Selama 4 tahun lamanya berumah tangga, tak sedikit pun Naya mengecap keadilan.
Hidup satu atap dengan mertua begitu menyesakkan dada Naya, dia di tuntut sempurna hanya karena dia belum bisa memberikan keturunan. Di sepelekan, di olok-olok oleh mertua dan juga iparnya. Sang suami cuek dengan keluh kesahnya, bahkan dengan teganya ia menikah kembali tanpa meminta izin dari Naya selaku istri pertama.
Daripada di madu, Naya lebih baik mengajukan gugatan perceraian. siapa sangka setelah ketuk palu, dirinya ternyata sudah berbadan dua.
Bagaimana kehidupan yang Naya jalani setelah bercerai, akankah dia kembali pada mantan suaminya demi sang buah hati?
"Jangan sentuh anakku! Berani menggapainya itu sama saja dengan mempertaruhkan nyawa." Naya Suci Ramadhani.
Woowww... bagaimana kah karakter Naya? apakah dia lemah lembut? atau justru dia adalah sosok perempuan yang tangguh.
Yuk, simak ceritanya jangan sampai ketinggalan 👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seperti boneka
Bik Jumi turun di sekitaran taman, ia hanya memegang uang untuk ongkos saja karena lupa membawa dompetnya saking buru-burunya.
"Sshhh, perutku perih sekali." Ringis Bik Jumi memegangi perutnya yang terasa di lilit.
Bik Jumi berjalan membungkuk, tangannya memegang erat perutnya yang terasa perih. Tidak ada tempat untuk Bik Jumi berlari. Kerabat, keluarga maupun teman ia tak punya sama sekali, hidupnya hanya sebatang kara dan anak yang sangat amat ia kasihi dan sayangi pun sudah tiada. Karina sudah Bik Jumi anggap sebagai anaknya sendiri, ketika keadilan tidak di dapatkan oleh Karina, saat itu juga Bik Jumi berjanji di sisa hidupnya akan memperjuangkan keadilan itu sendiri.
Banyak manusia berlalu lalang, entah itu yang berjalan ataupun duduk di kendaraan namun, tak ada satu pun yang melihat maupun menghampiri Bik Jumi yang kesakitan.
"Ya Tuhan, tolong ini sakit sekali." Lirih Bik Jumi. Keringat dingin mengucur di dahinya, rasanya semakin perih.
Disaat rasa sakit semakin menusuk perutnya, sebuah motor berhenti di hadapannya. Pemilik motor tersebut berjongkok menghampiri Bik Jumi. Kepala Bik Jumi mendongak menatap wanita cantik bersama anak kecil yanga da di dalam gendongannya, tatapannya lembut dan terlihat baik.
"Bu, perutnya sakit ya?" Tanya Naya seraya mengulurkan tangannya mengusap dahi yang basah oleh keringat.
"Sshhh, i-iya." Ringis Bik Jumi menjawab pertanyaan Naya.
"Pasti asam lambungnya lagi naik. Ibu rumahnya dimana? Nanti aku antar ke klinik ya, biar pulangnya aku anter." Tebak Naya. Tak lupa Naya juga menanyakan alamat Bik Jumi.
"Saya gak punya keluarga, saya kabur dari rumah majikan saya dan gak punya tempat tinggal. Aakkhhh... T-tolong, perutku.. Aahhh..." Bik Jumi menjawab di sela rasa sakitnya tapi, ia sudah tak sanggup lagi sampai wajahnya semakin memucat.
Naya mengambil ponselnya meminta bantuan seseorang, ia tidak tega melihat Bik Jumi yang semakin kesakitan dan pastinya butuh perawatan. Tidak mungkin Naya membawa Bik Jumi menggunakan motornya dalam keadaan seperti ini, untuk itu Naya menghubungi orang yang sekiranya bisa membantunya dan memiliki mobil yang akan di gunakan untuk membawa Bik Jumi.
Selang 15 menit.
Sebuah mobil putih berhenti tepat di mana Naya berada, seorang pria membawa Bik Jumi dan meletakkannya di kursi belakang di dampingi seorang perempuan. Naya mengikuti dari belakang, ia sungguh khawatir dengan Bik Jumi terlebih wanita tua itu mengatakan kalau ia tak punya siapapun.
*****
Di tempat lain.
Naufal mengurung diri di apartemennya, ia masih teringat dengan kata-kata yang di ucapkan oleh Naya padanya terkait perjodohannya dengan Mischa. Hati Naufal sangat sakit, ia tak pernah mencintai wanita manapun selain Naya dan kenyataan tak selalu berpihak padanya.
"Apa yang harus gue lakuin, Nay? Apa loe gak liat sama sekali seberapa besar cinta gue, dulu gue udah ngalah sama Sendi dan sekarang loe udah lepas dari dia. Harus sampai kapan gue ngalah terus? Liat loe sama orang lain itu sama aja gue hidup dengan sakit yang berkepanjangan." Gumam Naufal.
Berulang kali ibunya menelpon dan memintanya untuk pulang, tapi Naufal sama sekali tak menghiraukannya dan lebih memilih untuk tetap menyendiri.
"AAAARRRGGGHHH!!!" Teriak Naufal frustasi. Air matanya berjatuhan, tangannya menjambak rambutnya sendiri.
Pyaaarrrr.....
Naufal tak bisa mengendalikan emosinya, ia meninju cermin kaca sampai serpihannya jatuh berserakan di lantai. Darah segar mengalir dan mulai tercium bau amis, Naufal sendiri seolah tak merasakan sakit sedikitpun. Tangannya kembali meninju tembok, pikirannya kacau dan merasa takdir selalu tak adil padanya.
Bertahun-tahun memendam, dikala ada kesempatan justru hambatannya semakin besar.
Naufal merasa hancur karena ia seperti di jadikan boneka oleh orangtuanya, menjadi anak tunggal yang selalu di tuntut sempurna bahkan ia tak di beri kesempatan memutuskan pilihannya dalam bentuk apapun. Kali ini ia ingin memiliki Naya, tapi lagi dan lagi orangtuanya mengambil keputusan tanpa meminta persetujuan darinya.
Dug.. Dug... Dug...
"Naufal! Gue tahu loe lagi di dalem, buka pintunya!" Teriak seseorang di balik pintu apartemen.
Tubuh Naufal luruh ke lantai, tangisnya tersedu-sedu seperti anak kecil yang kehilangan barang berharganya. Sedangkan di luar, sahabatnya berusaha mendobrak pintu kamar Naufal dan meminta bantuan satpam berharap pintunya berhasil di buka.
Braakkkk...!
Pintu berhasil di dobrak, sahabat Naufal langsung berlari mencari Naufal yang di dapati tengah dalam keadaan yang kacau.
"Astaga, Naufal!" Kagetnya.
Sahabat Naufal langsung berlari memeriksa luka di tangan sahabatnya itu, darah berceceran di lantai dan Naufal pun diam dengan tatapan kosongnya.
"Lu gila ya! Ngapain lu kayak begini? Bagus loe nyakitin diri sendiri, hah!" Bentaknya khawatir sekaligus kesal.
Rama memanggil Dokter untuk datang ke apartemen Naufal, kebetulan ayahnya memiliki teman seorang Dokter. Sambil menunggu Dokter datang, Rama di bantu Satpam untuk membawa Naufal ke kamarnya.
"Makasih ya, Pak. Maaf sudah merepotkan." Ucap Rama.
Kedua satpam pun menganggukkan kepalanya, mereka berdua berpamitan kala Rama mengatakan kalau ia yang akan mengurus sahabatnya itu. Satpam pun keluar dari dalam apartemen.
"Lu kalo ada masalah tuh cerita sama gue, jangan sampai loe gini setan! Jantung gue hampir meledak saking kagetnya." Gerutunya.
"Hidup gue udah hancur, Ram. Apa yang harus gue pertahanin di dunia ini?" Lirih Naufal.
"Soal Naya?" Tebak Rama yang tahu kemana arah pikiran Naufal.
"Mischa mau di jodohin sama gue, nyokap sama bokap maksa gue buat terima perjodohan sialan itu. Gue udah cinta banget sama Naya, ini kesempatan gue buat deket sama dia tanpa gue peduli statusnya kayak gimana. Tapi, Naya minta gue terima Mischa yang gak gue cintai." Jelas Naufal.
"Alasannya?" Tanya Rama penasaran.
"Ibunya Naya nikah sama Papa Mischa. Keluarganya berantakan, pernikahannya hancur dan dia bilang cuma mau hidup berdua sama anaknya. Naya takut terjadi sesuatu kalau gue gak terima Mischa, Hendaru bisa menghalalkan segala cara untuk nurutin anak kesayangannya." Jawab Naufal pelan.
"Gue tau ini berat banget buat loe. Tapi apa yang Naya katakan itu benar dan sangat masuk akal, loe bayangin aja selama ini dia hidup udah sangat amat rumit dengan siksaan batin yang cukup berat. Sekalipun Naya cinta sama loe akhirnya akan tetep pilih buat ikhlasin loe sama yang lain, karena apa? Karena dia berpengalaman dalam berumah tangga, apa tante Shireen bakal terima Naya dan anaknya begitu saja? Gak sama sekali, ego orangtua loe tinggi. Lebih baik loe pelan-pelan Move on dari Naya, Cinta gak harus memiliki. Melepaskan orang yang kita cintai agar ia lebih bahagia itu hal yang paling berharga, daripada bersamanya tapi bukan bahagia yang dia dapat, tapi terus terluka." Tutur Rama bijak.
Naufal termenung dengan ucapan Rama. Dokter datang mengobati luka di tangan Naufal. Tatapan Naufal kosong dan lurus ke depan, ia sibuk dengan pikirannya sendiri.
dasar si Tarzan emang y adaaaa aja celetukannya😂