Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Karena ulah mereka yang memasukkan merica dan garam yang sangat banyak ke dalam makanan Viola akhirnya Sakura dan Lili mendapat hukuman. Mencuci semua pakaian kotor Viola yang biasanya dibawa ke laundry.
Namun Sakura dan Lili tidak marah dengan hukuman tersebut, justru kedua anak itu semakin menujukkan keusilannya. Pakaian kotor Viola tidak ada yang selamat dari gunting yang dipegang Sakura dan Lili.
Mereka tidak memikirkan akan mendapatkan hukuman apalagi setelah perbuatannya itu. Tidak juga ingin mengadu pada Papa mereka karena ini urusan sesama wanita.
Setelah puas bermain-main di kamar mandi, Sakura dan Lili keluar begitu saja. Meninggalkan pakaian Viola yang sudah diguntingnya berserakan di atas lantai yang masih dipenuhi busa.
Mereka langsung ke kamar, mengunci pintu setelah itu mengganti pakaian. Baru juga mereka selesai menyisir, sudah terdengar suara teriakan Viola yang memanggil nama mereka dengan sangat geram.
Mereka berdua hanya tertawa cekikikan.
Karena Sakura dan Lili tak kunjung datang memenuhi panggilannya karena sudah bisa ditebak mereka takut di hukum atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Maka dia pun mengadukannya pada Mas Kalingga yang baru selesai mandi.
"Nanti aku belikan lagi pakaian baru untukmu," Mas Kalingga tidak mau ribut.
"Mas Lingga tidak mau memarahi mereka?," tanya Viola kesal.
"Untuk apa aku memarahi mereka?. Kalau kamu mau marah, marah padaku saja. Karena Sakura dan Lili berbuat seperti ini kepadamu karena kesalahanku."
"Mas Lingga terlalu memanjakan mereka?," Viola benar-benar kesal.
"Aku tidak memanjakan Sakura dan Lili, tapi aku sedang menebus kesalahanku kepada mereka."
Viola tidak lagi bisa berdebat dengan Mas Kalingga, emosinya sudah memuncak diubun-ubun. Viola lebih memilih pergi dan bersantai di teras depan. Memikirkan kembali apa yang telah dilakukannya sejauh ini. Nyatanya hidupnya tidak benar-benar tenang dan damai.
"Kalau sudah lahir, ambil semua perhatian dan semua yang dimiliki Papamu dari mereka karena kamu anaknya juga." Sambil mengelus perutnya yang bergerak-gerak.
Dengan senyum lebar Mas Kalingga masuk ke kamar anak-anak setelah Lili membukakan pintu. Kedua anak itu menatap Papa mereka.
"Marah padaku saja, Pa, aku yang minta Kak Lili untuk mengerjai Tante Viola." Sakura langsung mengakui kesalahannya.
"Tidak, Papa, itu semua salah aku. Sebagai Kakak aku malah mengikuti Lili, padahal aku bisa menolaknya." Lili pun siap pasang badan untuk membela Sakura dari kemarahan Papanya.
Mas Kalingga mengambil tangan Lili lalu tangan Sakura, menggenggam tangan mereka dengan sangat erat. Anak sekecil mereka sudah harus banyak berkorban kedua orang tua.
Pertama mereka harus mau menerima pernikahannya dengan Viola. Kedua mereka harus mau menerima perpisahannya dengan Ibu kandung mereka dan harus ikut bersamanya.
"Papa tidak akan marah pada kalian berdua, Papa hanya bisa marah pada diri Papa sendiri karena sudah sangat melukai kalian. Tolong maafkan, Papa."
Lili dan Sakura langsung menghambur memeluk Papa mereka.
"Maafkan aku juga, Papa." Sakura mengusap-usap pipi Papanya.
"Aku juga, Papa." Lili menaruh kepala di pundak Papanya.
Mereka bertiga menjadi sangat dekat larut dalam suka cita.
Sementara itu di kota lain, Melati baru saja selesai meeting bersama klien yang mayoritasnya kaum Adam. Namun itu tidak menjadikannya minder atau over, dia bersikap layaknya seorang wanita yang tegas. Tidak pernah menerima atau berbicara dengan klien pria selain harus ada perwakilan perusahaan yang berjenis kelamin perempuan turut hadir bersama mereka.
Dan untungnya tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut, justru mereka sangat santai dengan permintaan Melati.
Melati membuka agenda hariannya, sudah tidak ada jadwal pekerjaannya. Menyisakan satu kegiatannya satu kali di luar urusan pekerjaan melainkan mengecek kesehatan calon bayinya.
Dengan mengendarai mobilnya Melati sudah tiba di rumah sakit. Dia langsung memasuki ruang kandungan. Senyum lebar terlihat jelas dipipinya yang semakin berisi dan semakin menambah kecantikannya.
Langit yang baru keluar ruangan praktiknya menatap sesosok wanita yang baru menutup pintu ruangan Obgyn. Mata tidak sopan Langit pun langsung tertuju pada perut Melati yang ditutupi gamis dan hijab berwarna hitam. Jadi dia tidak bisa memastikan apa-apa. Namun dia segera mengejar Melati yang sudah melangkah jauh meninggalkannya.
"Mel," panggilnya sambil berjalan setengah berlari.
Melati menoleh dan menghentikan langkahnya, menatap pria yang sudah lama tidak muncul dalam hidupnya.
"Kamu dari ruangan Dokter Obgyn?," tanyanya karena merasa penasaran.
"Iya," jawab Melati singkat.
"Konsultasi atau apa?," guna memuaskan rasa penasaran yang belum dijawab Melati.
Kemudian Melati tersenyum. "Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu, bisa 'kan?."
Mau tidak mau Langit mengangguk.
"Aku pamit," Melati tidak bisa lama-lama di sana bersama Langit.
"Tunggu, Mel," Langit masih menahannya dan Melati masih diam di tempatnya.
"Aku turut prihatin atas perpisahanmu," hal yang sangat ditahan Langit kini terucap sudah di depan orangnya.
"Terima kasih," sahut Melati sambil tersenyum namun samar.
"Mungkin ini terlalu cepat, tapi kalau masih bisa kita perbaiki hubungan kita yang dulu, Mel." Niat baik hatinya tersampaikan juga kepada Melati.
"Terima kasih, Langit. Tapi maaf, aku tidak bisa melanjutkan atau memperbaiki hubungan kita di masa lalu. Buatku semuanya sudah selesai dan jujur saja aku tidak ingin mengulang cerita kita. Biarkan saja selesai sampai di situ, kita lanjut dengan hidup kita masing-masing saja." Melati menolak tegas.
Langit diam dan membiarkan Melati pergi dari hadapannya.
Untuk sekarang Melati hanya ingin fokus pada anak yang ada di dalam kandungannya. Perjalanan panjang masih menanti mereka, tidak ada tempat untuk yang namanya pria.
Melati segera pulang mengendarai mobilnya karena baru saja Ayah menghubunginya. Ayah sudah ada di depan rumah Melati yang dikunci.
Mobil Melati sudah terparkir, Ayah dan Melati sedang makan makanan yang dibawa Ayah.
"Timbanganku naik lagi, Yah." Melati mengadukannya pada Ayah.
"Bagus, Mel, daripada kamu kurus seperti kemarin. Kalau begini terlihat sehat dan segar. Tapi kamu kontrol juga asupan makanannya."
"Iya, Yah, aku sudah konsultasi dengan ahli gizi dan aku punya list makanannya."
"Sehat untuk kamu dan bayimu juga."
"Terima kasih, Yah, sudah selalu mendukung aku." Tiba-tiba saja Melati menjadi melo.
"Itu sudah tugas Ayah, Mel."
"Aku tidak tahu kalau tidak Ayah," kini Melati menangis.
"Sudah, nanti bayimu ikut sedih."
Melati mengangguk namun tidak bisa menahan lajunya air mata yang menetes.
Malam ini Melati tidak sendiri karena ada Ayah yang menginap. Mereka bicara santai di kamar yang sebelumnya di tempati Lili dan Sakura. Melati sudah tidur lebih dulu dan Ayah keluar setelah mengambil beberapa gambar dan video Melati yang sudah dikirimnya pada Sakura dan Lili.
Ayah ke sana atas permintaan kedua cucu yang sangat merindukan Mamanya. Ayah tak bisa melakukan banyak, hanya sebatas ini saja. Sakura dan Lili pun sangat bahagia walau hanya bisa melihat Mama dari layar ponsel.
Bersambung