Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Intelijen Dimulai
Amara baru saja menyelesaikan hari pertamanya yang melelahkan sebagai Nyonya Aldridge yang sempurna. Kursus etika yang padat telah menguras energi mentalnya, tetapi ia merasa puas karena berhasil menjalankan perannya tanpa cela. Ia telah menguasai segalanya, mulai dari etiket berbusana hingga diplomasi sosial, tanpa menunjukkan kelemahan sedikit pun di hadapan Nyonya Rina maupun Amelia.
Setelah pelatihan usai, Amara kembali ke apartemen mereka. Ia melangkah melewati ruang tengah yang sunyi, menuju tangga.
Tepat saat Amara menaiki anak tangga menuju kamar utama, Arya tiba.
Arya baru saja kembali dari pertemuan tegang dengan Zayn Wijaya. Ia terlihat sangat lelah, tetapi sorot matanya tetap tajam dan fokus. Pikirannya masih dipenuhi angka-angka dan ancaman serius dari Vanguard.
Amara berbalik dan melihat Arya. Ia berhenti di tengah tangga, menunggu Arya merespons kehadirannya.
Namun, Arya mengabaikannya. Ia berjalan lebih dulu melewati Amara dan menaiki tangga. Ia hanya melirik Amara sekilas—lirikan dingin dan cepat, tidak mengandung sapaan, pengakuan, atau emosi apa pun.
Arya memperlakukannya seolah Amara adalah perabotan yang menghalangi jalannya.
Amara merasakan kekejaman dalam pengabaian itu. Itu adalah tindakan kecil, tetapi sangat menghina. Arya ingin menegaskan bahwa bahkan setelah seharian penuh sandiwara, Amara tidak lebih dari orang asing baginya.
Amara tidak bereaksi. Ia tidak memanggilnya, tidak menghela napas, dan tidak menanyakan tentang pertemuannya dengan Ayahnya. Ia hanya berdiri diam, menunggu Arya melewatinya.
Begitu Arya melewatinya, Amara melanjutkan langkahnya.
Arya tidak menuju kamar utama mereka; ia langsung menuju kamar tamunya, tempat ia mengasingkan diri.
Di dalam kamar utama, Amara menanggalkan pakaian formalnya. Ia melihat jadwal yang baru ia dapatkan—jadwal padat yang akan mengisi setiap detiknya selama minggu-minggu mendatang.
Amara berjalan ke kamar mandi, bersiap untuk membersihkan kelelahan hari itu. Ia tahu perlakuan dingin Arya akan terus berlanjut. Perannya kini adalah menanggungnya tanpa patah, menyimpan energinya, dan menunggu saat yang tepat untuk menghidupkan kembali perburuannya.
...***...
Di kamar tamunya, Arya segera berganti pakaian menjadi kaus dan celana longgar. Ia mengambil map proyek dari meja dan berjalan ke ruang kerja kecil yang tersedia di penthouse itu. Ia harus segera mengerjakan proposal yang akan ia presentasikan bersama Zayn.
Tepat saat ia membuka map itu, ponselnya berdering. Nama Olivia terpampang di layar. Arya langsung mengangkatnya, memastikan suaranya pelan agar tidak terdengar Amara.
"Ya, halo, Liv. Ada apa?" kata Arya.
"Arya, sudah beberapa hari kamu tidak ke apartemenku. Malam ini kamu bisa menemuiku?" suara Olivia terdengar manja, tetapi tersirat sedikit tuntutan.
"Tidak. Malam ini ada pekerjaan yang harus aku selesaikan secepatnya, dan aku tidak bisa gagal dalam proyek ini," kata Arya, nadanya tegas. Kekhawatiran akan Vanguard membuatnya benar-benar fokus pada bisnis.
"Sebentar saja, atau aku yang akan ke apartemenmu," ancam Olivia, cemburu karena Arya mementingkan pekerjaannya, atau lebih buruk, mementingkan sandiwara pernikahannya.
"Tidak! Kamu gila?" kata Arya, mengecilkan suara. Ia panik memikirkan Olivia datang dan merusak segalanya.
"Kenapa? Kamu takut Amara akan memberitahukan semuanya? Kamu mengancamnya, kan?" tanya Olivia, berusaha memancing Arya.
"Sudah aku lakukan, dan sekarang dia seperti diam dan patuh. Justru kepatuhannya itu terasa mencurigakan," kata Arya, mengakui kecurigaan yang ia rasakan.
Arya berjalan menuju jendela, menjauh dari pintu kamar.
"Mencurigakan bagaimana? Dia pasti ketakutan, Arya. Ancamanmu itu pasti membuatnya gemetar," ujar Olivia, meremehkan Amara.
"Tidak, Liv. Dia tidak gemetar. Dia sempurna," kata Arya, suaranya frustrasi. "Dia menyiapkan sarapan meskipun aku membuangnya. Dia menuruti semua perintah Kakek. Dia bahkan tidak protes saat aku menyuruhnya mengganti pakaian. Dia seperti boneka yang diprogram. Aku tidak suka itu. Aku lebih suka dia melawanku."
"Apa pun itu, lupakan dia untuk malam ini. Jika kamu tidak datang, aku akan berasumsi kamu melupakan kita, Arya," desak Olivia.
Arya menghela napas panjang. Ia menutup matanya, frustrasi karena harus memilih antara cinta terlarang dan tanggung jawab yang dipaksakan.
"Aku akan mencoba besok, Liv. Setelah bertemu Zayn lagi. Aku janji. Tapi malam ini, aku harus bekerja. Jika aku gagal dalam proyek ini, Kakek akan menghukumku dan pernikahan ini akan menjadi lebih parah. Kamu tidak ingin aku terikat lebih lama, kan?" Arya mencoba menenangkan Olivia dengan logika bisnis.
Olivia terdiam sebentar, menyadari taruhan besar itu. "Baiklah. Tapi besok, kamu harus menemuiku. Aku merindukanmu."
"Aku juga merindukanmu," jawab Arya, mengakhiri panggilan.
Arya kembali ke meja kerjanya. Pikirannya tidak tenang. Ia menatap dokumen proyek, tetapi yang ada di benaknya adalah wajah Amara yang tenang dan patuh.
Kenapa dia diam? Apa yang dia rencanakan?
Arya tidak tahu bahwa kepatuhan Amara adalah senjata barunya, dan itu telah berhasil mengganggu ketenangan musuhnya.
Arya menutup map kerjanya dengan frustrasi. Meskipun Vanguard adalah ancaman bisnis, Amara kini menjadi ancaman pribadinya yang paling mengganggu. Kepatuhannya yang sempurna terasa seperti jebakan.
"Aku harus mencari tahu apa yang telah dilakukan Amara di luar sana, karena tidak mungkin dia waktu itu datang ke hotel dan menanyakan tentang kamar yang Olivia tempati. Itu cukup akurat. Tidak mungkin dia mengetahui dengan sendirinya. Pasti ada yang bergerak di belakangnya. Mungkin seorang informan. Aku harus bisa mencari tahu siapa informan itu dan mematahkannya sehingga dia tidak mempunyai siapapun lagi," kata Arya pada dirinya sendiri, suaranya dipenuhi tekad dingin.
Arya tahu Amara cerdas, tetapi ia tidak memiliki jaringan atau sumber daya untuk meretas sistem hotel secepat itu. Jelas ada pihak ketiga yang membantunya, dan Arya harus memotong jalur bantuan itu sebelum Amara mendapatkan bukti yang bisa digunakan untuk melawannya di hadapan Kakek Umar.
Arya segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang yang sangat ia percaya, kepala tim keamanan dan intelijen pribadinya, bernama Marco.
Panggilan itu dijawab dalam hitungan detik.
"Marco, saya punya tugas mendesak," kata Arya, suaranya berubah menjadi sangat profesional dan rahasia.
"Ya, Tuan Arya?"
"Saya ingin kamu segera mengawasi pergerakan Nyonya Amara. Saya perlu tahu ke mana dia pergi di luar jadwal resmi yang diberikan Nyonya Amelia. Cari tahu dengan siapa dia berkomunikasi di luar keluarga dan kantor."
"Baik, Tuan. Tapi apa target spesifiknya?" tanya Marco.
"Targetnya adalah informan. Ada seseorang yang membantunya mendapatkan informasi rahasia yang akurat. Cari tahu siapa orang itu, apa hubungannya dengan Nyonya Amara, dan bagaimana cara mereka berkomunikasi," perintah Arya. "Jangan sampai ada yang tahu. Ini harus benar-benar rahasia. Saya ingin laporan pertama di meja saya dalam 24 jam ke depan."
"Dimengerti, Tuan Arya. Kami akan bergerak sekarang," jawab Marco, mengakhiri panggilan.
Arya meletakkan ponselnya. Kini, ia tidak hanya sibuk dengan perang bisnis melawan Vanguard dan pernikahan palsu, tetapi juga dengan perang intelijen melawan istrinya sendiri.
"Mari kita lihat seberapa lama kepatuhanmu akan bertahan, Amara, setelah aku mencabut semua dukunganmu," gumam Arya, senyum dingin tersungging di bibirnya.
Arya duduk di meja kerjanya, menatap dokumen proyek Aldridge-Wijaya. Namun, pikirannya terus berputar pada Amara. Ia tahu, untuk benar-benar mematahkan perlawanan Amara, ia harus memotong akar dukungannya, yaitu informan rahasia yang ia curigai.
Mengawasi pergerakan saja tidak cukup; Arya membutuhkan data komunikasi.
"Hm..." gumam Arya.
Arya mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Marco.
[ Arya ] Bisakah kamu menyadap sebuah ponsel?
Beberapa detik kemudian, balasan dari Marco masuk.
[ Marco ] Bisa, Tuan. Siapa yang mau Anda sadap? Ini ilegal dan berisiko tinggi.
Arya mengabaikan peringatan risiko itu. Baginya, risiko kehilangan proyek atau kegagalan sandiwara lebih besar daripada risiko hukum.
[ Arya ] Ponsel Amara.
Marco membalas dengan lebih hati-hati.
[ Marco ] Dimengerti, Tuan. Saya harus memastikan teknisi mendapatkan akses fisik ke ponselnya setidaknya selama dua menit untuk memasang software pelacak dan monitoring. Kapan Nyonya Amara biasanya lengah?
Arya berpikir sejenak. Amara selalu menjaga dirinya dan ponselnya.
[ Arya ] Cari waktu yang paling tepat. Jangan sampai ada kesalahan sekecil apa pun, Marco. Jika dia tahu, atau jika ada kebocoran, kamu tahu konsekuensinya. Aku ingin semua pesan, panggilan, dan log data yang mencurigakan. Fokus pada kontak yang tidak dikenal atau yang sering dihubungi di luar jadwal normalnya.
[ Marco ] Baik, Tuan Arya. Saya akan mengerahkan tim terbaik saya. Ini akan membutuhkan waktu, tetapi kami akan pastikan Nyonya Amara tidak menyadarinya.
Arya meletakkan ponselnya, merasa sedikit tenang karena telah mengambil langkah paling ekstrem. Kini, ia hanya perlu menunggu. Waktu dan teknologi akan mengungkap kebenaran di balik kepatuhan sempurna Amara.
Arya kembali menatap map kerjanya, tetapi kini fokusnya terbagi dua: pekerjaan dan memata-matai istrinya. Ia tahu, dengan menyadap ponsel Amara, ia telah melintasi batas pribadi yang serius.
Tapi ini semua untuk melindungi rencanaku, ia mencoba membenarkan tindakannya. Jika dia tidak mencoba bermain-main dengan Kamar 82, aku tidak akan melakukan ini. Setelah aku mengamankan Amara, aku harus bisa mengamankan proyek ini. Jika proyek ini berhasil, langkah selanjutnya adalah mengamankan asetku sendiri. Dengan begitu, Kakek tidak bisa mengancamku dengan apa pun, dan warisan itu akan menjadi bonus. Aku harus bisa membangun perusahaan sendiri jauh dari Aldridge secara diam-diam, kata Arya, menatap masa depan dengan ambisi yang kejam.
Arya menyadari bahwa pernikahan ini adalah kesempatan emas untuk mendapatkan pijakan di dunia bisnis dan akhirnya melepaskan diri dari bayang-bayang Kakek Umar, tetapi untuk itu, ia harus menyingkirkan Amara.
...***...
Arya terbenam sepenuhnya dalam ambisinya di ruang kerjanya. Setelah mengirim perintah penyadapan kepada Marco, ia memaksakan diri untuk fokus pada dokumen proyek Aldridge-Wijaya. Ia bekerja hingga larut malam, ditemani hanya oleh cahaya lampu meja dan pikiran tentang bagaimana caranya mengalahkan Vanguard, dan bagaimana caranya mengendalikan Amara.
Rasa lapar akhirnya mengganggu konsentrasinya. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
Arya bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan keluar ruangan, menuju dapur. Ia memasak makanan yang sederhana untuk dirinya sendiri—sesuatu yang cepat dan mudah.
Tak lama kemudian, masakan yang ia buat pun jadi. Arya segera menatanya di atas nampan, bersama minuman, karena ia berencana kembali bekerja di ruangannya.
Arya berjalan membawa makanan dan minumannya, menuju ruang kerjanya lagi.
Tepat saat itu, Amara keluar dari kamar utama . Ia mengenakan piyama, berniat mengambil minum.
Amara melihat Arya yang baru saja keluar dari dapur di lantai dasar, membawa nampan berisi makan malamnya.
Arya berjalan menjauh dari tangga, menuju ruang kerjanya di lantai dasar, matanya lurus ke depan. Arya mengabaikan Amara sepenuhnya Ia tidak melihatnya, tidak menyapa, seolah-olah ruangan itu kosong. Ia terus berjalan, melewati tangga dan Amara yang berada di atasnya, tanpa menoleh.
Amara hanya berdiri diam, melihat suaminya yang lelah, yang memilih makan masakan sendiri. Daripada menyentuh makanan yang ia buat, dan yang lebih memilih kesendirian daripada kehadirannya.
Amara tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia membiarkan Arya berlalu, membawa kesibukan dan rahasianya sendiri. Keheningan di antara mereka adalah pengakuan. Arya tetap menganggapnya tidak ada, dan Amara bertekad untuk tetap patuh dan diam, sampai ia menemukan celah.
Amara berjalan menuju dapur. Ia mengambil segelas air, lalu kembali ke kamarnya. Ia tidak tahu suaminya sedang menyadap ponselnya, dan Arya tidak tahu bahwa kepatuhan Amara adalah bom waktu yang ia tanam sendiri.
Pagi hari telah tiba. Arya terbangun di sofa ruang kerjanya. Matanya terasa lelah, tetapi otaknya segera aktif memproses pekerjaan yang belum selesai. Ia melihat jam; ia harus segera bersiap untuk pertemuan pagi.
Arya segera merapikan dokumen-dokumen proyek yang berserakan di meja, menumpuknya menjadi satu map rapi. Ia keluar dari ruang kerja, berjalan menuju kamar tamunya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Saat ia berjalan melewati kamar utama, pintu kamar terbuka. Amara keluar.
Amara sudah siap, mengenakan setelan formal yang elegan dan tertutup, sesuai dengan citra Nyonya Aldridge yang ia pelajari kemarin. Rambutnya tertata rapi, dan wajahnya menunjukkan ketenangan tanpa emosi.
Lagi-lagi, tidak ada sapaan atau ucapan selamat pagi yang terdengar dari salah satu pihak. Hanya keheningan yang dingin dan familiar.
Amara melihat Arya dan Arya melihat Amara. Pertemuan singkat itu hanya berlangsung beberapa detik di lorong, tetapi penuh dengan ketegangan tersembunyi.
Arya hanya melirik, sekali lagi memperlakukannya seolah ia hanyalah bagian dari dekorasi apartemen. Ia tidak bertanya tentang jadwal kursus Amara, dan Amara tidak bertanya tentang pertemuan bisnis Arya. Keduanya adalah dua entitas yang berbagi ruang, tetapi tidak berbagi kehidupan.
Arya melanjutkan langkahnya tanpa bicara, masuk ke kamar tamunya.
Amara juga melanjutkan langkahnya, menuju dapur. Ia tahu, sama seperti kemarin, sarapan yang ia siapkan kemungkinan besar akan diabaikan. Namun, ia tetap akan menyiapkannya—sebagai bagian dari perannya yang sempurna.
Keheningan ini, yang seharusnya membuat Amara tertekan, justru menjadi pelindungnya. Ia bisa bergerak tanpa dicurigai, menyimpan semua rencananya di balik topeng kepatuhan ini.
...***...
Di dalam kamar tamunya, Arya selesai bersiap dengan setelan kerja. Ia keluar dari kamar dan segera melirik ponselnya. Ia mengharapkan adanya laporan awal dari Marco mengenai pengawasan dan kemungkinan penyadapan ponsel Amara.
Namun, tidak ada laporan dari Marco.
Arya mengerutkan kening karena tidak sabar. Ia kemudian menuruni tangga.
Sesampainya di meja makan, ia melihat Amara. Amara sedang menyantap sarapannya sendiri dengan tenang dan elegan—persis seperti yang diajarkan dalam kursus etika, tanpa menunjukkan emosi.
Arya hanya melirik sekilas, mengabaikan Amara dan sarapan yang disiapkan, menegaskan kembali penolakannya untuk berbagi waktu atau makanan. Tanpa bicara, Arya berjalan menuju pintu, meninggalkan apartemen.
Amara hanya menghela napasnya melihat kepergian Arya.
Ia tahu penolakan sarapan itu adalah cara Arya untuk menyakitinya dan memprovokasi reaksi, tetapi ia kini sudah kebal. Setiap napas yang ia ambil adalah pengingat bahwa ia harus kuat.
Amara menyelesaikan sarapannya dengan porsi secukupnya, tanpa tergesa-gesa. Ia mengambil jadwalnya. Hari ini, ia memiliki sesi panjang mengenai public speaking dan etika jamuan makan malam.
Ponsel, pikir Amara.
Ia mengambil ponselnya. Karena semua kegiatan resminya ada di bawah pengawasan Aldridge, ia harus menemukan cara yang cerdas untuk tetap terhubung dengan Bayu.
Amara memutuskan bahwa cara paling aman adalah dengan mengandalkan jadwalnya yang padat. Ia akan mencari celah komunikasi saat ia berpindah tempat antara satu kursus ke kursus lainnya, atau di tempat charity yang ramai.
Amara kini bergerak. Tidak terburu-buru, tidak panik, hanya fokus pada peran dan rencananya. Ia meninggalkan apartemen untuk memulai hari yang panjang, tanpa menyadari bahwa ponsel yang ia genggam kini menjadi target utama mata-mata suaminya.
Amara tiba di sebuah Training Center mewah di kawasan bisnis, tempat Nyonya Amelia mengatur kursus etika dan protokol sosial. Instrukturnya kali ini adalah seorang konsultan komunikasi terkemuka, Nyonya Rina, yang biasa melatih pejabat dan politisi.
Sesi hari itu berfokus pada cara menyampaikan pidato, menjaga postur, dan yang paling penting, mengendalikan bahasa tubuh untuk memancarkan aura kepercayaan diri dan otoritas—dua hal yang sangat dibutuhkan Nyonya Aldridge.
Amara diminta berdiri di depan ruangan. Ia memulai pidatonya dengan suara yang jelas, terukur, dan tenang.
"Hadirin sekalian, sebagai bagian dari keluarga Aldridge, saya percaya bahwa kekuatan terbesar kita bukanlah pada aset yang kita miliki, tetapi pada kemampuan kita untuk membangun kembali. Investasi yang Anda berikan hari ini, bukan hanya untuk amal, tetapi untuk fondasi masa depan—fondasi yang kokoh dan tak tergoyahkan."
Setiap kata diucapkan Amara dengan kontrol diri yang luar biasa. Ia menjaga kontak mata, tangannya bergerak minimal dan anggun. Nyonya Rina dan konsultan komunikasi itu saling pandang, terkesan. Amara terlihat alami, seolah-olah memang dilahirkan untuk peran ini.
Setelah pidato selesai, Amara membungkuk sedikit. "Luar biasa, Nyonya Aldridge," puji konsultan itu. "Kontrol emosi Anda sempurna. Anda memancarkan kehangatan, tetapi juga otoritas."
Setelah sesi yang melelahkan berakhir, Amara segera mencari celah. Ia tahu bahwa meskipun kursus diadakan di luar Kediaman Utama, ponsel utamanya mungkin diawasi atau dilacak.
Saat ia berjalan cepat melalui lobi pusat pelatihan menuju pintu keluar, Amara berpura-pura mencari kunci mobil di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia mengambil ponsel lamanya (yang tidak terdaftar sebagai ponsel utamanya) dari lapisan tersembunyi tasnya.
Ia segera mengetik pesan terenkripsi ke Bayu, memanfaatkan keramaian di lobi untuk menyamarkan gerakannya:
[ Vanya ] Perburuan ditunda, bukan dibatalkan. Kumpulkan data latar belakang Vanguard. Aku butuh tahu apa kelemahan mereka. Ini mungkin kunci untuk mengalahkan Arya.
Ia segera memasukkan kembali ponsel itu ke tempat tersembunyi.
Amara kini sadar bahwa ia harus menyerang Arya melalui bisnisnya, menggunakan informasi yang bisa memberinya leverage, bukan hanya mengandalkan emosi. Ia meninggalkan tempat kursus, siap menghadapi jadwal berikutnya, tanpa menyadari bahwa ia telah memenangkan pertempuran kecil ini, tetapi juga bahwa suaminya sudah mengerahkan mata-mata.
Tanpa Amara sadari, tim pengawasan yang dikerahkan Arya sudah bekerja di sekitar lokasi kursus. Seorang anggota tim Marco, Rama, ditugaskan untuk mengawasi taksi yang akan menjemput Amara.
Saat Amara di lobi, berpura-pura mencari sesuatu di tasnya, Rama melihat Amara mengeluarkan ponsel kecil rahasia dari kompartemen tersembunyi di dalam tasnya, mengetik pesan, dan menyimpannya kembali. Rama tidak dapat melihat isi layar, tetapi ia melihat tindakan rahasia itu.
Rama segera menghubungi Marco.
"Tuan Marco, kami punya sesuatu. Nyonya Amara baru saja menggunakan ponsel kedua yang sangat kecil. Ponsel itu sekarang ada di dalam tasnya, dan dia sudah berada di taksi menuju ke jalan tol," lapor Rama.
"Bagus! Itu pasti jalur komunikasinya," kata Marco tegang. "Rama, segera kirimkan data lokasi dan waktu pasti saat dia menggunakan ponsel itu. Tim teknis, segera lacak dan identifikasi sinyal data yang dikirimkan dari nomor baru di area itu pada menit-menit tersebut!"
...***...
Di markas, tim teknis Marco bekerja cepat. Mereka tidak menyadap ponsel Amara secara fisik, tetapi mereka berhasil mengidentifikasi dan menganalisis paket data yang dikirim dari nomor tak dikenal Amara saat ia berada di lobi.
Beberapa menit kemudian, Marco menerima laporan dari tim teknisnya.
"Tuan Marco, kami berhasil mengidentifikasi komunikasi yang keluar dari burner phone itu. Pesan itu dienkripsi, tetapi kami menemukan kata kunci utama yang diulang-ulang dalam data yang dikirim sebelum enkripsi penuh," lapor kepala teknisi.
"Apa kata kuncinya?" desak Marco.
"Vanguard. Nyonya Amara meminta informannya untuk mengumpulkan data latar belakang Vanguard," jawab teknisi itu.
Marco menyadari betapa cerdasnya Amara. Dia tidak lagi membuang waktu dengan urusan Kamar 82 yang bersifat pribadi, tetapi langsung menyerang Arya di titik bisnisnya.
Marco segera menelepon Arya.
"Tuan Arya, kami punya perkembangan penting. Nyonya Amara menghubungi informannya menggunakan ponsel kedua. Dia telah mengubah targetnya. Dia sekarang mencari informasi tentang Vanguard," lapor Marco.
Arya di kantornya menyeringai dingin. "Aku tahu itu. Kepatuhannya hanya kedok, dan dia langsung menyerang ke inti. Bagus, Marco. Ganti strategi. Fokus pada nomor yang dia hubungi dan lacak siapa pemiliknya. Aku ingin tahu siapa yang akan datang menemuinya, atau informasi apa yang akan dia terima selanjutnya. Kita akan memotong bantuan itu di saat yang paling tepat."
Arya meletakkan ponselnya, kini ia merasa lebih bersemangat. Perang intelijen ini jauh lebih menarik daripada yang ia duga.
Bersambung.....