Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Jejak Benang Merah
Ruangan rapat itu terasa dingin, namun suhu di kepala Arini jauh lebih panas. Di hadapannya, Baskara, pengacara senior yang telah membantunya memenangkan hak asuh anak dan aset bisnisnya setahun lalu, menatap layar tablet dengan dahi berkerut. Di atas meja, pesan ancaman dan sisa abu foto tadi pagi seolah menjadi saksi bahwa ketenangan Arini hanyalah jeda sebelum badai.
di ruang rapat utama Luka-Lana Fashion House terasa mencekam. Arini duduk di kepala meja, sementara di hadapannya, Hendra—pengacara andalannya—bersama tim keamanan siber sedang menatap layar proyektor yang menampilkan rincian pesan ancaman tadi pagi. Cahaya dari layar memantul di mata Arini yang tajam, memperlihatkan aura dingin yang tak tertembus.
"Pesan itu dikirim melalui server terenkripsi di luar negeri, Arini. Sangat rapi," Hendra memulai penjelasannya. "Tapi, ada satu hal yang menarik. Pola kata-kata dalam ancaman ini menggunakan istilah teknis desain yang hanya diketahui oleh orang-orang di lingkaran terdalam industri ini. Ini bukan sekadar gertakan dari mantan suamimu yang pengangguran itu."
Arini menyandarkan punggungnya ke kursi kulit. Tangannya mengetuk meja secara berirama. "Bram memang bodoh dalam bisnis, tapi dia tahu siapa musuh-musuh saya. Dia hanya pion, Hendra. Seseorang yang lebih besar sedang memegang talinya. Siapa kompetitor kita yang paling merasa terancam setelah Fashion Week bulan lalu?"
"Ada beberapa, tapi yang paling vokal adalah Maharani Boutique," jawab Maya, yang sejak tadi mencatat. "Nyonya Maharani sempat memberikan komentar pedas di media sosial tentang koleksi 'Jahitan Luka'. Dia menyebutnya sebagai 'seni yang terlalu didramatisir'."
Arini tersenyum tipis. "Maharani. Wanita yang merasa memiliki takhta mode Indonesia hanya karena ia lahir dari keluarga tekstil. Dia tidak suka melihat seorang wanita 'kemarin sore' seperti saya mengambil sorotan utamanya. Tapi, dia tidak akan berani bergerak tanpa peluru. Apa 'rahasia' yang mereka klaim itu?"
Hendra menggeser sebuah dokumen. "Mereka menuduh bahwa sketsa awal koleksi itu memiliki kemiripan delapan puluh persen dengan arsip lama milik seorang desainer Prancis yang sudah wafat, yang hak ciptanya baru saja dibeli oleh perusahaan cangkang milik keluarga Maharani. Jika mereka menggugat, mereka bisa membekukan seluruh distribusi kita."
adalah murni dari kepedihan hatinya. Namun, ia juga sadar betapa mudahnya hukum dimainkan oleh mereka yang memiliki uang dan dendam.
"Ini bukan sekadar gertakan dari mantan suami yang depresi, Arini," ujar Baskara tenang namun tegas. "Siapa pun yang mengirim pesan ini tahu persis celah industri kita. Mereka menyerang 'orisinalitas', jantung dari Luka-Lana. Jika tuduhan plagiarisme ini mencuat ke media sebelum kita meluncurkan koleksi musim dingin, investor Singapura akan menarik diri dalam hitungan jam."
Arini menyandarkan punggungnya di kursi kulit. Ia memutar-mutar pena perak di jemarinya. "Bram tidak punya kecerdasan untuk melakukan sabotase industri sehalus ini, Baskara. Dia hanya pion. Seseorang memberinya makan, memberinya keberanian untuk muncul kembali. Aku ingin kau melacak aliran dana terakhirnya. Siapa yang membayar pengacaranya? Siapa yang menyewa apartemen mewahnya di pusat kota?"
Maya masuk dengan tergesa, wajahnya sedikit pucat. "Ibu, ada laporan dari departemen produksi. Beberapa sketsa mentah dari koleksi 'Silent Resilience' yang belum kita rilis... muncul di sebuah blog anonim. Mereka menarasikan bahwa desain itu adalah milik seorang desainer muda yang kau 'bungkam' dengan uang."
Rahang Arini mengeras. Ini adalah serangan dua arah: mental dan profesional. "Siapa desainer muda itu?"
"Namanya Citra, mantan asisten magangmu dua bulan lalu," jawab Maya pelan.