Pertarungan Cinta

"Kami sudah bersama selama hampir empat tahun. Selama ini, hubungan kami baik-baik saja sampai perjodohan ini terjadi dan kami terpaksa berpisah."

Ethan hanya diam sambil membalut perban pada telapak tangannya disaat Sienna terus saja menangis.

Saat ini mereka berada di ruang keluarga, hanya berdua. Tidak ada seorangpun yang dibiarkan mengganggu karena siang nanti pernikahan mereka akan berlangsung.

"Aku bahkan tidak bisa memilih gaun pengantinku. Hidup bagaikan boneka," keluh Sienna lagi.

"Lalu kenapa kamu menerima lamaranku, tadi?" tanya Ethan yang mulai muak dengan rengekan manja Sienna.

Sienna yang sejak tadi duduk di sudut sofa berlawanan dengan Ethan seketika menoleh menatap Ethan yang kembali bersikap menyebalkan. Ia berpikir Ethan akan menenangkannya atau setidaknya membujuknya, tapi laki-laki itu malah bertanya dengan sinis.

"Anggap saja aku bodoh!" jawab Sienna ketus. Jika saja Ethan tidak melamarnya, mungkin ia sudah pergi dengan Dave. Namun, entah kenapa hatinya tergerak untuk memilih Ethan.

Ketika Ethan menatapnya penuh kesungguhan yang Sienna rasakan adalah perasaan aman, rasa percaya yang sulit untuk Sienna dapatkan bahkan dari Dave sekalipun.

"Jadi kamu menyesal?" tanya Ethan yang tiba-tiba saja sudah berada dihadapan Sienna.

Ethan menempatkan kedua tangannya di antara pegangan sofa, membungkuk dan menatap Sienna tajam.

"Jawab!" desak Ethan. Ia bersumpah akan membatalkan pernikahan ini jika Sienna mengaku menyesal.

"Aku-" Napas Sienna tertahan sesak. Jarak antara dirinya dan Ethan terlalu dekat. Deru napas Ethan yang hangat terasa menerpa wajahnya membuat Sienna semakin dikuasai gugup.

Ethan bergerak semakin mendekat hingga bibir mereka nyaris bersentuhan.

"Jawab atau aku bisa membuatmu bersuara dengan cara lain."

"Aku tidak menyesal," ucap Sienna pelan.

Pupil mata Ethan membesar, ia tidak menduga jika Sienna akan mempertahankan rencana pernikahan mereka setelah semua ucapannya tentang Dave. Hati dan pikiran Sienna tidak selaras.

"Aku tidak bisa mendengarnya," ucap Ethan sengaja memancing.

"A-aku tidak menyesal!"

"Katakan dengan benar!"

Ethan semakin mendekat. Sienna dapat merasakan ujung bibir Ethan menyentuh telinganya. Tubuhnya semakin membeku. Ethan selalu handal dalam hal menyudutkannya.

"Aku bersedia! Aku bersedia menikah denganmu Kapten Ethan Alexander Martin. Kamu puas?" tutur Sienna dengan lantang.

Deru napas Sienna tidak beraturan. Hatinya sakit, tapi ia menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis di hadapan Ethan yang akhirnya sedikit menjauh namun masih dengan posisi yang sama.

Ethan masih menatap Sienna tajam seolah ia adalah musuhnya, detik berikutnya ia menarik kalung di leher Sienna hingga terputus.

Sienna terkejut setengah mati, itu adalah kalung pemberian Dave, tapi Ethan mengambilnya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sienna marah. Kedua matanya memicing tajam, tindakan Ethan sudah keterlaluan.

"Kembalikan!" pinta Sienna namun Ethan malah mengantongi kalung itu ke dalam sakunya.

"Jangan memakai pemberian orang lain mulai sekarang," ucap Ethan sebelum meninggalkan Sienna sendirian.

Ini masih dugaan Ethan, tapi kondisi tangan kiri Dave yang patah membuat Ethan menaruh curiga pada laki-laki itu. Sekarang kecurigaan itu bertambah karena ketika memperhatikan lebih dekat kalung pemberian Dave pada Sienna kemarin, Ethan menemukan sebuah kamera tersembunyi pada liontin berbentuk bunga mawar itu.

"Kehidupan apa yang selama ini kamu jalani, Sienna?"

Ethan masih berdiri di depan pintu ruang keluarga, mendengarkan Sienna mencaci maki dirinya dari dalam sana.

"Pikirmu siapa kamu? Menikah denganmu bukan berarti aku menjadi milikmu! Selamanya aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu! Aku membencimu, Ethan!"

Itu lebih baik.

Ethan sendiri tidak bisa berjanji akan bisa memberikan hatinya pada Sienna. Saling membenci adalah hal yang paling tepat untuk mereka berdua. Setidaknya itu akan mengurangi sedikit luka pengorbanan ini.

Ethan menarik napas dalam, ia menyandarkan kepalanya di pintu sambil menyentuh gelang pemberian Siren. Sampai detik ini, Ethan masih berharap situasi dapat berubah, tapi semakin ia berharap semakin harapan itu mencekiknya.

Buntu. Putus asa.

...***...

Berita tentang pernikahan antara Sienna dan Ethan yang akan digelar secara tertutup langsung menjadi berita nasional. Pernikahan yang semula direncanakan akhir bulan ini ternyata dipercepat tanpa alasan yang jelas.

Banyak spekulasi bermunculan, termasuk berita tentang kehamilan Sienna yang menjadi topik utama mengalahkan berita pernikahan itu sendiri.

|ANAK KEPALA NEGARA HAMIL DI LUAR NIKAH!|

|PENGHINAAN TERHADAP NEGARA! RAKYAT MENDESAK PENCOPOTAN JABATAN KEPALA NEGARA SESEGERA MUNGKIN!|

|PERNIKAHAN POLITIK UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI SANG DIKTAKTOR!|

Perang terjadi melalui intrik media.

Namun, istana tidak tinggal diam. Demi menutupi rumor yang mengatakan Sienna telah hamil di luar nikah. Pemeriksaan kesehatan hingga data lab jika Sienna masih menjaga kesuciannya juga dirilis sebagai bukti.

Tidak hanya itu, kementrian pertahanan tiba-tiba saja merilis pernyataan adanya dugaan korupsi dana alutsista yang dilakukan oleh menteri terdahulu, Witan.

Berita tentang Witan langsung tersebar luas menggantikan rumor buruk tentang Sienna.

"Syukurlah semua media sudah mulai terkendali," ucap Jimmy lega pada Jack yang baru saja tiba di istana. Hanya tinggal beberapa jam acara pernikahan Sienna dan Ethan akan segera dilakukan.

Jack mengangguk. Ia terlihat sama lelahnya dengan Jimmy. Jack bekerja semalaman demi mencari data penyelewengan dana yang dilakukan oleh Witan.

"Aku belum menemukan bukti konkretnya, kemungkinan dia sudah menghilangkan banyak bukti, tapi kamu tenang saja. Aku pasti akan bisa menjebloskan Witan ke dalam penjara."

"Aku percaya padamu."

.........

Sementara itu di sebuah ruangan, logo Teratai Putih bersulam emas terpasang pada pusat dinding. Witan menundukkan wajahnya saat menghadapi kepala partai yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.

"Kamu yakin sudah menghancurkan semua bukti?" tanya laki-laki berambut putih yang usianya sudah menginjak 70 tahun namun ambisi di wajahnya masih belum luntur.

"Pemberhentianku terlalu mendadak, tapi ayah tenang saja... aku akan segera membereskan sisanya."

"Aku tidak peduli meski kamu anak kandungku sendiri. Sekali terjatuh, aku tidak akan menolongmu."

Witan mengerti apa maksud dari ucapan ayahnya, Dhanu. Teratai Putih tidak menerima goresan meski sekecil apapun. Bila tindakannya terungkap maka dia akan menanggung sendiri meski apa yang selama ini Witan lakukan adalah untuk kepentingan partai.

"Lalu bagaimana denganmu? Membunuh seorang gadis saja tidak mampu. Apa perlu aku ajari caranya?" tanya Dhanu pada sosok pria misterius yang tangannya sudah dipasangi gips, pria yang sama yang sebelumnya bertarung dengan Ethan.

Pria yang menyembunyikan wajahnya dibalik topi dan masker hitam itu lantas menjawab, "Rencana kami terbaca oleh pihak istana. Mereka sengaja mengendurkan pengawasan agar kami lengah dan penyergapan semalam berakhir gagal. Beruntung, kami berhasil lolos."

"Bodoh!" Dhanu berteriak marah. Ia menggebrak meja lalu tidak sungkan untuk menunjuk ke arah pria misterius itu.

"Keberuntungan apa yang kamu maksud? Sekarang keluarga Foster dan keluarga Martin akan segera bersatu. Bila tidak bertindak cepat maka bukan mereka yang akan hancur melainkan kita!"

Pria misterius itu hanya mampu menundukkan kepala, membiarkan ketua partai Teratai Putih mencaci-maki tanpa protes sedikitpun.

"Lalu bagaimana keadaan di perbatasan?" tanya Dhanu mengalihkan topik. Amarahnya masih sama, tapi nada suaranya jauh lebih tenang dari sebelumnya.

"Penculikan kemarin membuat kami kehilangan banyak anggota. Sekarang kami sedang mengumpulkan lebih banyak orang untuk direkrut, hanya saja sejak Jack Martin menjabat sebagai menteri pertahanan, ada lebih banyak yang menolak memberontak. Jika kita tetap memaksa, kemungkinan kita akan kalah."

"Tidak ada satu hal pun yang mampu kamu lakukan dengan benar!" maki Dhanu, kali ini ia bahkan tidak sungkan untuk melemparkan asbak kaca ke arah pria misterius itu.

Darah mengalir dari pelipis mata pria misterius itu, namun ia tetap bergeming. Sorot matanya kosong tanpa emosi seolah ia telah mati rasa.

"Pihak asing menawarkan untuk mengirim pasukan ke perbatasan," ucap pria itu setelah Dhanu kembali duduk di kursinya.

"Apa taruhannya?" tanya Dhani.

"Bila perbatasan berhasil kita rebut. Mereka menginginkan lima puluh persen bagian wilayah selatan."

"Jangan gila!" Witan berseru tidak setuju. "Membiarkan sebagian wilayah selatan untuk pihak asing bukanlah hal yang menguntungkan, kelak mereka pasti akan menginginkan lebih banyak. Kita semua tahu betapa rakusnya mereka selama ini."

"Lalu kamu punya pendapat lain? Menyewa tentara bayaran misal? Tapi uang hasil rampokanmu apa masih cukup?" tanya pria misterius itu mendesak Witan membuat laki-laki berusia 54 tahun itu bungkam.

"Pilihannya hanya dua. Menang sebagai pengecut atau kalah sebagai pecundang. Keputusannya ada di tangan Anda, Tuan Dhanu."

***