NovelToon NovelToon
Kutukan Seraphyne

Kutukan Seraphyne

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Cintapertama / Reinkarnasi / Iblis / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: Iasna

Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.

Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.

Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20: Lingkaran Kesatuan

Dua kuda bayangan melintasi hutan malam tanpa suara, menyusuri jalur rahasia yang tak dikenali penjaga istana. Di atas salah satu pelana, tubuh seorang perempuan terbaring diam, diselimuti mantel beludru hitam. Hanya sedikit cahaya bulan yang menembus dahan untuk mengintip wajahnya—pucat, tenang, seolah tertidur.

Ramord memacu kudanya dengan tenang, namun matanya awas. “Kita hampir sampai. Jangan biarkan siapapun melihat cahaya dari lentera itu, tuan Veyron.”

Dari belakang, pria berjubah biru perak mengangguk, lalu menutup lentera kecil di tangannya dengan batu air bening yang memancar cahaya dalam bisikan.

“Jangan khawatir. Mereka yang melihat kita malam ini akan lupa telah melihat apa pun,” ucap Veyron. “Tapi aku tidak bisa menjanjikan hal yang sama pada kekuatan yang bersemayam dalam dirinya.”

Tempat persembunyian itu tersembunyi di balik air terjun di utara hutan Elbereth. Dinding batu ditumbuhi lumut dan akar-akar tua, namun begitu masuk ke dalam, lorong gua berubah menjadi aula kecil yang hangat oleh sihir batu air.

Ramord membaringkan tubuh Seraphyne di atas altar kristal. Veyron mendekat dengan napas berat, mengulurkan kedua tangannya. Batu air di lehernya bersinar terang.

“Aku bisa menstabilkan jiwanya. Tapi batu api mungkin akan memberi reaksi menyakitkan untuk Seraphyne.”

“Tapi dia masih hidup, bukan?” desak Ramord.

“Hidup. Tapi tidak utuh.”

Veyron menyentuhkan batu air ke dada Seraphyne. Cahaya biru menyebar ke seluruh tubuhnya, membungkusnya dalam kabut lembut. Dalam heningnya ruangan, terdengar detak jantung yang pelan—pelan tapi pasti.

Lalu napas pertama terdengar.

Seraphyne terbatuk. Tubuhnya menggeliat. Matanya terbuka perlahan—dan bukan warna merah api, melainkan warna hitam keunguan. Pertanda bahwa yang ada di dalam tubuhnya bukan hanya energi batu api, tapi juga batu air.

Ia terduduk perlahan, napasnya berat. Pandangannya kosong sejenak, lalu jatuh pada Veyron.

"Veyron?"

"Kau kembali," kata Veyron pelan.

"Kenapa kau bisa disini?" tanyanya kemudian ia menatap Ramord untuk meminta penjelasan.

"Aku meminta bantuan tuan Veyron untuk membawamu kesini. Memalsukan kematianmu juga ide dari tuan Veyron." jelas Ramord yang membuat Seraphyne mengerutkan dahinya.

"Kenapa kau membantuku, Veyron? Ini tidak seperti kau.."

"Bukan hanya aku, Seraphyne. Pemilik batu lain juga membantumu. Kami semua tidak ingin kehilangan pemilik batu api. Bagaimanapun kami sudah mengetahui keberadaan batu kehendak, kita semua harus bersatu untuk menghancurkannya."

“Mereka datang,” lanjut Veyron.

Satu per satu, bayangan langkah muncul dari lorong sempit yang menghubungkan gua ke dunia luar.

Yang pertama muncul adalah Tairen, pria berambut putih dengan mata hijau terang, jubah panjangnya berkibar seperti kabut pagi.

“Kau terlihat berbeda, Seraphyne.” suaranya ringan seperti bisikan angin. “Tapi aku tahu, apimu belum padam.”

Disusul oleh Tharos, bertubuh besar dengan kulit cokelat gelap seperti tanah basah. Jejak langkahnya mengguncang sedikit altar tempat Seraphyne berdiri. “Dunia mulai retak. Tanahku berkata, ini bukan karena alam… tapi karena kehendak yang dipelintir.”

Caer datang berikutnya, berbalut jubah hitam yang hampir menyatu dengan bayangan di dinding. Wajahnya separuh tertutup tudung, namun matanya tajam memandang Seraphyne.

“Kegelapan mengenali kebenaran lebih cepat dari cahaya. Dan aku tahu Thalean bukan sekadar penasihat. Ia memecah keseimbangan demi ambisinya.”

Veyron yang berdiri di sana, memberi anggukan tenang. “Aku tidak pernah meragukanmu, Seraphyne.”

Dan akhirnya, datanglah Lumira—dengan rambut keemasan menyala lembut dan aura hangat memancar di sekelilingnya. Ia tidak berkata apa-apa saat masuk, hanya menatap Seraphyne dengan mata yang penuh cahaya. Tapi cahaya itu bukan hanya penerang. Ia mengungkapkan luka. Luka yang sama-sama mereka rasakan sebagai para pemilik elemen—para penjaga dunia.

Mereka semua berkumpul di sekitar Seraphyne, membentuk lingkaran pelindung. Batu-batu elemen di tubuh mereka menyala satu per satu, sinkron dengan denyut kehidupan bumi.

Tairen berbicara pertama, “Selama ini kita menjaga sendiri-sendiri. Tapi sekarang kita harus menjadi satu. Tak lagi terpisah, karena kehancuran tidak memilih sisi.”

Veyron menambahkan, “Seraphyne adalah pusat dari badai ini. Tapi dia bukan penyebabnya. Dia adalah satu-satunya yang masih mampu menjaga batu api tetap terkekang.”

“Karena ia tidak menguasainya,” kata Tharos, suaranya berat, “Melainkan mengurungnya dalam kehendaknya sendiri.”

Caer menatap Seraphyne dalam-dalam. “Itulah kenapa kami memilihmu. Bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai jiwa yang membuat kami percaya bahwa kehancuran bisa diikat oleh kelembutan.”

Lumira akhirnya bersuara, suaranya seperti nyanyian, “Dan cahaya pun memilih untuk tidak membakar, melainkan untuk membimbing.”

Seraphyne menahan air matanya. “Aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan tidak bisa memegang batu ini tanpa rasa takut.”

“Dan justru itu kekuatanmu,” jawab Tairen.

Veyron maju satu langkah, lalu mengangkat tangannya. “Bergandenganlah.”

Seraphyne merentangkan tangan, dan satu per satu para pemilik batu elemen menggenggamnya. Cahaya dari batu-batu mereka menyatu, menciptakan pusaran energi di atas kepala mereka—lambang persekutuan baru yang belum pernah ada sejak zaman leluhur.

Dan saat itulah Seraphyne merasakan untuk pertama kalinya bahwa dia tidak sendiri.

Bahwa janji yang pernah dibuat di bawah langit dan di atas tanah, kini dilindungi oleh angin, air, cahaya, dan bahkan kegelapan.

Langit di atas gua persembunyian perlahan berubah. Cahaya matahari seolah menyingkir, digantikan oleh kilatan cahaya dari lima batu elemen yang kini bergetar hebat. Udara menjadi pekat, bukan karena ancaman, melainkan karena alam menahan napas—menunggu sebuah momen sakral yang belum pernah terjadi selama ribuan tahun.

Seraphyne berdiri di tengah lingkaran lima penjaga batu, Tairen, Tharos, Veyron, Caer, dan Lumira. Batu Api—yang dahulu menolak bersatu dengan tuannya, kini bergetar di tangan Seraphyne, seakan siap menyatu jika dirinya benar-benar seimbang.

“Buka hatimu,” bisik Lumira, “Jangan kuasai... izinkan mereka memilihmu.”

Seketika, kelima penjaga mengangkat tangan, dan dari batu masing-masing—Angin, Tanah, Air, Kegelapan, dan Cahaya—melesat pancaran energi menuju dada Seraphyne. Tidak ada rasa sakit. Hanya beban yang agung.

 Angin menyelimuti tubuhnya dengan kecepatan, kepekaan, dan kelenturan. Ia bisa merasakan desir terkecil yang berubah arah di dunia.

Air mengalir melalui nadinya, memberi ketenangan, pemulihan, dan kekuatan untuk menyembuhkan bukan hanya luka tubuh, tapi luka jiwa manusia.

Tanah merasuk ke tulangnya, menciptakan daya tahan luar biasa, dan kemampuan untuk berdiri walau dihantam berkali-kali oleh waktu dan kehancuran.

Kegelapan tak menghapus cahaya Seraphyne, melainkan memberi kedalaman—ia kini bisa melihat kebenaran yang disembunyikan, membaca niat di balik bayangan.

Cahaya menyalakan ruhnya, bukan untuk memusnahkan, tapi untuk membimbing, menerangi, dan menjaga keseimbangan seperti mercusuar bagi dunia yang karam.

Dan di tengah semua itu...

Batu Api yang semula memberontak, kini mendekat dan tanpa suara, menyatu di antara kelima kekuatan itu. Api tidak menguasainya, tapi juga tidak lenyap. Batu itu tetap merah membara—namun kini tunduk, karena menemukan tuan yang tidak ingin memilikinya, hanya menjaganya

Tubuh Seraphyne kini bercahaya samar. Matanya menyimpan bias lima warna. Napasnya menyatu dengan alam. Dia bukan sekadar manusia, bukan juga dewi. Dia adalah keseimbangan itu sendiri.

Kekuatan Seraphyne kini dapat menyembuhkan dalam sekejap dengan energi air dan cahaya, bahkan luka magis sekalipun. Bergerak secepat angin, menghindari serangan tanpa terlihat. Menembus kegelapan, melihat kebenaran tersembunyi, dan menahan ilusi atau tipu daya sihir hitam. Mengendalikan tanah dan struktur bumi untuk pertahanan atau perlindungan massal. Mengendalikan api, tapi bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mengikat kehendak yang membelot, bahkan melawan batu kehendak milik Thalean.

Namun Seraphyne bukan tanpa batas. Ia tidak dapat menggunakan semua kekuatan dalam waktu bersamaan tanpa risiko jiwanya terbakar oleh ketidakseimbangan. Oleh karena itu, ia harus tetap berpijak pada niat—jika hatinya goyah, seluruh elemen akan saling menentang.

Ramord yang menyaksikan dari kejauhan berbisik, “Dia bukan hanya penjaga dunia. Dia penyeimbangnya.”

Veyron mengangguk, pelan. “Dan dunia akhirnya memiliki harapan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!