“Menikahlah denganku, Jia.”
“Berhentilah memikirkan masa lalu!! Kita tidak hidup di sana!!”
“Jadi kamu menolakku?”
“Apa yang kamu harapkan?? Aku sudah menikah!!!!”
Liel terdiam, sama sekali tidak menunjukkan keterkejutan. Sorot matanya yang tajam itu kembali lagi. “Aku tahu kamu sudah bercerai. Pernikahan macam apa yang sehari setelah menikah sudah tidak tinggal satu atap?”
Sebelas tahun lebih, mereka memutuskan untuk menyerah dan melupakan satu sama lain. Namun, secara ajaib, mereka dipertemukan lagi melalui peristiwa tidak terduga.
Akan kah mereka merajut kembali tali cinta yang sudah kusut tak berbentuk, meski harus melawan Ravindra dan anaknya Kay, wanita yang penuh kekuasaan dan obsesi kepada Liel, atau justru memilih untuk menyerah akibat rasa trauma yang tidak pernah sirna.
Notes : Kalau bingung sama alurnya, bisa baca dari Season 1 dulu ya, Judulnya Beauty in the Struggle
Happy Reading ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deep Talk on the Beach
Liel tetap diam, tanpa menjawab seribu pertanyaan dari Jia. Dia pun duduk di sampingnya. Wajah tenangnya itu, kini membuat Jia muak.
“Baiklah, aku pergi.”
“Duduklah.”
“Apa?”
“Du–duk,” ucap Liel tegas.
Jia menghela napas kasar. Rasa kesal dan marah menjadi satu. Namun, di sisi lain, ada rasa malu yang tidak tertahankan. Dia merasa bahwa menghilang dari permukaan bumi, adalah hal yang masuk akal untuknya saat ini.
“Aku ada urusan di sekitar Nusa Dua, mengunjungi salah satu resort keluargaku … kemudian menuju pantai, lalu aku melihatmu,” ucapnya berbohong, meskipun sebagian tentang resort adalah benar.
“Kebetulan yang di sengaja,” balas Jia sambil mengatur posisi duduknya.
“Terserah! Sekarang jawab, mengapa kamu menghindariku selama seminggu ini?!”
Jia membisu, tenggorokannya seakan tercekat. Sejujurnya, dia bingung, bagaimana harus menjelaskannya kepada Liel, sebab dia sendiri pun tidak tahu mengapa dirinya menghindari Liel.
Liel bahkan menyerang Jia dengan mengingatkan kembali pernyataannya yang mengatakan di depan Jenar si sekretaris, bahwa Liel adalah pasangannya, membuat Jia semakin tersudut, ingin segera melompat ke laut meski dia sendiri tahu bahwa dirinya tidak mampu berenang.
“Tidak tahu, saat itu ... aku tidak serius mengatakannya!”
”Tidak tahu? Setelah dengan liarnya kamu menciu—”
“Malu!!”
Liel merasa heran. “Kamu malu saat menciumku, di umur kita yang sudah mulai menginjak usia lansia ini?”
Jia menatap Liel tajam, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan mencoba menutupi wajahnya dengan rambutnya.
“Berhenti mengatakan aku menciummu!!”
Liel dengan senyum segarisnya itu berusaha membuka rambut yang menutupi wajah Jia. “Maka dari itu, mengapa kamu bersembunyi di balik rambutmu yang berdebu ini!”
“Liel bodoh!! Bukan seperti itu! A–aku minta maaf karena sudah menciummu bukan dengan perasaan yang sesungguhnya.”
Seketika mulut Liel sedikit terbuka. Wajah Liel yang minim ekspresi itu, kini semakin datar, namun isi otaknya penuh pertanyaan, mencoba mengerti apa perkataan Jia.
“Aku menciummu bukan karena berdebar, tetapi karena rasa cemburu dan marah,” ungkap Jia lagi, sambil memijat dahinya.
Bukannya marah, Liel berpikir kembali. Mencium seseorang bukan dengan perasaan yang sesungguhnya, namun karena ada motif lain itu bisa saja terjadi.
Jia yang malu dengan perasaannya yang tidak sempurna itu, berusaha jujur kepadanya, dan Liel memahami maksud Jia. Liel pun terdiam, tenggelam dengan pikirannya. Melihat hal itu, Jia mulai menyalahkan dirinya sendiri.
“Saat ini, di matanya aku pasti terlihat berakal pendek! Dari luar aku mungkin terlihat dewasa, namun jika menilik lebih dalam, aku merasa usiaku terjebak di usia remaja yang labil dan penuh kecemburuan, sungguh menggelikan!”
Mereka akhirnya terdiam, tanpa saling menatap. Rasa canggung menguasai mereka. Kemudian Liel menghentikan kesunyian yang menyiksa itu.
“Jia, dengar! Apapun motifmu, aku suka dan terima selama itu kamu yang melakukannya!” Liel tersenyum, menatap wanitanya itu.
Jia mengangguk, namun matanya masih enggan menatap Liel. Rasa malu dan canggung itu rupanya masih menguasai dirinya.
“Hm, apa ada yang ingin kamu katakan lagi?”
Jia mengelengkan kepalanya. Dia berpikir, tindakan yang Liel lakukan saat ini, karena rasa bersalahnya yang telah meninggalkannya bertahun-tahun, sehingga mmebuat Liel menerima semua perlakuan buruk yang Jia lakukan.
“Baiklah, mari pergi, aku harus mandi dan merapikan rambutku yang berantakan ini.” Liel merapikan rambut gelombangnya yang tetap kembali berantakan.
Liel berdiri sambil menjulurkan tangannya, untuk membantu Jia berdiri. Kemudian dia tersenyum, namun matanya, tetap kosong, seolah senyuman Liel adalah palsu. Ya, lagi dan lagi, Jia tidak mampu membaca sorot matanya yang tajam itu.
Secepat kilat Liel menyuruh Jia kembali ke kamar resortnya karena angin semakin berhembus kencang. Segera Jia berbalik dan beranjak pergi, namun karena tidak ingin Jia terkena gejala masuk angin, Liel membuka kemejanya dan berlari ke arah Jia.
Namun, niat baik Liel tidak selalu dapat di mengerti oleh Jia. Dia yang melihat Liel bagaikan Tarzan yang mengamuk itu segera ketakutan dan berlari sampai terjatuh di depan sebuah gazebo.
“Haaah!! Kemarilah, sebentar! Mengapa berlari secepat itu?!” Liel tersengal-sengal sambil menepuk dadanya pelan.
Jia menggeleng-gelengkan kepalanya, sehingga Liel memutuskan untuk mendekat dan duduk di sebelahnya, lalu mengenakan kemeja putih lengan panjangnya kepada Jia.
“Pakai ini, supaya kamu tidak kedinginan.”
Mata Jia melebar sambil bergumam dalam hatinya, “Sial!! Sejak kapan otot perutnya berbentuk seperti itu, aku ingin sekali melihatnya lagi, namun dia pasti akan mengejekku!!”
“Jia.”
“Jia.”
“JIA BINTARI!”
Jia terkejut lalu segera menoleh ke arah Liel, berusaha mendengarkan perkataannya.
“Apa kamu mendengar? Mau makan malam denganku? Aku tunggu pukul 19.00 wib di sini, bagaimana?”
Menurut kalian Jia nerima ajakan Liel ga? 🤭👊🏻
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, seperti like dan komen ☺️
Kakakku, musuhku. 🤣