Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reuni…
Sore itu, langit mulai berwarna keemasan. Jingga melangkah keluar dari salon dengan wajah manyun, menahan rasa sebal yang menumpuk. Rambutnya sudah ditata bergelombang lembut, make-up tipis tapi elegan menonjolkan matanya, dan dress berwarna emerald green membalut tubuhnya dengan sempurna. Bahkan sepasang heels tipis yang dipinjamkan Nisa menambah kesan menawan. Namun, meski semua mata di sepanjang jalan bisa saja menoleh padanya, Jingga tetap cemberut.
“Gila, Jingga… sumpah ya, kalau aku jadi cowok, aku langsung melamar kamu di tempat,” Nisa berseru antusias sambil mengelus gaun Jingga dari samping. Matanya berbinar, jelas-jelas terpana melihat sahabatnya yang kini benar-benar terlihat seperti artis papan atas.
Jingga hanya menghela napas panjang, menatap bayangannya di kaca mobil yang terparkir. “Halah, Nis, cantik doang buat apa kalau isinya dagdigdug deg-degan gini. Aku tuh masih ogah, sumpah. Kayak mau masuk kandang singa. Eh bukan singa sih… kayak kandang buaya yang siap nyamber.”
Nisa tergelak, lalu merangkul lengannya. “Makanya aku ikut. Santai aja. Kalau ada yang macem-macem, aku seret satu-satu. Kamu tuh harus kasih lihat ke mereka, Jing. Lihat sekarang, mereka pasti nyesel pernah ngerendahin kamu.”
“Hmmm…” Jingga menunduk, memainkan clutch mungilnya. Hatinya berdebar tak karuan. Kenangan lama mendesak naik: bagaimana dulu teman-temannya mencuri buku, menyembunyikan tas, bahkan mengoyak kertas ujiannya. Bagaimana mereka menertawakan statusnya sebagai anak angkat, memanggilnya “sampah”, dan puncaknya saat ia diguyur air pel serta dilempari telur hanya karena ia juara cerdas cermat. Semua itu masih membekas.
Namun langkahnya tak bisa mundur lagi. Nisa sudah memesankan taksi online, dan kini mereka tiba di sebuah restoran mewah di pusat kota. Dari luar, bangunan itu tampak elegan dengan lampu-lampu kuning hangat yang menyinari jendela besar. Musik jazz mengalun samar dari dalam.
“Ya Allah… kayak gedung pernikahan aja. Semewah ini? Beneran reuni SMA kita atau nyasar ke gala dinner?” Jingga berseloroh, mencoba menutupi ketegangannya dengan gaya khasnya.
“Justru itu, makin pas sama penampilanmu. Sana masuk. Aku tunggu di kafe lobby ya.” Ucap Nisa, seakan tak memberi kesempatan Jingga kabur.
Begitu Jingga melangkah ke dalam, suasana langsung terasa ramai. Meja-meja panjang dihiasi taplak putih, vas bunga mawar, dan lilin kecil. Beberapa panitia reuni sibuk kesana-kemari, mengarahkan tamu yang baru datang. Musik lembut mengisi ruangan, sesekali diselingi suara gelak tawa dari kelompok yang sudah bertemu kembali setelah bertahun-tahun.
“Eh itu si Randi ya? Astaga, dulu cakep banget, sekarang botak!” terdengar suara salah satu tamu cekikikan.
“Lho, si Dona? Ya ampun, dulu ramping, sekarang kayak emak-emak pake daster.”
Suasana penuh rasa ingin tahu dan nostalgia. Orang-orang saling pangling, menebak-nebak siapa yang datang dengan penampilan berbeda dari masa sekolah.
Namun, satu nama yang mereka tunggu-tunggu belum juga muncul. “Eh, Jingga datang nggak ya? Katanya dia diundang juga.”
“Ngapain dia datang? Pasti minder lah. Orang dulu aja kampungan banget. Mana mungkin sekarang bisa nongol di tempat beginian.”
“Iya, paling kalaupun datang ya… tetep aja kelihatan miskin. Aku sih yakin hidupnya nggak bakal jauh-jauh dari nyuci piring.”
Tawa pecah di antara beberapa orang. Lidya yang duduk di salah satu meja hanya tersenyum miring mendengarnya. Ia tampak begitu menikmati obrolan itu. Riasannya sempurna, gaunnya mewah, dan beberapa teman lama sibuk memuji kecantikannya.
“Lidya masih cantik kayak dulu ya, nggak berubah sama sekali.”
“Iya, aura queen kelasnya masih kelihatan banget.”
Lidya pura-pura merendah sambil memainkan rambutnya. “Ah, biasa aja. Cuma karena rajin perawatan.” Namun, di dalam hati ia berbunga-bunga. Apalagi ketika mendengar nama Jingga disebut dengan nada merendahkan, ia makin puas.
Tapi tawa mereka mendadak terhenti ketika terdengar suara ketukan heels dari arah pintu masuk.
Tuk… tuk… tuk…
Langkah itu mantap, diiringi aroma parfum mahal yang menyebar begitu cepat. Semua kepala menoleh. Awalnya mereka mengira ada artis yang salah masuk. Hingga sosok itu semakin dekat, menyingkap wajah yang dulu begitu sering mereka olok-olok.
Jingga.
Gaun emerald green-nya berkilau di bawah lampu, membalut tubuhnya dengan elegan. Rambut bergelombang indah jatuh di bahu, bibir merah muda melukis senyum samar yang anggun. Ia berjalan dengan dagu terangkat, setiap langkahnya penuh percaya diri.
Sesaat ruangan hening.
Beberapa pria melongo, bahkan salah satu hampir menjatuhkan gelas dari tangannya. Beberapa wanita saling berbisik, wajah mereka berubah masam oleh rasa iri yang tak bisa disembunyikan.
Jingga berhenti di meja panitia, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Atas nama Jingga,” ucapnya pelan namun jelas.
Petugas panitia yang mencatat nama sampai salah menulis karena tertegun. Semua mata terpaku padanya.
“Ya ampun… itu beneran Jingga?” bisik seseorang tak percaya.
“Serius? Kok… kok bisa cantik banget gitu?”
“Dia operasi plastik kali ya…”
Lidya, yang sejak tadi percaya diri menjadi pusat perhatian, kini terdiam dengan rahang menegang. Runa di sampingnya juga tak kalah terkejut. Mereka tak pernah membayangkan Jingga bisa tampil sehebat itu.
Jingga menoleh sekilas ke arah mereka. Senyumnya melebar, kali ini dengan gaya khasnya yang jenaka. “Hai, teman-teman lama.” katanya ceria sambil lewat.
Beberapa orang tanpa sadar menyapa balik, sebagian lagi terperangah. Jingga melenggang menuju meja dengan langkah anggun, seakan panggung itu miliknya.
Tak lama, para pria mulai mendekat, menawarkan minuman, mengajak ngobrol, bahkan meminta nomor kontak. Sementara para wanita tak henti-henti membisikkan komentar penuh iri.
“Dia pasti simpanan pejabat tuh, mana mungkin bisa secantik dan sekaya ini.”
“Iya, pasti ada yang ngebiayain. Ga mungkin dari usahanya sendiri.”
Jingga hanya tersenyum tipis, seolah tak mendengar, padahal telinganya menangkap semua. Ia tahu, ini baru permulaan.
Sampai akhirnya ia melangkah ke toilet untuk merapikan make-up. Di dalam bilik, ia mendengar beberapa orang yang baru datang berbincang di depan wastafel.
“Eh, kok bisa ya Jingga berubah kayak gitu? Cantik banget. Aku sampe nggak percaya.”
“Itu semua kan berkat Lidya. Kalau nggak salah Lidya yang masukin dia kerja di perusahaan gede. Makanya gajinya besar, bisa perawatan, bisa beli baju bagus.”
“Ya ampun, Lidya baik banget ya sama dia. Padahal dulu Jingga kan pernah rebut Kevin.”
“Iya bener. Dulu katanya sampai mau tidur sama Kevin biar cowok itu ninggalin Lidya. Hahaha, pantesan.”
Tawa kecil menyusul, menusuk telinga Jingga.
Ia duduk kaku di atas toilet duduk, mengepalkan tangannya di pangkuan. Mata yang tadi berkilau kini penuh murka.
“Awas saja, Lidya…” gumamnya pelan, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. “Malam ini aku yang akan mempermalukanmu.”
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya