Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Beberapa jam kemudian, cuaca mulai terang.
Selena dan Jacob tetap menunggu di luar ruang operasi. Wajah mereka pucat dan lelah, namun tidak ada satupun dari mereka yang berani pergi sebelum kabar dari dokter datang.
Akhirnya, pintu ruang operasi Jade terbuka lebih dulu. Seorang dokter keluar dengan wajah serius. Sarung tangannya masih berlumuran darah kering.
"Bagaimana dengan Jade?" suara Selena terdengar panik saat menghampiri dokter perempuan muda yang berjalan tergesa dari ruang sebelah.
"Kondisinya juga sangat kritis," kata dokter itu sambil menarik napas dalam. "Tembakan pertama mengenai perut bagian bawah dan merusak sebagian besar usus kecilnya. Yang kedua masuk dari punggung dan menyebabkan luka tembus hingga mendekati tulang belakang."
"Apa dia bisa bertahan?" tanya Selena lirih.
"Kami sudah lakukan operasi darurat, tapi tubuhnya sangat lemah karena kehilangan banyak darah. Detak jantungnya sempat tak stabil. Kami belum bisa pastikan apa pun saat ini."
Beberapa menit kemudian, dokter dari ruang operasi Leon keluar.
"Dokter, bagaimana kondisi Leon?" tanya Jacob cemas, menghentikan seorang dokter pria paruh baya yang baru keluar dari ruang operasi dengan wajah tegang.
"Keadaannya sangat kritis," jawab dokter itu berat. "Ia terkena dua tembakan di perut—satu di sisi kiri yang merobek limpa, dan satu lagi di sisi kanan yang mengenai usus serta nyaris menembus ginjal. Kami kehilangan banyak waktu karena pendarahan internal."
"Apakah dia sadar?" tanya Jacob lagi dengan suara gemetar.
"Belum. Kami masih berjuang menstabilkan tekanan darahnya. Jantungnya sempat melemah di meja operasi. Kami harus pantau terus dalam 24 jam ini. Bahkan sedikit penurunan bisa fatal."
Selena terdiam sesaat, tatapannya kosong menembus jendela rumah sakit yang diselimuti kabut pagi.
"Kalau begitu, tidak ada yang tahu nasib mereka," ucap Selena lirih. Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan, tapi cukup bagi Jacob yang berdiri di sampingnya untuk mendengar.
"Aku percaya mereka akan bisa melaluinya. Tuan Harrington sangat kuat. Beliau sudah melewati banyak hal sebelumnya. Dia akan sanggup melalui masa-masa sulit ini," kata Jacob.
Selena memejamkan mata sejenak, dengan suara yang hampir putus, ia berkata, "Dokter... apakah bisa... membiarkan mereka berada di dalam satu ruangan? Mereka adalah pasangan yang saling mencintai. Hanya saja, rintangan yang mereka hadapi terlalu berat untuk dipikul sendiri. Andaikan... kalau mereka harus pergi, setidaknya mereka pergi bersama."
"Secara medis, itu tidak lazim," jawabnya perlahan. "Tapi... kami bisa pertimbangkan. Selama kondisi alat bantu mereka memungkinkan untuk dipindahkan dan tidak membahayakan stabilitas tubuh masing-masing, saya akan usahakan agar mereka bisa berada di ruangan yang sama."
Selena menatap dokter dengan harapan baru di matanya.
"Setidaknya..." lanjut dokter pelan, "meskipun mereka tak sadar, mungkin... di alam bawah sadarnya, mereka masih bisa saling merasakan kehadiran satu sama lain."
***
Ruang itu terletak di ujung lorong yang sepi, dengan dinding putih bersih dan lampu langit-langit yang redup. Di balik pintu kedap suara, terbentang sebuah ruang perawatan intensif khusus yang tak biasa—sebuah ruangan luas yang dipisahkan oleh sekat kaca transparan di tengahnya. Dua tempat tidur rumah sakit berdiri saling berhadapan, masing-masing dikelilingi oleh mesin medis dan tabung infus. Meski tubuh mereka tak bersentuhan, mata siapa pun bisa melihat: Jade dan Leon tetap bersama, bahkan dalam koma.
Sekat kaca di tengah ruangan itu begitu bening hingga nyaris tak terlihat. Hanya pantulan samar dari lampu yang membuatnya menyadarkan siapa pun bahwa ada batas antara mereka. Namun batas itu tidak cukup kuat untuk memisahkan ikatan yang sudah terbentuk begitu dalam.
Dari luar ruangan, Selena berdiri mematung, hanya bisa menatap keduanya melalui panel kaca besar. Tangannya menyentuh kaca dengan lembut, seolah ingin menembusnya, seolah berharap sentuhannya bisa menjangkau mereka.
Tatapan Selena sendu. Bibirnya gemetar saat ia akhirnya bersuara, lirih dan terisak tertahan.
“Ini... tidak wajar sama sekali,” ucapnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun. “Mereka tidak bisa dipisahkan...”
Napasnya memburu pelan. Ia menunduk sejenak, lalu kembali menatap ke dalam—ke dua orang yang kini hanya bisa diam dalam dunia mereka sendiri.
“Aku tidak bisa membayangkan... kalau salah satu harus pergi... atau keduanya…” suaranya pecah, menggantung di udara seperti doa yang tak selesai.