NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27. Saat Sheina Terjaga

Davison terbangun dengan kepala berat. Rasanya seperti baru keluar dari mimpi panjang yang samar, penuh suara, penuh bayangan. Kelopak matanya terasa kering dan panas saat ia membuka mata perlahan.

Cahaya siang menelusup lewat celah jendela, menandakan waktu sudah jauh lewat dari pagi. Tapi bukan sinar itu yang pertama kali ia sadari.

Sheina.

Gadis itu tertidur di kursi kayu dekat ranjang, kepala menyandar ke dinding, dengan satu handuk kecil tergantung di jemarinya. Di lantai, baskom air setengah penuh dibiarkan begitu saja. Handuk kecil lainnya tergeletak di atas meja samping ranjang, basah dan sudah tidak dingin lagi.

Davison menatapnya beberapa saat.

Perlahan, ia beringsut ingin duduk. Tapi tubuhnya terasa berat dan nyeri. Nafasnya tertahan.

Saat menyandar lagi ke bantal, matanya masih belum lepas dari sosok Sheina.

Dan di situlah, ingatan semalam datang lagi.

Gumaman. Nama itu. Luka lama. Suara kecil dalam mimpinya yang mulai berubah jadi nyata di kepala.

Devin.

Ayah.

Maaf.

Ia memejamkan mata erat-erat, rahangnya mengeras.

Apa Sheina dengar?

Apa semuanya keluar dari mulutnya?

Dadanya tiba-tiba sesak. Bukan karena sakit di tubuh. Tapi karena takut, takut kalau luka yang selama ini ia simpan dalam-dalam, kini sudah menyentuh seseorang yang seharusnya tidak tahu apa-apa.

Terutama Sheina.

Suara kecil dari ranjang membuat Sheina menggeliat pelan. Ia mengerjapkan mata, berusaha kembali sadar dari kantuk berat yang membekas di pelupuk. Lehernya pegal. Bahunya kaku.

Saat ia menoleh, pandangannya langsung bertemu dengan sepasang mata yang kini sudah terbuka penuh.

Davison.

Lelaki itu diam. Menatapnya. Tidak sepenuhnya kaget, tapi juga tidak tenang.

Sheina segera bangkit dari kursi. “Pak Dev, bangun? Tunggu, saya ambilin air minum, ya,” katanya buru-buru, seperti refleks, ingin bergerak biar rasa kikuknya bisa disembunyikan.

“Tunggu.” Suara Davison pelan.

Langkah Sheina berhenti. Ia berbalik, sedikit ragu.

“Dari tadi di sini?” tanya Davison, suaranya masih serak, tapi matanya mengunci milik Sheina.

Sheina menarik napas, lalu mengangguk. “Iya. Bapak panas banget dari tadi pagi, mungkin semalam juga. Saya cuma bantu jagain.”

Davison tak langsung menjawab. Matanya berpindah ke baskom, ke handuk basah, lalu ke tangan Sheina yang memegangi sisi kursi, seperti berusaha menahan tubuhnya tetap berdiri tegak.

Ia menunduk.

“Maaf,” gumamnya pelan.

Sheina mengerutkan kening. “Maaf kenapa?”

Davison tidak menjawab. Ia menggenggam ujung selimut, mencoba duduk lebih tegak tapi tubuhnya belum cukup kuat. Ekspresinya rapat seperti menahan sesuatu yang ingin keluar, tapi ia tahan.

Sheina menunduk, pura-pura membereskan baskom. Suaranya rendah, tapi terdengar jelas.

“Saya nggak dengar semuanya, kok.”

Davison mengangkat wajah, menatapnya.

Sheina menambahkan, masih sambil sibuk dengan tangan, “Tapi yang saya dengar, nggak akan saya tanya.”

Hening beberapa detik.

Sampai akhirnya Davison bersandar lagi ke bantal. Matanya menatap langit-langit. Ia menghela napas yang berat, lalu berkata sangat pelan:

“Terima kasih.”

Dan itu satu-satunya kata yang mampu ia ucapkan.

Sheina tidak membalas. Tapi ia kembali duduk di kursi yang sama. Jarak mereka tetap, tapi rasa di antara mereka sudah tak sama.

Tak banyak yang diucapkan.

Sheina meliriknya sekilas, lalu membuka suara.

“Pak Dev mau makan sesuatu nggak?”

Davison menggeleng pelan. “Nggak usah repot-repot.”

Tapi Sheina tidak menjawab. Ia langsung berdiri dari kursinya.

Davison membuka mata. “Sheina, nggak perlu.”

“Saya cuma lihat dulu ada apa di dapur,” katanya ringan, sebelum melangkah keluar dari kamar.

Di dapur, Sheina membuka kulkas. Tangannya mengambil beberapa bahan seadanya. Sebungkus kecil ayam di freezer, seikat daun bawang di rak, dan jamur kuping yang masih tersisa di plastik bening. Ia mengisi panci dengan air, memanaskan kaldu ayam, dan mulai memotong daun bawang kecil-kecil.

Tangannya cekatan, tapi ada kelembutan dalam setiap gerakan. Ia mencincang ayam hingga halus, lalu memasukkannya ke dalam panci saat air mulai mendidih. Wangi kaldu yang perlahan menyebar memenuhi ruang dapur membuat suasana jadi terasa lebih tenang.

Saat beras mulai larut menjadi bubur, Sheina menambahkan irisan jamur dan daun bawang terakhir. Ia aduk pelan, memastikan rasanya cukup. Hangat. Lembut. Nyaman.

Semangkuk bubur ia letakkan di atas nampan kecil. Ia tambahkan sendok dan serbet bersih, lalu membawanya kembali ke kamar.

Saat ia masuk, Davison masih dalam posisi yang sama. Matanya terpejam, tapi napasnya lebih teratur. Saat mencium aroma bubur, kelopak matanya terbuka pelan.

“Saya bikin bubur. Nggak terlalu asin. Biar gampang makannya.”

Davison menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih.”

Sheina menarik kursi lebih dekat, meletakkan nampan di meja kecil samping ranjang. Ia tidak bicara banyak. Hanya duduk di situ, menunggu, kalau-kalau Davison butuh bantuan.

Dan di antara aroma bubur yang mengepul dan suara sendok menyentuh mangkuk, ada ketenangan yang samar-samar tumbuh.

Tenang. Pelan. Tapi terasa.

Davison makan perlahan. Gerakannya hati-hati, seolah tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih dari gemetar yang tadi mengguncangnya. Sheina tidak bicara apa-apa. Ia hanya duduk, memandangi lantai, sesekali melirik ke arah gelas minum dan memastikan air putihnya cukup.

Setengah mangkuk bubur habis.

Davison meletakkan sendoknya pelan. “Enak,” katanya pendek.

Sheina mengangkat wajah. “Baguslah kalau enak. Kalau Pak Dev masih laper, saya bisa ambil lagi.”

Davison menggeleng. “Cukup. Perut saya juga belum terlalu kuat.”

Sheina mengangguk, lalu berdiri mengambil mangkuk kosong dan nampan.

Saat ia berbalik, suara Davison terdengar lagi. “kamu dari pagi di sini?”

Sheina menoleh. “Iya, saya di sini dari tadi pagi.”

Davison menatapnya. “Berarti kamu belum makan?”

Sheina mengangkat bahu. “Tadi sarapan, kok.”

Jawabannya ringan. Tapi tatapan Davison tidak berubah.

“Kalau saya bilang kamu nggak perlu ngelakuin ini semua, kamu tetap bakal lakuin ya?” tanyanya tiba-tiba, nadanya pelan tapi seperti sungguh ingin tahu.

Sheina tidak langsung jawab. Ia memandangi mangkuk di tangannya, lalu berkata lirih, “Kalau saya bisa bantu, ya saya bantu.”

Diam lagi. Tapi kali ini lebih sunyi. Lebih dalam.

Davison bersandar ke bantal, menatap langit-langit kamar. “Saya udah lama nggak ngerasa ada orang di sini,” katanya pelan. “Bukan cuma fisiknya. Tapi beneran ada.”

Sheina tidak menimpali. Tapi hatinya terasa mengerut pelan.

Davison menoleh ke arahnya. Pandangannya tenang, tapi ada sorot asing yang sulit ditebak.

“Makasih, ya,” katanya lagi. “Beneran.”

Sheina tersenyum kecil. “Sama-sama.”

Setelah makan, Sheina berdiri, mengambil mangkuk kosong dari tangan Davison.

“Tunggu,” kata Davison. “Biar saya aja yang beresin.”

Sheina menggeleng. “Bapak sakit. Istirahat.”

“Saya masih bisa—”

“Kalau masih bisa, tadi nggak tidur demam sampe ngigau,” potong Sheina, nada suaranya datar tapi jelas.

Ia membalik badan, siap melangkah keluar.

“Sheina,” panggil Davison tiba-tiba.

Langkahnya terhenti. Ia menoleh.

Davison menatapnya, lama. Lalu pelan-pelan berkata, "Rambut kamu sangat cantik kalau terurai kayak gitu.”

Sheina terdiam seolah menuntut kejelasan.

"Kamu terlihat cantik, Sheina."

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!