Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 #Dendam Sahira
Di saat yang sama, Tuan Raymond, mantan bos mafia yang terbaring tenang, perlahan membuka matanya. Ia menoleh melihat sepasang anak kembar Joe masih setia di sisinya.
Senyum manis merekah di wajah mungil mereka. "Opa... Opa cudah makan?" tanya salah satunya dengan polos.
Tuan Raymond melepas alat bantu napasnya dan mencoba duduk.
"Eh, eh, Opa jangan duduk dulu. Belum cembuh," bujuk si kembar.
Namun, Tuan Raymond menggeleng. "Opa sudah baik-baik saja. Sekarang Opa mau pulang."
"Pulang? Napa mau pulang, Opa?" tanya mereka bingung. "Opa nda cuka cini yah?” lanjut mereka dengan menggemaskan.
Tuan Raymond mengangguk lalu pandangannya beralih pada Joe yang tertidur pulas di kursi dekat jendela. Cucu keduanya itu terlihat sangat lelah. Tak hanya menjaganya, ia juga mengurus anak-anaknya sendirian. Walau Joe suka narsis ke wanita lain, tapi pria itu sangat menyayangi anak kembarnya.
"Kalian sudah makan?" tanya Tuan Raymond pada si kembar.
Keduanya mengangguk cepat. "Udah, Opa. Tadi cama Papa, Kakek, cama Nenek."
"Terus, di mana Kakek dan Nenek kalian?" tanya Tuan Raymond mencari menantunya.
"Meleka uda pulang, Opa."
"Kalau begitu, apa kalian bisa bangunkan Papa kalian?" Tuan Raymond menunjuk Joe.
"Napa dibangunin, Opa?" tanya si kembar.
Tuan Raymond menjelaskan bahwa ia ingin pulang sekarang juga dan akan melanjutkan perawatan di rumah saja. Si kembar pun segera mendekati Joe lalu mengguncang-guncang bahu Ayah mereka.
Joe terkesiap, lalu mengerucutkan bibir. "Astaga... baru juga sebentar Papa tidur, sudah kalian bangunkan," gerutunya dengan gemas sambil mencubit pipi kedua anaknya. Matanya kemudian terbelalak saat melihat Tuan Raymond mau turun dari ranjang.
"Kek, mau ke mana?" Joe menahan cepat.
"Bawa Kakek pulang. Di sini Kakek tidak bisa tidur."
"Tapi, Kakek belum sembuh total," kata Joe.
"Sudah, jangan khawatir. Kakek sudah baik-baik saja. Sekarang panggil dokter, suruh cabut selang-selang ini!" perintah Tuan Raymond risih.
Joe terpaksa menuruti. Ia tahu, lebih baik menuruti perintah kakeknya daripada mantan pimpinan Black Shadow itu marah-marah.
Sebelum pulang, Joe menghubungi Tuan Daren, tetapi Daren masih berada di rumah keluarga Moretti. Perdebatan sengit masih berlangsung di sana.
"Mas, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Chia ketakutan seperti ini?" tanya ibu tiri Balchia.
Nenek Balchia langsung menyerahkan berkas pada putri tertuanya itu lalu Ibu tiri Balchia membacanya, dan ekspresi bingungnya langsung berubah terkejut.
"Chia... ini serius perbuatanmu?" tanyanya, suaranya meninggi. "Jawab Ibu, Nak!"
Balchia tertunduk gemetar. "Maaf, Bu. Chia terpaksa menyembunyikannya."
Sang ibu tiri sedikit terhuyung, namun kakak Balchia segera menopang pundaknya. "Ibu tidak menyangka kau akan seperti ini. Ibu tidak pernah mengajarkan kejahatan padamu," ucapnya, berusaha menenangkan napas.
Balchia kembali berlutut, air matanya tumpah.
"Maafkan aku, Bu. Aku bersalah."
"Ayo, Ma, kita pulang saja," ajak Tuan Daren, membawa istrinya pergi. Balchia mengepalkan kedua tangannya, amarahnya meluap, tapi ia sadar ia tak bisa menahan mereka.
Ia kemudian berdiri saat Neneknya mendekat.
"Nek..., maaf..."
PLAK!
Sebuah tamparan keras seketika mendarat di pipi Balchia. Semua orang terkejut, termasuk Balchia sendiri. Neneknya begitu murka hingga rasanya ingin memukulnya lagi, tetapi ibu tiri dan kakaknya segera menahan.
"Sudah, Ma. Jangan pukul Chia," mohon mereka, tak tega melihat pipi Balchia yang memerah, bengkak dan bibirnya yang berdarah.
Tuan Moretti hanya diam. Ingin membela putrinya, tetapi perbuatan Balchia sudah melewati batas.
"Memang tidak berguna. Gara-gara putrimu ini, hubungan kita dengan keluarga Raymond hancur!" ujar wanita tua itu kecewa sebelum pergi meninggalkan mereka.
Balchia terisak dalam pelukan ibunya. Namun, di dalam hatinya, ia dipenuhi dendam yang sangat membara. "Semua ini karena wanita sialan itu! Seharusnya dari awal aku bunuh dia!"
Sementara itu, Sahira baru saja selesai mengganti popok bayi Zee. Setelah memakaikan bajunya, ia termenung, menatap cincin di jarinya. Senyum tipis terukir di bibirnya. Tiba-tiba, Sahira teringat sesuatu. Ia segera memindahkan kedua bayi itu ke ayunan dengan hati-hati dan melangkah keluar, ingin bertanya pada Zander.
Namun, ia tidak menemukan Zander di balkon.
"Apa dia ada di kamarnya?" gumam Sahira, tetapi kamar Zander juga kosong.
Tiara kebetulan lewat di belakangnya, membawa guci yang cukup besar. "Oh, Tiara, tunggu!" Panggil Sahira.
"Ya, Mbak?" jawab Tiara yang terengah-engah membawa guci yang seharusnya menjadi tugas Hansel.
"Kau lihat Tuan Zan di mana?" tanya Sahira, sedikit gugup.
"Tadi aku lihat Tuan Muda ada di bawah, Mbak," jawab Tiara, menunjuk ke arah lantai bawah. "Memangnya kenapa, Mbak?" lanjutnya ingin tahu.
Sahira hanya tersenyum lalu berjalan menuju tangga. Tiara menghela napas dan mengikuti Sahira. Namun, saat kakinya menginjak anak tangga pertama, ia sedikit terpeleset. Guci di tangannya juga terlepas..
Akan tetapi, seseorang dengan sigap menangkap guci itu sebelum menggelinding ke bawah, lalu orang itu merangkul pinggul Tiara. Mata Tiara terbelalak melihat itu Hansel.
"Bodoh! Apa kau tidak bisa kerja yang benar, hah?!" bentak Hansel agak kesal kemudian melepaskan rangkulannya.
"Maaf, Pak Hansel. Saya tidak sengaja," ucap Tiara, takut. "Lain kali saya akan lebih hati-hati."
Hansel mendengus. Ia menyerahkan guci itu dengan kasar. "Kalau kau masih ceroboh juga, siap-siap angkat kaki dari rumah ini," ancamnya sebelum menuruni tangga.
Tiara mengerucutkan bibir, kesal dengan Hansel yang sok berkuasa. Pandangannya beralih pada Sahira, yang kini mendekati Zander yang tertidur di sofa. Tiara terpaku melihat Sahira duduk di dekat Zander dan mengusap rambut pria itu dengan penuh perhatian.
"Wah, apa-apaan ini? Kenapa Mbak Sahira sama Tuan Muda semakin dekat? Apa sebenarnya hubungan mereka?" gumamnya penasaran.
"Masih juga berdiri di sini? Lihat apa kau?!" Suara Hansel tiba-tiba mengagetkannya lagi.
"Tidak ada apa-apa. Permisi," jawab Tiara, lalu cepat-cepat pergi.
"Dasar asisten galak, kerjanya suka marah-marah! Beda sekali dengan Tuan Muda Joe," gerutu Tiara dalam hati. "Dia bisa mengurus tuan kecil dan bayi Mbak Sahira. Tidak seperti asisten Hansel yang tidak becus! Hmp!"
Beberapa menit kemudian, Sahira beranjak, ingin kembali ke kamar bayi untuk memompa asi. akan tetapi, tangan kanannya ditahan Zander. Ia berbalik, lalu terkejut melihat Zander masih terlelap, tetapi mengigau tak jelas.
"Hira... jangan pergi... jangan tinggalkan aku."
Sahira menghela napas lalu duduk kembali. "Apa yang kau mimpikan sampai mengigau seperti itu, Zan?" gumamnya penasaran dengan mimpi buruk Zander.
Ia ingin membangunkan Zander, tetapi tidak tega melihat wajah lelahnya. "Oh ya, bagaimana nasib Nona Chia?" pikirnya agak cemas. Cemas Balchia semakin marah dan mengamuk kepadanya. “Tapi seharusnya aku yang marah, kan? Dia wanita jahat yang sengaja memanipulasi kehamilanku! Harusnya dia dipenjara,” gerutu Sahira dalam hati, ia teringat kejahatan Balchia yang suka memukulnya dan menghinanya. Ditambah lagi, telah menukar bibit suaminya dengan Zander. Ada dendam besar yang kini berkobar dalam hatinya sebab hidupnya berantakan karena wanita itu.
Di rumah sakit, Rames terbaring lemah. Kakinya diperban, tangan kanannya terbalut gips. Ia sudah sadar, tetapi tubuhnya terasa remuk. Dalam hati, Rames merutuki dirinya sendiri. Seandainya ia bisa menahan diri dan tidak mengikuti keinginan ibunya, ia tidak akan lumpuh seperti ini.
“Sahira… maafkan aku, Hira…” lirihnya sedih, merasa sangat bersalah dan menyesal. Dalam keheningan itu, ia pun teringat pada Zander yang tidak asing.
...
Mafia dilawan jadi apes lagi deh...
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀