Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Masa Lalu Pilihan Mertua
Senja sudah berganti malam ketika Diva tiba di rumah.
Langkahnya pelan, membawa tubuh yang lelah namun hati yang hangat.
Begitu masuk ke dalam, aroma teh yang menenangkan segera menyambutnya kak Dira sudah menyiapkan segelas untuknya di meja kecil ruang tamu.
Diva meletakkan tasnya, lalu duduk di sofa.
Di sekelilingnya, rumah terasa begitu tenang.
Tidak ada suara pertengkaran, tidak ada perintah atau keluhan, hanya kedamaian yang sederhana.
Ia menyeruput teh hangat perlahan, merasakan setiap tegukan seperti menenangkan seluruh raganya.
Sambil memejamkan mata sejenak, Diva menarik napas panjang.
Hari ini berat, iya.
Tapi ada rasa syukur yang memenuhi dadanya ia berhasil melewati semuanya, satu langkah demi satu langkah.
Malam itu, setelah mandi dan berganti pakaian, Diva duduk di meja kecil di dekat jendela.
Ia menulis di buku catatannya:
"Hari ini aku kembali menemukan diriku. Lelah, iya. Tapi aku kuat. Terima kasih Tuhan untuk setiap kekuatan yang Kau berikan."
Setelah selesai, Diva menutup buku itu, menatap langit malam dari balik kaca.
Bintang-bintang berkelip redup di antara pekat langit.
Dalam hatinya, Diva berjanji: "Aku akan terus berjalan. Untuk diriku sendiri. Untuk hidupku yang baru."
Perlahan ia berbaring di tempat tidur, menarik selimut, dan membiarkan dirinya terlelap dalam ketenangan malam.
Cahaya matahari pagi mengintip malu-malu dari celah tirai jendela kamar Diva.
Udara terasa sejuk, semerbak aroma embun pagi memenuhi ruangan.
Diva perlahan membuka mata, tubuhnya terasa lebih ringan, hatinya pun lebih lapang.
Tak ingin melewatkan pagi yang damai ini, Diva segera bangun, merapikan tempat tidurnya, lalu berjalan ke dapur.
Ia membuat secangkir kopi hangat, lalu duduk di teras kecil rumah, membiarkan dirinya dibelai angin pagi.
Burung-burung bernyanyi riang di kejauhan, seolah ikut merayakan semangat baru dalam dirinya.
Diva menatap langit biru yang jernih hari ini terasa berbeda.
Ada energi yang mengalir lembut dalam dirinya, rasa syukur, dan semangat untuk melangkah lebih jauh.
Pikirannya dipenuhi rencana-rencana kecil: bekerja di toko, memperluas usaha, dan membangun hidup yang benar-benar ia pilih sendiri.
Sambil menikmati kopinya, Diva tersenyum pada dirinya sendiri.
Hari ini bukan sekadar hari baru hari ini adalah awal dari perjalanan hidup yang lebih berarti.
Dengan hati yang penuh keberanian, Diva membisikkan dalam hatinya:
"Aku siap. Untuk hari ini, untuk masa depanku."
Pagi itu di rumah Arman, suasana terasa panas meski matahari baru saja naik.
Bu Susan sudah mulai mengomel sejak ayam berkokok, suaranya memenuhi setiap sudut rumah.
Wajahnya penuh amarah, langkahnya menghentak-hentak lantai.
"Dasar menantu gak tau diuntung! Disuruh sedikit aja banyak alasan!" teriak Bu Susan dari dapur, sementara piring-piring terdengar beradu keras.
Di ruang tengah, Arman duduk di sofa dengan kepala tertunduk, memijat pelipisnya yang berdenyut sakit.
Pikirannya kusut antara ibu yang marah-marah dan Raya yang kini sudah sulit diatur.
Belum lagi, terngiang di kepalanya keinginan Raya semalam semua gajinya harus diserahkan penuh.
Arman menarik napas panjang, merasa seolah terjebak dalam lingkaran masalah yang tak berujung.
Bayangan ketakutan muncul bagaimana kalau ibunya sampai tahu? Pasti rumah ini akan berubah menjadi medan perang yang sesungguhnya.
Di sisi lain, Raya terlihat santai di kamarnya, seakan tak peduli dengan omelan yang menggema.
Arman semakin tertekan. Ia merasakan hidupnya perlahan terjepit antara ibu, istri, dan beban tanggung jawab yang kian berat.
Pagi itu, rumah mereka bukannya diselimuti kedamaian, melainkan penuh ketegangan yang menggantung di udara, menanti meledak kapan saja.
Setelah Arman berangkat kerja, rumah itu kembali sunyi, namun suasananya tetap terasa berat.
Bu Susan masih di dapur, terlihat sibuk mengurus pekerjaan rumah, meski wajahnya tampak muram.
Ia sesekali melirik ke arah ruang tamu, seakan berharap Arman kembali dan memberi penjelasan.
Namun tak ada tanda-tanda bahwa anaknya akan kembali dalam waktu dekat.
Bu Susan akhirnya menghela napas panjang, kemudian berjalan menuju ruang tengah, duduk di kursi sambil menatap kosong ke luar jendela.
Di luar, sinar matahari mulai menyinari halaman rumah, tetapi sinar itu tak mampu mengusir bayangan kekesalan yang terus membayanginya.
"Anak muda sekarang... gak tahu diuntung. Sudah dapat suami baik, malah bikin ribut. Belum lagi si wanita itu," gumamnya lirih, menyebut nama Raya dengan nada kesal.
Di kamar, Raya tampak tenang, memulai harinya tanpa beban.
Ia menghidupkan ponselnya, menyelidiki beberapa hal tentang pekerjaanya merencanakan apa yang harus dilakukan siang nanti.
Raya sama sekali tidak mempedulikan amarah ibu mertuanya, yang kini sepertinya hanya menjadi suara latar di rumah yang kosong.
Ia merasa lelah dengan semua drama itu, dan seakan ingin menikmati ketenangan sejenak.
"Sudah lah, biar mereka ribut," bisiknya dalam hati.
Namun, dalam diam, Arman yang sudah pergi terasa masih mengganggu pikirannya.
Tak ada satupun yang bisa membuatnya merasa benar-benar puas. Bahkan dengan semua gaji Arman yang kini dikuasainya, ia tetap merasa ada yang kurang.
Rasa cemas dan ketidakpastian menyelubungi dirinya apakah keputusan yang diambilnya benar atau malah membawa masalah lebih besar lagi?
Namun pagi itu, meski ketegangan masih ada, Raya lebih memilih untuk menikmati hari tanpa memikirkan lebih dalam tentang peran yang terus bergulir dalam hidupnya.
Seperti biasa, ia fokus pada tujuannya sendiri mengatur hidup, dan mungkin, merencanakan langkah berikutnya.
Pagi itu, sambil duduk di kamarnya, Raya mulai memikirkan rencananya dengan serius.
Ia tahu, perlahan-lahan, ia harus membuat Bu Susan menyerah, tanpa perlu ribut besar-besaran.
"Aku gak perlu teriak-teriak kayak dia," batin Raya sambil menatap ke luar jendela.
"Cukup aku bikin dia lelah sendiri. Biar dia sadar, aku bukan pelayan di rumah ini."
Raya mulai menyusun strateginya.
Pertama, ia memutuskan untuk tidak lagi menanggapi setiap omelan Bu Susan. Semakin ibu mertuanya marah, Raya akan tetap diam atau hanya menjawab seperlunya.
Kedua, semua pekerjaan rumah akan ia kerjakan sebatas untuk dirinya dan Arman saja.
Untuk urusan lain mencuci baju Bu Susan, menyiapkan makanannya, membersihkan kamarnya biarlah Bu Susan yang mengurus dirinya sendiri.
"Kalau dia mau makan, ya dia masak sendiri," pikir Raya dingin.
"Kalau mau rumah bersih, ya bersihin sendiri. Aku bukan pembantu."
Raya juga sudah punya rencana ketiga ia akan memperkuat cengkeramannya pada Arman.
Setiap bulan, ia harus memastikan semua penghasilan Arman masuk ke tangannya.
Dengan begitu, lambat laun, kekuatan ekonomi di rumah itu ada di dirinya, bukan lagi di Bu Susan.
Raya tahu ini butuh kesabaran.
Tidak bisa frontal.
Ia harus main halus, membuat Bu Susan merasa kehilangan kendali secara perlahan.
Membiarkan Bu Susan merasakan sendiri betapa kosong dan sulitnya hidup tanpa menantu yang bisa disuruh seenaknya.
"Biar dia tahu rasa," gumam Raya sambil tersenyum kecil.
Matanya tampak berbinar, seolah sudah membayangkan hari ketika Bu Susan benar-benar menyerah dan tidak lagi berani mengaturnya.
Hari ini, pikir Raya, adalah awal dari babak baru.
Pagi Hari, Setelah Arman Berangkat Kerja
Raya bangun seperti biasa, namun tidak seperti biasanya ia akan langsung terjun ke dapur atau menyapu rumah. Hari ini, ia memutuskan untuk memulai dengan sedikit pembangkangan.
Membuka tirai kamar, menatap matahari yang masuk melalui jendela.
“Hari ini harus dimulai dengan tenang. Tidak ada yang perlu buru-buru.”
Ia mendengarkan suara langkah Bu Susan di luar, diiringi dengan suara omelan yang sudah bisa ditebak.
“Raya! Rumah ini kotor sekali, nggak ada yang bersihin! Kamu itu menantu nggak becus, ya?”
Raya menghela napas, lalu dengan tenang keluar dari kamar dan menghampiri Bu Susan, yang sudah berdiri di tengah ruang tamu.
“Ibu, saya sudah bilang, saya cuma akan urus apa yang ada di sini saya dan Arman. Kalau ibu butuh bantuan, ya ibu yang urus sendiri. Saya tidak bisa terus-terusan jadi pembantu.”
“Kamu ini berani sekali! Sejak kapan menantu boleh bicara begitu ke mertuanya?”
“Sejak sekarang, Bu. Saya sudah nggak mau terus-terusan diatur-atur. Kalau ibu mau hidup lebih tenang, saya juga butuh lebih banyak ruang. Saya akan bantu apa yang perlu, tapi saya juga punya hak untuk hidup nyaman.”
“Kamu nggak tahu diri! Ini rumah suamimu, kamu harus menghormati saya!”
“Saya menghormati ibu sebagai ibu Arman, Bu. Tapi jangan harap saya akan terus-terusan begini. Jangan salah, ibu yang buat suasana rumah jadi panas, bukan saya.”
Raya kemudian melanjutkan harinya dengan santai, menyusun rencana selanjutnya. Ia tahu, Bu Susan akan marah besar, tapi ia sudah siap. Ia juga tidak takut jika Bu Susan terus berusaha menguasainya.
Lalu Raya duduk di meja makan
“Biar dia lihat, kalau saya nggak bisa terus dikuasai begitu saja. Semua akan berubah, sedikit demi sedikit.”
Siang Hari, Ketika Bu Susan Mulai Merasa Kecewa
Siang itu, Bu Susan mencoba meminta Raya untuk menyiapkan makan siang. Namun, Raya tetap diam dan memilih untuk tidak memenuhi permintaannya.
Bu Susan dengan nada tinggi, berjalan mendekat.
“Raya! Kamu dengar nggak? Ibu lapar, masak untuk saya dong!”
Dengan santainya Raya, tidak berpaling
“Ibu bisa masak sendiri. Saya nggak mau terus jadi pembantu ibu. Saya sudah cukup mengurus diri saya dan Arman.”
Wajah bu Susan mulai memerah menahan emosi.
“Kamu berani menentang saya? Kalau bukan karena Arman, saya nggak akan terima kamu jadi menantu saya!”
Raya menatap Bu Susan dengan tatapan tajam
“Saya juga nggak butuh pujian dari ibu. Cukup saya dan Arman saja yang bahagia. Kalau ibu merasa kesulitan, ibu harus bisa mandiri. Saya bukan orang yang harus terus disuruh.”
Bu Susan pun terdiam, mulai merasa kekalahan
“Kamu... kamu memang kurang ajar!”
Raya hanya tersenyum tipis dan berjalan menuju kamar. Ia tahu, meskipun Bu Susan marah besar, ia mulai merasa frustrasi karena Raya tidak seperti Diva yang selalu menurut.
Sore Hari, Rencana Baru
Setelah pertemuan dengan Arman yang berjalan datar, Raya kembali ke kamar dan mulai menyusun langkah berikutnya. Ia memutuskan untuk mulai memperkuat posisi finansialnya, agar tidak lagi tergantung pada siapapun, terutama Bu Susan.
Raya duduk di meja rias,sambil memeriksa saldo rekening.
“Ini baru langkah pertama. Wanita tua itu tidak tahu siapa saya yang sebenarnya. Semua akan berjalan sesuai rencana.”
Dengan langkah tenang dan penuh perhitungan, Raya tahu ia sedang memainkan permainan yang lebih besar. Ia tidak akan kalah oleh Bu Susan, apalagi jika dia bisa memegang kendali ekonomi rumah ini.
lanjut author..💪💪