NovelToon NovelToon
Perjalanan Hadi

Perjalanan Hadi

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Romansa Fantasi / Pemain Terhebat / Epik Petualangan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Harem
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: bang deni

perjalanan seorang anak yatim menggapai cita cita nya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bang deni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rara Bunga Malam

Melihat TV-nya kembali normal, Rara duduk sebentar sambil memandangi layar yang sudah terang. Suara acara dangdut sore terdengar jelas. Namun saat ia melirik meja kecil di samping kasur, ia tersentak.

Di sana tidak ada minuman sama sekali.

“Eh! Sampai lupa… belum ngasih apa-apa.” Rara menepuk kening sendiri. “Mas mau kopi apa teh?”

“Kopi aja, Kak. Biar melek,” sahut Hadi sambil tersenyum kecil.

Ia duduk di sofa kecil yang sudah agak kempes, menonton acara yang barusan ia hidupkan kembali. Meski ruangannya sempit dan temaram oleh lampu neon ungu, suasana terasa lebih hangat setelah TV menyala.

Rara keluar sebentar, lalu kembali membawa dua gelas air mineral dingin.

“Nah ini, minum dulu. kopinya nanti airnya baru di panasin” Ia menyodorkan salah satu gelas.

Hadi menerima. “Terima kasih.”

Rara duduk di kursi plastik di depan Hadi, namun posisinya sedikit menunduk. Ada raut canggung yang tak terlihat sebelumnya, seperti ada sesuatu yang mengganjal.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hanya suara TV yang mengisi ruangan.

Hadi meneguk minumannya. Rara menatapnya sesekali, lalu kembali menunduk. Tatapannya kosong.

Hadi menyadari itu.

“Ada apa, Mbak?” tanyanya hati-hati.

" Tidak apa apa" sahut Rara dengan menunduk

" Sepertinya mbak Rara seusia saya" tanya hadi sambil melihat wajah " kenapa mbak sampe masuk tempat begini?" tanya Hadi

Rara terlihat ragu, tapi akhirnya menghembuskan napas panjang.

“ iya Mas sepertinya kita seumuran… boleh aku cerita sesuatu?”

“Boleh. Kalau mau cerita, silakan.”

Rara memainkan jarinya, memutar-mutar tutup gelas di tangannya. “Aku… sebenarnya bukan orang sini. Aku dari Jawa Barat.”

Hadi mengangguk. “Oh, gitu kenapa bisa sampai sini?”

“Aku nggak punya niat sedikit pun buat kerja di tempat kayak gini…” Rara tersenyum pahit. “Nggak pernah mimpi terjun ke dunia kayak begini.”

Hadi menatapnya. Ia tidak memotong.

Rara melanjutkan, suaranya lebih pelan.

“Aku dulu tinggal sama ibu. Ayahku meninggal waktu aku SD. Ibuku jualan gorengan, hidup pas-pasan, tapi aku nggak pernah kurang kasih sayang.”

Ia terdiam sejenak, menelan ludah. “Lalu ibuku menikah lagi. Suaminya sangat baik, tetapi tak berumur panjang, saat ayah tiriku meninggal adik ayah tiriku datang Paman tiri itu awalnya baik namun Lama-lama mulai ngatur hidup kami. Semua uang hasil jualan ibu dia ambil. Ibuku takut karena dia sering marah kalau nggak dikasih.”

Hadi merasakan nada getir dalam kata-katanya.

“Pas aku lulus SMP, dia bilang ada kerjaan buat aku di kota. Di toko baju katanya. Aku percaya karena ingin memperbaiki ekonomi keluargaku"

Rara tertawa kecil, tawa pedih yang terdengar seperti ejekan kepada dirinya sendiri.

“Hari pertama aku datang ke tempat itu… bukan toko baju.” Ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. “Aku langsung dikurung di sebuah rumah kecil. Dibilang aku punya ‘utang’ biaya perjalanan. Kalau nggak mau kerja, ibuku yang akan di jadikan sasaran"

Hadi mengepalkan tangan tanpa sadar.

“Mas tau? Aku nangis tiga hari. Aku coba kabur. Tapi pamanku datang… bawa ibuku. Ibuku ditampar depan aku. Dia bilang, ‘Kalau kamu kabur lagi, ibu kamu yang aku jual.’”

Rara mengusap hidungnya, menunduk lebih dalam. airmatanya tak di sadari menetes

“Aku nggak punya pilihan. Aku takut ibu makin disakitin. Jadi aku nurut. Aku dijual… ke sini.”

Keheningan memenuhi ruangan. Suara TV seakan hilang dalam latar.

Hadi baru sadar bahwa perempuan di depannya bukan sekadar “bunga Pemandangan”. Ia korban. Ia terperangkap dalam kegelapan yang dipaksakan.

Dengan suara pelan, Hadi bertanya, “Ibunya sekarang bagaimana?”

“Masih sama dia.” Suara Rara bergetar. “Aku kirim semua uang buat ibu. Paman tiri bilang kalau aku pulang tanpa izin, ibu bakal ‘hilang’. Aku percaya dia bisa ngelakuin itu.”

Rara menutup wajahnya sebentar. “Aku mau pergi, Mas. Mau banget. Mimpi hidup normal lagi… Tapi aku takut.”

Hadi memegang gelasnya lebih erat. Ada perasaan marah, sedih, dan iba bercampur menjadi satu. walau Ia bukan siapa-siapa, hanya teknisi TV biasa. Tapi mendengar kisah itu… sulit baginya untuk tidak merasa terpanggil.

“Paman tirimu itu… masih suka datang?” tanya Hadi.

“Kadang. Buat ambil uang bulanan.” Rara menggigit bibirnya. “Kalau aku kurang setor, dia marah. Katanya aku nggak becus kerja.”

“Gila…” Hadi menggeleng tak percaya.

Rara mengangkat wajahnya sedikit. Mata kecilnya yang dipenuhi eyeliner kini basah. “Mas… Mas orang baik. Makanya aku berani cerita. Aku biasanya nggak cerita ke sembarang orang.”

“Aku cuma… ya, cuma orang biasa, Mbak.”

“Tapi jarang ada orang biasa yang mau dengerin aku tanpa nilai aku.”

Hadi menghela napas panjang. “Saya nggak biasa menilai orang dari kerjaannya. Semua orang punya alasan.”

Rara tersenyum tipis—senyum yang lebih jujur daripada sebelumnya. “Andai semua orang mikirnya kayak gitu.”

Lalu ia terdiam, membiarkan suasana tenggelam dalam keheningan.

Beberapa menit kemudian, Rara berdiri.

“Mas mau kopi, kan? Tadi aku belum sempat bikin.”

“Gak apa-apa kalo gak usah repot,” ujar Hadi.

“Nggak repot. Aku seneng ada tamu yang bener-bener tamu kerja. Bukan… ya.” Ia tak menyelesaikan kalimatnya.

Rara pergi ke dapur kecil di sudut kamar. Suara sendok beradu dengan gelas terdengar pelan.

Hadi menonton TV sambil menahan emosi yang berputar di kepalanya. Ia jarang marah, tapi cerita tadi membuat darahnya mendidih. Bagaimana bisa ada orang memperlakukan keluarga sendiri seperti itu?

Ketika Rara kembali membawa kopi, ia duduk lagi tetapi kini lebih santai. Seperti beban yang sudah lama ia simpan akhirnya sedikit terangkat.

“Mas pernah lihat orang jahat yang pakai wajah baik?” tanya Rara tiba-tiba.

“Banyak.” Hadi menyeruput kopi. “Tapi sejahat apapun orang, pasti ada waktunya kena balas.”

Rara tersenyum getir. “Semoga pamanku kena secepatnya.”

Hadi mengangguk. “Kalau Mbak butuh bantuan… ya, saya gak banyak bisa. Tapi kalau sekadar ngobrol atau apa… saya ada.”

“Mas baik banget…” bisik Rara.

“Biasa aja kok.”

“Enggak. Mas beda.”

Keduanya kembali diam. Tapi keheningan kali ini tak lagi menekan. Justru terasa lebih nyaman, lebih manusiawi.

Di luar, suara laki-laki mabuk mulai terdengar. Seseorang tertawa keras, lalu ada suara botol jatuh.

Rara melirik pintu. “Sore agak ribut. Kalau malam tambah kacau.”

“Tiap hari begini?”

“Hampir.”

Hadi meletakkan gelas kopi. “Gimana kalau Mbak pergi? Kabur gitu?”

“Kalau aku kabur… ibuku mati, Mas. Aku nggak bisa ambil risiko itu.” Rara memejamkan mata sesaat. “Aku cuma bertahan di sini sambil nabung. Kalau tabungan cukup, aku mau bayar pamanku… untuk menebus ibu.”

“Hah? di tebud?” Hadi terkejut.

Rara mengangguk pelan. “Dia bilang… kalau mau hidup bebas, bayar semua yang dia ‘keluarin’. Padahal dia nggak keluarin apa-apa.”

Hadi tidak bisa menahan tawa pahit. “Dia pikir dia siapa? Bos mafia?”

“Iya. Rasanya begitu.” Rara ikut tertawa singkat—tawa kecil yang pahit.

Hadi bersandar ke sofa. Pikirannya penuh.

Di satu sisi, ia hanya teknisi. Bukan polisi, bukan preman, bukan orang kaya. Ia tidak punya modal untuk ikut campur dalam urusan gelap orang. Tapi di sisi lain… ia tidak bisa pura-pura buta.

Rara menatapnya dalam. “Mas… kenapa liatin aku gitu?”

“Gak apa-apa. Saya cuma mikir… Mbak gak pantas ada di tempat kayak begini.”

Rara tertawa lagi—kali ini lebih lembut. “Mas pikir orang lain pantas?”

“Bukan itu maksud saya.”

“Tenang… aku ngerti.” Rara meneguk kopinya. “Aku cuma korban keadaan. Tapi hidup harus tetap jalan.”

Hadi mengangguk. “Bener.”

Tiba-tiba terdengar suara langkah berat di luar kamar. Tok… tok… tok…

Rara langsung menegang. Ia menoleh ke pintu dengan wajah cemas.

Hadi ikut menoleh.

“Siapa?” tanya Hadi dengan suara rendah.

“Entahlah…” bisik Rara. “Tapi kalau itu pamanku… aku takut.”

Hadi berdiri refleks. Tangannya menggenggam obeng dalam saku jaket.

Tok… tok… tok… suara itu semakin kuat.

“Ra! Buka pintunya!” teriak suara laki-laki kasar.

Tubuh Rara langsung gemetar.

Hadi menatap pintu dengan rahang mengeras.

“Siapa itu?” bisik Hadi.

“Pamanku…” jawab Rara, suara nyaris tak terdengar.

Tok!

Tok!!

Tok!!!

“RA! JANGAN BIKIN GUE NUNGGU!!!”

Hadi menelan ludah. Ini bukan situasi yang ia duga saat datang memperbaiki TV. Tapi ia melihat mata Rara—mata yang benar-benar ketakutan—dan ia tahu satu hal:

Ia tidak bisa duduk diam.

Rara menarik napas gemetar. “Mas… tolong jangan bikin dia marah. Dia bisa ngapa-ngapain aku. Dia bisa sakitin ibu.”

Hadi memegang bahu Rara sebentar. “Tenang. Saya cuma di sini. Gak akan saya biarin Mbak sendirian.”

Tok!!!

Pintu beretar.

“RAAAA!!!”

Rara memejamkan mata. tubuh kecilnya bergetar menahan takut

Hadi bersiap.

Dari luar suara langkah seseorang mendekat—lebih dari satu.

Bukan hanya pamannya.

Ada dua laki-laki lain.

Dan dari nada suara mereka…

Masalah besar akan masuk kapan saja.

Hadi merasakan adrenalinnya naik.

1
Hafis Yudhistira
apa kemarin sudah up trus di hapus lagi?
Blue Angel: kemaren bab nya loncat kak🙏🙏🙏
total 1 replies
Hafis Yudhistira
perasaan aku sudah baca part ini??? apa aku dejavu ya????
Alana kalista
/Grievance/
Casudin Udin
Luar biasa
Alana kalista
lanjut author
Alana kalista
lanjut
Yuliana Tunru
yuni x yg agresif ..hati2 besok2 bisa kebablasan ingat msh kecil ya
Yuliana Tunru
q mampir bang smoga up lancar dan byk pembaca x 💪💪
Blue Angel: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!