Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Dianggap
Hotel Bintang Biru, sebuah hotel bintang 5 yang baru rampung dua tahun lalu, berlokasi di sisi timur Jakarta dekat dengan area resor, menempel di tepi sungai. Seluruh bangunan menampilkan palet warna yang menyegarkan dan anggun, dengan desain khas arsitektur kontemporer Bali yang kental dan sentimental, membuat banyak pebisnis kelas atas senang datang ke sini untuk bernegosiasi.
Setelah keluar dari mobil, Nayla berjalan ke sisi Revan. Ia mengaitkan lengannya ke lengan Revan, menciptakan kesan seperti burung kecil yang bahagia dan bergantung. Ia berkata datar, “Ayo masuk.”
Revan tersenyum, “Siapa yang akan bertingkah sepertimu? Kalau mau orang lain menganggap hubungan kita intim, setidaknya kamu harus tersenyum. Dengan ekspresi sedingin gunung es begitu, orang-orang akan mengira kamu wanita pendendam.”
“Kamu itu yang pendendam!” Nayla mengerutkan kening dengan kesal, pada akhirnya tetap tidak bisa memaksakan senyum. Sejujurnya, bahkan menggandeng lengan Revan saja sudah merupakan tantangan besar baginya. Nayla menggelengkan kepala, “Begini saja tidak apa-apa, selama kita tidak menunjukkan celah, tidak ada masalah.”
Revan berpikir dalam hati, ’tidak ada yang akan percaya itu,’ tapi enggan mengatakannya. Karena istri CEO yang polos ini ingin berakting, ia akan menemaninya dalam sandiwara ini.
Di jalur masuk hotel, kedua sisi dihiasi pilar-pilar bergaya Yunani kuno dan patung-patung dewi. Setelah memasuki hotel, sisi-sisinya justru dipenuhi berbagai lukisan-lukisan abstrak seniman kontemporer Indonesia dengan beragam pemandangan.
Dekorasi yang sangat megah, menciptakan perpaduan modis namun klasik, membuat seluruh Hotel Bintang Biru dipenuhi aura kehormatan. Bahkan para tamu yang datang dan pergi berpakaian rapi sempurna, dengan ekspresi angkuh di wajah mereka.
“Aku tidak suka lukisan abstrak,” gerutu Revan, “Aku selalu merasa, daripada pakai lukisan, kenapa tidak pakai foto saja, lebih jelas.”
Sambil menggandeng lengan Revan, Nayla yang perlahan menikmati karya seni di lorong melirik Revan dengan jijik, “Kalau kamu tidak punya apresiasi seni diam saja, tidak ada yang akan menganggapmu bisu.”
“Benar kan? Kalau tidak, kenapa juga aku jualan sate,” Revan memasang ekspresi puas.
Nayla memutar mata padanya, dan berbisik, “Ingat, nanti kalau sudah masuk, kalau aku tidak memberi isyarat untuk bicara, kamu jangan bicara.”
“Siap laksanakan, Bu Nayla,” Revan tak bisa untuk menahan senyum, lalu mengangguk.
Dibimbing oleh dua pramusaji berbusana rapi, mereka berjalan menuju sebuah bilik pribadi yang menghadap danau. Sambil mengangkat kepala, Revan menyadari bahwa nama bilik pribadi itu ternyata Rinjani, sebuah nama yang berbau kearifan lokal.
Saat itu, pintu kayu putih susu yang dihias dengan indah terbuka. Seorang pria mengenakan setelan hitam dari desainer ternama masuk. Pria ini memiliki rambut keriting, janggut yang kasar, dan senyum sederhana. Sambil memberi isyarat silakan masuk dengan tangannya, ia berkata, “Selamat datang Ibu Nayla, Tuan Muda kami sudah menunggu.”
Jelas sekali pria itu mengecualikan Revan yang menggandeng tangan Nayla dari sambutannya, dan bahkan tidak meliriknya sama sekali.
Dengan acuh tak acuh Nayla mengangguk, sambil membimbing Revan masuk ke ruang pribadi yang luas. Aroma Lavender yang tersebar di mana-mana, cukup untuk menyegarkan pikiran.
“Nayla, akhirnya saya bisa bertemu dengan Anda,” sebuah suara magnetis keluar dari sofa. Sang pembicara mengenakan kemeja biru, rambut pendek rapi, dan wajah tampan bersih. Ia memiliki aura kehormatan langka dari dalam ke luar, temperamen semacam ini tidak dapat dihasilkan oleh keluarga biasa.
Tanpa ekspresi, Nayla mengangguk, “Bapak Herman, saya jadi merepotkan Anda.”
Menghadapi ketidakpedulian dingin Nayla, Herman Susanto bahkan tidak gentar. Tetap mempertahankan penampilan pria dewasa, ia tersenyum lebar. “Saya sudah mengundang beberapa kali, dan cukup langka Anda bisa meluangkan waktu. Ayah Anda sudah berbicara kepada saya cukup lama tentang itu, mengatakan betapa sibuknya Anda dalam bekerja. Sejujurnya saya tidak keberatan, karena Anda telah bersedia datang dan makan malam bersama saya, itu saja sudah membuat saya merasa puas.”
Sulit membayangkan bahwa seorang CEO sebuah perusahaan besar, yang juga pewaris tertua dari salah satu dari 5 keluarga besar terkemuka di Jakarta, akan menyambut seorang wanita dengan begitu banyak kasih sayang. ’Datang dan makan malam bersama saya saja sudah membuat saya merasa puas.’ Kata-kata ini, efek seperti apa yang akan mereka timbulkan? Tidak diketahui bagaimana wanita lain akan bereaksi, tetapi Nayla tidak terpengaruh, dan dengan susah payah, hanya mengucapkan beberapa kata, “Anda terlalu baik.”
Herman pun tidak merasa ada yang salah, saat secara pribadi menarik kursi dan mengundangnya, “Mari, silakan duduk Nayla.”
Dari awal hingga akhir, seolah-olah Herman dan pelayannya tidak melihat Nayla menggandeng tangan seorang pria, seolah pria itu tidak ada sama sekali, mirip udara tipis.
Nayla merasa telah meremehkan kecerdasan Herman, cara ia menanganinya adalah dengan mengabaikan Revan. Sepertinya, ia sudah menyelidiki latar belakang Revan dengan seksama. Siapa yang akan percaya seorang CEO perusahaan besar akan menikahi seorang penjual sate yang sebelumnya tidak dikenal? Tampaknya Herman sudah lama mengetahui rencana pernikahan palsu Nayla.
Nayla tidak punya pilihan selain melepaskan tangan Revan, dan duduk di kursi yang sudah disiapkan. Revan tidak keberatan dengan itu, karena Ia pun mencari kursi untuk duduk di samping Nayla.
Tepat pada saat itu, seorang pria berwajah polos dan tersenyum muncul tepat di depan Revan dan dengan satu gerakan, ia mendorong kursi itu kembali. Sambil tetap terkekeh, ia berkata, “Saya tidak kenal Anda, Anda siapa Tuan? Tuan Muda saya hanya mengundang Ibu Nayla ke pertemuan ini.”
Tidak menunggu Revan atau Nayla merespons, Herman dengan wajah penuh senyum berkata, “Kribo, kamu tidak boleh kasar begitu. Saya yakin orang ini pasti semacam abangnya Nayla. Kalau tidak, bagaimana mungkin mereka tiba bersama dengan begitu akrab?”
Abang? Revan sedikit terkejut dengan kemampuan akting pasangan majikan dan pelayan ini, dan tersenyum, “Wah Luar biasa, kalian semua tahu rupanya. Kalau Naylaku sayang, sering memanggil saya abang di tempat tidur.”
“…”
Hening! Seolah-olah semua orang lupa untuk bernapas.
Bukan hanya pasangan Herman dan Kribo yang telah mencemooh Revan, Nayla pun tersedak setelah mendengar kata-kata Revan yang tiba-tiba. Ia membelalakkan matanya, dan terlihat seolah ingin mencekik Revan sampai mati. ’Bajingan ini! Beraninya dia mengucapkan kata-kata seperti itu!!! Meskipun kata-kata ini dimaksudkan untuk membalas provokasi Herman dan Kribo, tapi ini terlalu… terlalu…’
Setelah mendengar kata-kata aneh itu, Nayla kembali teringat kejadian beberapa hari yang lalu antara dirinya dan Revan. Pipinya memerah, terlihat manis dan mengundang selera.
Sementara Herman, melihat Nayla tiba-tiba menunjukkan ekspresi malu-malu seperti seorang gadis, ia awalnya terpikat oleh perubahan mendadaknya. Namun setelah berpikir lagi, Nayla merasa malu karena kata-kata pria itu, hatinya menjadi dingin dan bertanya-tanya dalam hati, ’Apakah hubungan mereka benar-benar tidak sesederhana itu!?’
Herman yang raut wajahnya berubah jelek dan pucat, tertawa dengan susah payah, “Tuan ini pandai sekali bercanda. Karena Anda sudah datang, Anda juga adalah teman. Kribo, kamu tidak boleh bercanda dengan Tuan ini. Semuanya, silakan duduk kembali.”
Revan tidak bisa menahan diri untuk menilai Herman sedikit lebih tinggi, tampaknya dia bukan pria konglomerat tanpa otak, dia bahkan tahu bagaimana menahan diri.
Nayla juga layak disebut pebisnis wanita yang sukses. Meskipun kata-kata itu membuatnya kesal, ia terus-menerus mengingat tujuan utamanya datang ke sini, dan dengan cepat menenangkan hatinya. Ia kemudian berkata kepada Herman, “Bapak Herman, karena masih awal, mari kita bahas dulu tentang Pameran Teknologi.”
“Ya, ya,” Herman tidak lagi memperhatikan Revan, dan dengan cepat kembali ke ekspresi pria yang anggun. Ia tersenyum, “Apa pun yang Nayla katakan akan disepakati. Hari ini, tuan rumah akan mengikuti keinginan tamu.”