertas itu, dan dunianya langsung berubah. Tidak ada lagi emosi, yang ada hanya angka, suku bunga, klausul kontrak, dan tenggat waktu. Matanya memindai setiap baris dengan kecepatan dan ketepatan yang mengejutkan Reygan.

“Bunga pinjaman yang ini keterlaluan,” gumam Nokiami pada dirinya sendiri. “Ini ilegal. Mereka nggak bisa menagih sebesar ini. Dan yang ini… klausulnya ambigu. Kita bisa menggugatnya.”

Reygan hanya bisa menonton, terpesona. Gadis yang beberapa jam lalu gemetar ketakutan karena sebuah pesan teks, kini berubah menjadi analis keuangan yang tajam dan tak kenal takut. Ia melihat sisi lain dari Nokiami, sisi yang tidak manja, tidak dramatis, tetapi kuat dan cerdas. Sisi yang selama ini tersembunyi di balik trauma dan pelariannya.

Mereka duduk berdampingan di lantai, bahu mereka nyaris bersentuhan, dikelilingi oleh dua tumpukan masalah yang berbeda namun terasa sama beratnya. Kertas-kertas ancaman Leo di satu sisi, dan kertas-kertas utang Reygan di sisi lain.

Di tengah-tengah kekacauan itu, mereka menemukan ritme. Nokiami akan menjelaskan istilah hukum yang rumit, dan Reygan akan menerjemahkannya ke dalam strategi jalanan yang praktis.

“Jadi, kita bisa laporkan kreditur ini ke OJK?” tanya Reygan.

“Bisa. Tapi kita harus kumpulkan bukti komunikasi mereka dulu,” jawab Nokiami, tangannya sibuk mencatat di atas kertas. Jari-jarinya bergerak lincah, menuliskan angka-angka dan pasal-pasal hukum. Tiba-tiba, tangannya berhenti dan sedikit bergetar, sisa-sisa adrenalin dari teror pagi tadi akhirnya muncul kembali.

Reygan melihatnya. Tanpa berpikir, tanpa jeda, ia mengulurkan tangannya dan meletakkannya dengan lembut di atas tangan Nokiami yang sedang memegang pulpen. Kehangatan telapak tangannya yang sedikit kasar langsung menjalar ke kulit Nokiami, menenangkan getaran itu seketika.

Napas Nokiami tercekat, merasakan ini bukanlah akting seperti sebelumnya sebab Reygan melakukan hal itu ketika hanya ada mereka berdua, di tengah lautan kertas yang berisi semua ketakutan mereka.

Nokiami mengangkat kepalanya perlahan, matanya bertemu dengan tatapan Reygan. Pria itu tidak sedang melihat kertas-kertas di lantai. Ia menatap lurus ke mata Nokiami, tatapannya begitu dalam, begitu intens, seolah ia sedang melihat langsung ke dalam jiwanya. Keheningan yang tercipta di antara mereka jauh lebih kuat daripada kebisingan masalah mereka.

Jempol Reygan bergerak pelan, mengusap punggung tangan Nokiami dengan lembut. Sebuah gestur kecil yang terasa ribuan kali lebih intim daripada ciuman palsu mereka di lobi.

“Aku nggak akan,” bisik Reygan, suaranya rendah dan serak, sarat dengan janji yang tak terucapkan. “Aku nggak akan biarin dia nyentuh kamu lagi. Atau siapa pun.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!