Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Fino terduduk lemas, lututnya menghantam lantai. Air matanya jatuh deras, mengguncang tubuhnya yang rapuh.
“Kenapa bukan gue aja… kenapa harus dia…?” lirihnya, nyaris tak terdengar.
Bagas berjongkok di sampingnya, menepuk pundak Fino pelan.
“Gue tahu lo sayang sama Anara, Fin. Tapi kalau lo masuk kaya gini, itu pasti akan membuat Anara sedih. Lo harus tenang dulu.”
Kata-kata itu membuat Fino terdiam. Napasnya tersengal, tapi tatapannya tak lepas dari tubuh Anara di balik kaca.
Fino masih terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Tangannya terus mengepal di atas lutut, seakan berusaha menahan semua rasa sakit yang merobek dadanya.
Bagas menatap sahabatnya itu , lalu tak lama kemudian seorang dokter datang menghampiri mereka.
"Keluarga pasien, silahkan boleh masuk, hanya satu orang saja dan tidak boleh ada keributan." Kata dokter tersebut.
Fino langsung berdiri dan mengangguk, "Saya dokter..."
Dokter itu mengangguk, lalu memberikan isyarat pada suster untuk memberikan baju khusus sebelum memasuki ruangan ICU.
Dengan langkah perlahan, Fino memasuki ruangan. Suara mesin monitor dan aroma obat-obatan langsung menyambutnya.
Di sana, Anara terbaring kaku. Selang-selang menempel di tubuhnya, wajah pucatnya nyaris tak bergerak kecuali tarikan napas pelan yang dibantu alat.
“Anara…” suara Fino pecah begitu saja. Ia mendekat, duduk di kursi di samping ranjang, lalu menggenggam tangan Anara yang dingin.
“Ini aku, Fino… kamu denger, kan?”
Air matanya jatuh, menetes ke punggung tangan Anara. Jemarinya bergetar saat mengusap lembut tangan itu, seakan berharap sentuhan bisa memanggil jiwa yang tertidur.
“kamu harus bangun.Kita janji buat bareng-bareng keluar dari semua ini, Anara. Jangan tinggalin aku sendirian.Jadi aku mohon bangunlah.”
Fino masih menggenggam tangan Anara erat, meski tak ada sedikit pun gerakan balasan dari jemari yang pucat itu. Air matanya menetes, jatuh satu per satu di punggung tangan Anara.
Pintu ICU terbuka. Fino keluar dengan langkah tetatih. Bagas segera membantu untuk kembali keruangan nya.
"Kita harus percaya sama Anara, dia pasti bisa lewatin ini " ucap Bagas.
"Gue percaya, sangat. Anara pasti akan kembali."
Fino menatap keluar jendela, langit sore ini mengingatkan pada kejadian mengerikan itu. Fino menutup matanya, mengingatkan saat Anara melindungi dan memeluknya dengan erat.
"Semua ini terasa janggal," Ucap Fino tiba-tiba.
"Maksud Lo?"
"Saat itu, Anara seolah udah tau apa yang akan terjadi. Dia meluk gue dengan erat."
"Jangan-jangan, ini..." Bagas mencoba menebak, walaupun ragu.
"Sudah rencanakan." Ucap Fino, melanjutkan perkataan Bagas.
"Bagaimana mungkin, apa ini ulah ayah Lo?"
Fino menggeleng, walaupun di lubuk hatinya juga berkata begitu, tapi tidak ada bukti pasti.
Bagas menatap Fino lekat-lekat. “Kalau bukan bokap lo, terus siapa yang punya kuasa buat atur semua ini?”
Fino terdiam, rahangnya mengeras. Hatinya sudah tahu jawabannya, tapi lidahnya terlalu berat untuk mengucapkannya.
**
Beberapa hari kemudian, kondisi Fino mulai membaik sementara Anara tidak menunjukkan perkembangan apapun. Kondisinya masih sama seperti terkahir kali.
Saat Fino tengah menatap Anara dari balik dinding kaca itu, tiba-tiba, suara langkah kaki yang tak asing terdengar.
Fino menoleh menatap Aidar yang sudah berada disamping.
"Mengejutkan. Apa dia mengalami kecelakaan karenamu?" Tanya Aidar.
“Apa yang papah lakukan di sini?” Fino balik bertanya, suaranya menahan emosi.
“Kamu lupa siapa donatur rumah sakit ini?” Aidar tersenyum samar.
“Aku tahu,” balas Fino cepat.
“Tapi itu bukan pertanyaanku. Untuk apa papah datang kemari?”
Belum sempat Aidar menjawab, seorang perawat datang dan berkata,
"Maaf tuan, ini tagihan rumah sakit yang harus dibayar segera mungkin."
Perawat itu menyerahkan selembar kertas pada Fino.
"Dan satu lagi, pasien bernama Anara harus segera dipindahkan keruangan dengan alat-alat yang lebih memadai lagi, karena kondisinya yang tidak ada kemajuan."
“Baik, Sus. Terima kasih. Saya akan membayar secepatnya,” jawab Fino singkat.
Perawat itu mengangguk lalu pergi, meninggalkan mereka berdua.
#Fino menunduk, menatap angka di kertas itu. Tiga ratus juta… dari mana aku bisa dapat uang sebanyak ini? Tabunganku saja tak akan cukup, batinnya.
Sementara Aidar tersenyum tipis, seolah mengetahui kesulitan putranya.
"Aku bisa membantu Fino, asalkan kamu kembali dan menikahlah dengan Alendra"
Fino tak langsung menjawab, ia menarik nafas panjang lalu menghembuskan nafasnya.
“Papah tetap Papah bagiku,” ucapnya akhirnya, suaranya bergetar namun tegas.
“Tapi aku ini manusia. Aku punya pemikiran, aku punya hak untuk memilih.”
Tatapan Aidar mengeras. “Kamu berani membentak Papah?”
“Ya!” Fino membalas lantang, kedua tangannya terkepal.
“Kamu—”
“Aku mohon…” Fino memotong dengan suara berat.
“Biarkan aku bernapas. Biarkan aku memilih hidupku sendiri. Dan aku mohon… jangan sakiti siapa pun lagi.”
Fino menatap Aidar dengan mata berkaca-kaca.
"Papah boleh membenciku, menyakiti atau bahkan membunuhku, tapi jangan, jangan
Anara. Jangan menyentuh nya."