Willie, seorang pengusaha muda yang sukses, hidupnya hancur seketika ketika sang istri, Vira meninggal secara tragis setelah berusaha membuka kasus pemerkosaan yang melibatkan anak didiknya sendiri.
Kematian Vira bukan kecelakaan biasa. Willie bersumpah akan menuntut balas kepada mereka yang telah merenggut keadilan dan istrinya.
Namun di balik amarah dan tekadnya, ada sosok kecil yang menahannya untuk tidak tenggelam sepenuhnya, putri semata wayangnya, Alia.
Alia berubah menjadi anak yang pendiam dan lemah sejak kepergian ibunya. Tidak ada satu pun yang mampu menenangkannya. Hanya seorang guru TK bernama Tisha, wanita lembut yang tanpa sengaja berhasil mengembalikan tawa Alia.
Merasa berhutang sekaligus membutuhkan kestabilan bagi putrinya, Willie mengambil keputusan untuk melakukan pernikahan kontrak dengan Tisha.
Willie harus memilih tetap melanjutkan dendamnya atau mengobati kehilangan dengan cinta yang tumbuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggil Aku Sayang
Tisha memeriksa penampilan Willie lagi dengan teliti. Kemeja itu pas di tubuhnya, pria itu terlihat wibawa. Tanpa sadar, senyum tipis tersungging di bibir Tisha.
“Selesai,” ucap Tisha
Ia berbalik badannya hendak membuka pintu kamar, namun Willie lebih cepat menahan Tisha. “Tunggu.”
Tisha menoleh. “Ya? Ada apa lagi?”
Willie melangkah lebih dekat, raut wajahnya lebih serius. “Aku ingin kita menyusun rencana. Panggilan, sikap, dan gerak gerik semuanya.”
Tisha berpikir sejenak lalu mengangguk. “Uhm… Anda benar juga.”
“Jadi,” sambung Willie, menatap Tisha lekat. “Kau akan memanggilku apa?”
“Pak Willie,” jawab Tisha spontan.
Begitu kata itu keluar, Tisha langsung spontan menutup mulutnya sendiri. Willie menghela napas panjang sambil menepuk jidatnya.
“Ya, itu yang kumaksud,” katanya datar. “Kalau mau bermain aman, lakukan dengan sempurna.”
Ia menegakkan tubuh. “Jangan panggil aku begitu. Aku suamimu, bukan atasanmu.”
Tisha mengerutkan kening, lalu menyela ragu, “Kalau… mas?”
Jantung Willie sempat berdegup, tapi ia masih menggeleng. “Apa aku terlihat seperti ‘mas-mas’ bagimu? Yang lain.” pintanya.
Tisha menarik napas. “Anda mau apa? Papa? Ayah? Abi?”
Willie menatapnya tajam, lalu berkata tegas, “Panggil aku sayang.”
“A… apa?” Tisha terpaku tidak percaya Willie mau dipanggil begitu.
“Tidak.” Kepala Tisha langsung menggeleng. “Itu terlalu menggelikan.”
Kening Willie berkerut. “Apa maksudmu? Sebegitu menggelikannya aku bagimu?”
Tisha langsung kikuk. "Aku tidak bermaksud begitu… " katanya panik.
Willie mendekat dan melanjutkan, “Panggil aku sayang, dan...”
Ucapan Willie terpotong, ia meraih tangan Tisha. “Gandeng lenganku. Atau genggam tanganku seperti ini.”
Ia memeragakannya dengan percaya diri. Dengan ragu, Tisha mencoba menuruti. Genggamannya masih kaku, jarinya terasa tegang.
“Jangan sekaku itu,” keluh Willie.
Tisha menarik napas, lalu menggenggam tangan Willie dengan benar. Lebih erat dan tampak lebih wajar.
Akhirnya muncul senyum di wajah Willie. “Nah, ayo kita keluar seperti ini. Anggap saja sebagai latihan.”
Tisha menurut saja. Willie membuka pintu kamar dan melangkah ke depan. Mereka bergandengan mesra.
Diluar, Ratih terpaku melihat pemandangan yang tak pernah dilihat olehnya selama tuannya menikah lagi. Ia tersenyum-senyum sendiri.
"Memang persoalan hubungan suami istri selalu bisa diselesaikan di kamar." Batin Ratih.
Sopir sudah menyiapkan mobil. Begitu mereka mendekat, pintu segera dibukakan dengan sigap. Namun sebelum Tisha dan Willie masuk, Alia lebih dulu berlari kecil dan langsung naik ke kursi depan, tepat di samping sopir.
“Pa, aku di depan ya,” pintanya polos. “Tadi Alia pusing duduk lama-lama di belakang.”
Willie tertegun sesaat, lalu mengangguk. “Baiklah.”
Tak ada pilihan lain. Tisha dan Willie pun duduk berdampingan di kursi belakang.
Di dalam hati, Willie tersenyum kecil.
"Keberuntungan berpihak padaku malam ini." pikir Willie. Seketika rasa kesalnya pada Tisha karena sudah mengomelinya menguap entah ke mana.
Mobil mulai melaju meninggalkan rumah. Lampu-lampu kota berjajar rapi, memantul di kaca jendela. Di depan, Alia sibuk menunjuk-nunjuk lampu hias di tepi jalan, berseru kagum sesekali.
Di belakang, suasananya berbeda. Sejak tadi, Willie melirik ke arah Tisha.
Tisha sadar akan pandangan itu, ia merasa risih. Akhirnya menoleh ke arah Willie dan berbisik, “Apa ada yang aneh pada saya?”
Willie menggeleng, lalu pura-pura berpikir. “Aku heran saja,” katanya tenang. “Kau bisa kepikiran berdandan seperti ini.”
Tisha menarik napas perlahan. “Saya hanya ingin memperlihatkan pada orang-orang bahwa saya menghargai Anda.”
Ucapan itu membuat sudut bibir Willie melengkung. “Terima kasih,” katanya tulus. Tangannya terangkat, mengusap lembut pucuk kepala Tisha.
Refleks, Tisha menghindar dan menepisnya pelan. “Jangan acak-acak,” ketusnya. “Nanti dandanan saya rusak.”
Willie justru ingin menggodanya lagi. Ia kembali membelai kepala gadis itu sampai membuat kerudungnya sedikit bergeser.
“Pak...” Tisha hendak menepis lagi.
Namun Willie lebih cepat menarik tangannya, seolah tak melakukan apa-apa.Tisha menatapnya tajam, penuh peringatan.
Willie segera memalingkan wajah ke arah jendela mobil, menahan tawanya yang nyaris lolos. Ia merasa puas sudah berhasil menggoda gadis itu.
Beberapa saat kemudian, Tisha menoleh ke arah Willie. "Pak...," panggil Tisha.
"Hmm..." balas Willie.
Tisha terlihat meremas jari-jarinya, "Saya mohon, kali ini jangan buat keributan lagi seperti waktu lalu dengan orang tua anda." pinta Tisha.
Willie menatapnya sejenak, lalu ia mengangguk. "Tenang saja, aku tak segila itu."
Tanpa aba-aba, tangan Willie bergerak pelan. Jemarinya meraih tangan Tisha, lalu menggenggamnya seolah ingin menenangkan.
Tisha tersentak. Ia menoleh tajam. Willie mendekat sedikit dan berbisik. Bibirnya hampir menyentuh telinga Tisha.
“Jangan berpikir macam-macam. Ini cuma latihan.” ucap Willie
“Latihan juga tidak harus dilakukan di sini,” balas Tisha berbisik, suaranya ditekan agar tak terdengar ke depan.
Namun Willie sama sekali tidak menggubris. Justru genggamannya menguat, hangat, dan terasa menjengkelkan bagi Tisha.
Tisha tahu, ini bukan latihan. Ini hanya akal-akalan Willie saja.
Tanpa ragu, ia menarik genggaman tangan mereka mendekat kearahnya, lalu menggigit sisi luar telapak tangan Willie dengan kencang.
Willie mendadak menegang. Genggamannya mengendur perlahan, tapi gigitan itu justru makin terasa.
“Arrgh” Willie mendesis, memaksa suaranya tetap rendah agar tak menarik perhatian sopir dan Alia.
Tisha melepaskannya dengan tenang. Ada rasa puas dihatinya, cukup menjadikan itu sebagai pelajaran kecil untuk Willie.
Willie menatap tangannya. Bekas gigitan Tisha terlihat jelas. Ia lalu menoleh ke arah Tisha dengan tatapan geli.
“Kau ini, seperti chihuahua.” bisik Willie.
“Apa?” sambar Tisha spontan, suaranya meninggi tanpa sadar.
Sopir dan Alia langsung menoleh ke belakang. “Ada apa, Bu?” tanya Alia polos.
Tisha tersentak. “Ah, tidak apa-apa,” jawabnya cepat.
Ia kembali menoleh ke arah Willie yang sekarang justru sibuk menahan tawa dengan bahu bergetar.
“Berani sekali Anda, menyamakan saya dengan anjing.”
Willie menyeringai. “Anjing kecil yang galak."
Tisha mencubit lengannya keras-keras. Kali ini Willie memilih diam, masih tersenyum menerima balasan istrinya.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti pelan di halaman rumah besar itu. Lampu taman menyala hangat, memantulkan bayangan tamu-tamu yang sudah lebih dulu datang.
Sebelum turun, Willie melirik Tisha sekilas. “Ingat kesepakatan kita,” bisiknya.
Tisha mengangguk. Ia meraih lengan Willie, menyelipkan tangannya dengan pas dan meyakinkan. Wajahnya tenang, senyumnya lembut, seolah semua ini berjalan alami.
Pintu mobil dibuka. Begitu mereka melangkah masuk, suasana langsung berubah.
Aina berdiri di depan, ia menyambut mereka dengan sumringah. “Akhirnya datang juga,” ujarnya hangat sambil mendekat.
Matanya berbinar terpaku pada Willie dan Tisha yang berjalan berdampingan, tampak begitu serasi.
Willie tersenyum kecil. Tisha menunduk sopan. “Maaf baru datang, Bu,” ucapnya sopan.
Ia menyerahkan sebuah kotak berbungkus rapi yang berisi satu set cangkir teh mewah. “Sedikit buah tangan. Semoga Ibu suka”
Aina langsung menerimanya, "Terima kasih, Nak,” ucapnya tulus.
Belum sempat Tisha membalas, Anton sudah mendekat dan langsung mengangkat Alia ke pelukannya. “Cucu kakek!” serunya riang.
Alia tertawa, memeluk leher kakeknya erat-erat. “Kakek, Alia kangen.”
Rumah itu mendadak terasa hidup oleh kedatangan mereka. Namun di balik kehangatan itu, suara bisik-bisik mulai muncul.
“Itu menantu barunya ya?”
“Yang dinikahi diam-diam itu?”
“Cantik juga.”
Tisha menangkap lirih suara-suara itu. Jarinya sempat menegang di lengan Willie.
Willie sadar dengan ketegangan Tisha. Ia sigap menepuk pelan dan menutup punggung tangan istrinya sebagai sebuah isyarat kecil seolah semua akan baik-baik saja.
kopi untuk mu