Alda Putri Anggara kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan tumbuh di bawah asuhan paman dan bibi yang serakah, menguasai seluruh harta warisan orang tuanya. Di rumah sendiri, Alda diperlakukan seperti pembantu, ditindas oleh sepupunya, Sinta, yang selalu iri karena kecantikan dan kepintaran Alda. Hidupnya hanya dipenuhi hinaan, kerja keras, dan kesepian hingga suatu hari kecelakaan tragis merenggut nyawanya untuk beberapa menit. Alda mati suri, namun jiwa seorang konglomerat wanita cerdas dan tangguh bernama Aurora masuk ke tubuhnya. Sejak saat itu, Alda bukan lagi gadis lemah. Ia menjadi berani, tajam, dan tak mudah diinjak.
Ketika pamannya menjodohkannya dengan Arsen pewaris perusahaan besar yang lumpuh dan berhati dingin hidup Alda berubah drastis. Bukannya tunduk, ia justru menaklukkan hati sang suami, membongkar kebusukan keluarganya, dan membalas semua ketidakadilan dengan cerdas, lucu, dan penuh kejutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Mereka akhirnya duduk di ruang tamu.
Kopi panas sudah disajikan, dan Arsenio dibiarkan bermain dengan mainannya di karpet, kadang tertawa kecil sambil melirik kakeknya yang sesekali membuat wajah lucu.
“Kenapa tiba-tiba Ayah datang? Kenapa gak kirim kabar dulu?” tanya Arsen pelan.
Ayahnya menghela napas panjang. “Karena aku takut kamu gak mau menemuiku.”
“Ayah…” suara Arsen melembut. “Aku gak pernah marah, hanya kaget waktu Ayah pergi tanpa pamit.”
Pria itu menatap anaknya lama. “Aku pergi bukan karena marah. Aku pergi karena... aku takut, Nak. Setiap sudut kota ini mengingatkanku pada ibumu. Aku pikir dengan pergi, aku bisa melupakan. Tapi ternyata… semakin jauh aku melangkah, semakin berat rasanya.”
Alda menatapnya penuh empati. “Ayah, kehilangan memang gak bisa dihapus… tapi sekarang, Ayah sudah punya tempat untuk pulang.”
Arsen menatap istrinya, matanya berkilat lembut. “Alda benar, Yah. Rumah ini selalu terbuka buat Ayah.”
Ayah Arsen tersenyum getir. “Kalian berdua… baik sekali. Aku bahkan merasa malu.”
Alda menggeleng cepat. “Ayah gak perlu malu. Kami justru senang Ayah datang.”
Mereka bertiga terdiam sejenak, hanya suara Arsenio yang terdengar, menabrak mainan mobil kecilnya sambil tertawa.
Suasana yang dulu terasa berat kini berubah hangat—perlahan tapi pasti.
----
Siang itu, mereka memutuskan tak jadi pergi ke kantor. Arsen menelepon sekretarisnya, menunda semua rapat hari itu.
“Prioritas hari ini cuma satu,” katanya dengan senyum ke arah Alda dan ayahnya. “Keluarga.”
Alda hanya tersenyum sambil menyiapkan makan siang.
Dari dapur, ia bisa mendengar suara tawa dua generasi Lin yang sedang bermain dengan Arsenio di ruang tengah.
“Lihat nih, Arseno, ini trik rahasia kakek,” kata sang kakek sambil membuat bayangan tangan berbentuk burung di dinding.
Anak kecil itu terkikik keras. “Burung! Terbang!”
Arsen ikut tertawa, “Hati-hati, nanti kakek kebablasan main sampe lupa umur.”
“Justru karena umur, aku gak mau buang waktu,” jawab ayahnya sambil tersenyum. “Dulu aku kehilangan banyak waktu sama kamu, Nak. Sekarang aku gak mau ulangi kesalahan itu.”
Alda yang mengintip dari dapur tertegun.
Hatinya hangat adegan kecil itu terasa begitu berharga, seperti melihat masa lalu yang akhirnya berdamai dengan masa kini.
---
Sore harinya, mereka duduk bertiga di teras belakang, ditemani secangkir teh dan matahari yang mulai condong ke barat.
Alda menggendong Arsenio yang sudah mengantuk, sementara Arsen dan ayahnya berbincang perlahan.
“Waktu itu… aku takut, Yah,” kata Arsen tiba-tiba. “Takut kalau aku gagal jadi suami yang baik, makanya aku gak pernah nyari Ayah. Aku pikir Ayah kecewa sama aku.”
Ayahnya menatap jauh ke langit oranye. “Aku gak pernah kecewa, Nak. Aku cuma… sedih karena gak ada yang bisa aku lindungi lagi waktu itu. Ibumu, kamu semua terlihat begitu kuat. Aku merasa gak dibutuhkan.”
“Yah…” suara Arsen melembut. “Sekarang aku butuh Ayah.”
Ayahnya menatapnya kaget. Arsen menatap balik, tulus dan tanpa beban.
“Bukan cuma aku,” lanjutnya. “Alda juga butuh sosok ayah. Dan Arseno dia butuh kakek.”
Alda menatap mereka berdua dengan mata berkaca.
Ayah Arsen menunduk, menahan haru, lalu berkata lirih, “Kalau begitu… bolehkah aku tinggal di sini beberapa waktu?”
Arsen menjawab tanpa ragu, “Tinggallah selama yang Ayah mau. Ini rumah Ayah juga.”
---
Malamnya, setelah semua tenang dan Arseno tertidur, Alda dan Arsen duduk di balkon kamar, membicarakan hari yang panjang itu.
“Aku senang Ayah datang,” kata Alda lembut. “Dia kelihatan sangat merindukanmu.”
Arsen mengangguk pelan. “Aku juga senang. Mungkin ini waktu Tuhan untuk menyembuhkan semuanya.”
Alda bersandar di bahunya. “Kadang aku pikir, setiap luka memang gak harus dilupakan, cukup dipeluk sampai gak sakit lagi.”
Arsen tersenyum, mencium ubun-ubunnya. “Dan kamu… adalah pelukan terbaik yang aku punya.”
Alda tertawa kecil. “Gombal, Mas.”
“Tapi kamu senang kan?”
“Banget,” jawab Alda tanpa ragu.
Di kamar sebelah, ayah Arsen masih belum tidur. Ia berdiri di depan jendela, menatap bulan sambil berbisik pelan, “Ibu, kamu lihat kan? Anak kita bahagia.”
Air matanya jatuh, tapi kali ini bukan karena duka.
Melainkan karena lega karena akhirnya, setelah bertahun-tahun berpisah, keluarga itu utuh kembali.
...****************...
Keesokan paginya, rumah mereka kembali hidup.
Ayah Arsen ikut menyiapkan sarapan, dan Arsenio yang sudah bangun lebih dulu berlari kecil di ruang makan sambil berteriak, “Kakek! Kakek!”
Suara tawa memenuhi rumah itu lagi.
Dan di antara semua kesibukan kecil pagi itu, Alda sempat menatap sekeliling, tersenyum dalam hati.
Dulu, rumah ini hanya tempat untuk berteduh.
Sekarang, rumah ini jadi tempat di mana cinta, luka, dan keluarga akhirnya menemukan arti yang sesungguhnya.
Sebuah rumah yang tidak lagi dibangun oleh dinding dan atap… tapi oleh kasih dan pengampunan.
---
Beberapa tahun kemudian, saat Arsenio mulai bersekolah, kehidupan mereka semakin stabil.
Varmond-Lin Corporation menjadi perusahaan besar yang dikenal karena kepemimpinannya yang manusiawi, bukan kejam seperti dulu. Arsen dan Alda berbagi peran dengan tenang: Arsen mengurus ekspansi, Alda lebih banyak di sisi sosial membuka yayasan untuk membantu perempuan korban kekerasan, sesuatu yang dulu pernah ia alami sendiri.
Suatu hari, dalam acara peresmian yayasan itu, Alda berdiri di depan panggung sambil berpidato.
“Dulu, aku percaya bahwa hidup hanya milik mereka yang kuat. Tapi sekarang aku tahu, kekuatan sejati bukan soal siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang mampu tetap mencintai bahkan setelah disakiti.”
Sorak tepuk tangan menggema. Arsen menatapnya dari barisan depan, dengan kebanggaan yang sulit disembunyikan.
Saat acara selesai, Arsen berjalan menghampirinya dan berbisik, “Kamu tahu gak, setiap kali kamu bicara kayak gitu, aku jatuh cinta lagi.”
Alda tersipu. “Hati-hati, nanti aku pikir kamu mau nambah anak.”
Arsen terkekeh. “Eh, ide bagus juga tuh.”
Alda menatapnya tajam tapi tak bisa menahan senyum. “Kamu gak akan berubah, ya?”
Arsen menggeleng dengan bangga. “Gak akan. Karena kalau aku berubah, kamu bakal bosan.”
Mereka tertawa lagi.
Malamnya, di kamar mereka yang diterangi lampu lembut, Alda menulis sesuatu di buku kecil catatan tentang hidupnya, bukan sebagai Aurora yang pernah jatuh, tapi sebagai Alda yang akhirnya bangkit.
“Untuk diriku sendiri,” tulisnya pelan, “aku sudah memaafkan masa lalu. Karena jika aku tidak jatuh, aku tidak akan belajar berdiri. Jika aku tidak kehilangan, aku tidak akan tahu cara menghargai. Dan jika aku tidak mati dulu… aku tidak akan tahu bagaimana rasanya hidup benar-benar.”
Ia menutup buku itu, menatap Arsen dan Arsenio yang sudah tertidur di sisi lain tempat tidur.
Alda tersenyum kecil, lalu mematikan lampu.
Di dalam gelap, hanya ada kedamaian, napas lembut dua orang yang ia cintai, dan bisikan kecil di hatinya:
"Terima kasih, Tuhan… karena setelah semua badai, aku akhirnya menemukan rumah."
Bersambung