Kevin Darmawan pria berusia 32 tahun, ia seorang pengusaha muda yang sangat sukses di ibukota. Kevin sangat berwibawa dan dingin ,namun sikapnya tersebut membuat para wanita cantik sangat terpesona dengan kegagahan dan ketampanannya. Banyak wanita yang mendekatinya namun tidak sekalipun Kevin mau menggubris mereka.
Suatu hari Kevin terpaksa kembali ke kampung halamannya karena mendapat kabar jika kakeknya sedang sakit. Dengan setengah hati, Kevin Darmawan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Desa Melati, sebuah tempat kecil yang penuh kenangan masa kecilnya. Sudah hampir sepuluh tahun ia meninggalkan desa itu, fokus mengejar karier dan membangun bisnisnya hingga menjadi salah satu pengusaha muda yang diperhitungkan di ibukota.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andy datang menemui Kevin.
Sesuai yang dikatakan Andy, kali ini Andy yang datang menemui Kevin. Sudah hampir satu jam ia menunggu pria itu di lobby. Namun beberapa saat kemudian pria itu akhirnya muncul dihadapannya. Andy langsung bangkit, berdiri ditempat. Sementara langkah Kevin berhenti saat melihat Andy di sana.
"Selamat pagi, Kevin" sapa Andy .
Walau sedikit gugup Andy mencoba tetap tenang. Kevin melangkah pelan mendekat, ekspresinya tenang tapi tajam. Ia menyelipkan satu tangan ke saku celana, sementara mata tajamnya tak lepas menatap Andy.
"Pagi," balas Kevin singkat.
Suaranya datar, tak menunjukkan tanda keheranan meski jelas-jelas tidak mengharapkan kedatangan Andy.
"Aku ingin bicara," ujar Andy tegas, berusaha tak goyah meski aura dingin Kevin menyelimuti mereka.
Kevin melirik jam tangannya lalu memberi isyarat pada sekretarisnya agar tak diganggu.
“Ikut aku.”
Mereka berjalan melewati koridor mewah Kevin Corp, menuju ruangan eksekutif di lantai atas. Suasana di dalam ruangan begitu tenang, hampir mencekam. Kevin duduk di kursinya, menyilangkan tangan, sementara Andy berdiri tegak di hadapannya.
“Aku tahu apa yang kau lakukan,” buka Andy tanpa basa-basi.
“Semua pelanggan toko bunga kami... pengiriman, logistik, semuanya kau atur.” jelasnya.
Kevin hanya menatapnya, tidak terkejut.
“Dan?”
Andy mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi.
“Kau bilang tidak akan ikut campur. Tapi ternyata, kau diam-diam mengendalikan semuanya.”
Kevin bersandar di kursinya, menatap Andy dengan sorot mata penuh perhitungan.
“Aku tidak memaksa Alya menerima bantuan ku. Dia bahkan tidak tahu.”
“Itulah masalahnya!” potong Andy.
“Kau tidak memberinya pilihan. Kau ingin dia percaya kalau semua ini hasil kerja kerasnya, padahal diam-diam kau membangun pijakan untuk membuatnya kembali padamu.”
Kevin terdiam sejenak. Lalu, perlahan ia berkata,
“Aku hanya ingin memastikan dia tidak jatuh lagi, Andy. Aku sudah menjatuhkannya sekali... dan aku tak akan membiarkannya terjadi dua kali.”
Andy tertawa sinis, meski getir.
“Kau ingin menebus kesalahan, tapi caramu salah. Kau tetap memanipulasi, menyusun skenario, dan berharap dia akhirnya akan memilihmu lagi.”
Kevin menatap Andy, kali ini dengan sorot mata yang berbeda ada luka yang ia sembunyikan di balik ketegasannya.
“Dia bahagia bersamamu?” tanyanya pelan.
Andy terdiam sejenak, lalu menjawab,
"Tentu, kau melihatnya, bukan ?".
Kevin menunduk sesaat, lalu mengambil sebuah map dari lacinya. Ia meletakkannya di meja, mendorongnya ke arah Andy.
“Kontrak Bloom Revival. Nama mu tertera sebagai pemilik saham utama. Aku tidak mengambil satu persen pun. Kalau kau ingin benar-benar terwujud maka... Tinggalkan Alya."
Andy membuka map itu, membaca beberapa bagian. Ia menatap Kevin dengan heran.
“Kenapa kau lakukan ini?”
Kevin menatap keluar jendela, matanya kosong sejenak.
"Dari awal, Alya milikku. Maka aku akan mengambil apa yang sudah menjadi milikku."
Andy mengepalkan tangannya. Urat di lehernya mulai tampak, menahan gejolak emosi yang bergemuruh dalam dadanya. Ia mengatupkan rahang, lalu menatap Kevin tajam, sorot matanya tak lagi tenang.
“Jadi ini semua tentang kepemilikan bagimu?” tanyanya lirih, namun tegas.
“Alya bukan benda yang bisa kau ambil kembali hanya karena dulu kalian punya masa lalu.” lanjutnya.
Kevin bangkit dari kursinya, berdiri di depan Andy. Tubuhnya tegap, wajahnya dingin.
“Aku mencintainya, Andy. Mungkin caraku salah, tapi perasaanku tidak.”
Andy melangkah lebih dekat, kini hanya berjarak satu lengan dengan Kevin.
“Cinta yang kau klaim itu justru menyakiti. Kau ingin menebus masa lalu, tapi sekarang malah menawarkan kontrak dengan syarat, Itu bukan cinta. Itu masih keegoisanmu.”
Kevin menatapnya tanpa berkedip.
“Aku hanya tidak ingin dia terseret lebih dalam, dalam dunia yang bisa menghancurkannya. Aku pikir... dengan menyingkirkan mu, dia akan punya alasan untuk kembali. Aku tahu dia masih punya ruang untukku di hatinya.”
Andy menggeleng pelan, kecewa.
“Kalau kau benar-benar peduli pada kebahagiaannya, seharusnya kau biarkan dia memilih. Bukan mengatur panggung dan menyodorkan kesepakatan kotor seperti ini.”
Kevin diam. Sekilas, wajahnya tampak goyah, tapi ia cepat menyembunyikannya di balik ekspresi tegas.
“Ambil atau tinggalkan, Andy. Kesempatan ini hanya datang sekali.” katanya dingin.
Andy menatap map di tangannya, lalu kembali menatap Kevin.
“Aku lebih memilih kehilangan bisnis daripada kehilangan Alya. Kalau harus memilih, aku akan selalu pilih dia. Tanpa syarat, tanpa kontrak, tanpa manipulasi.”
Dengan gerakan tegas, Andy menutup map itu dan meletakkannya kembali di atas meja Kevin.
“Kau boleh punya segalanya, Kevin. Tapi satu hal yang tidak akan pernah bisa kau punya lagi adalah... hatinya.”
Tanpa menunggu jawaban, Andy berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu, langkahnya tegap dan tak ragu. Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi klik yang menggema.
Kevin tetap berdiri di tempatnya. Matanya memandangi map yang belum sempat ia ambil kembali. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. Untuk pertama kalinya... ia menyadari bahwa kali ini, mungkin bukan kemenangan yang sedang ia kejar tapi keikhlasan yang belum ia mampu gapai.
***
Hari itu menjadi hari yang sangat sulit bagi Kevin. Setelah Andy pergi, ruangan itu terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Map yang tertinggal di atas meja seakan mengejeknya simbol dari pertaruhan yang gagal, bukan karena kalah secara strategi, tapi karena ia salah memahami makna cinta yang sebenarnya.
Ia berjalan perlahan ke jendela besar yang menghadap kota. Dari lantai atas itu, semua terlihat kecil. Tapi yang terasa sempit justru dadanya sendiri. Sesaat, wajah Alya melintas dalam benaknya senyumnya, tawanya, tatapan kecewanya saat mereka terakhir kali bertemu.
Kevin menutup matanya, mencoba menenangkan diri. Tapi yang datang justru suara Andy, kalimat yang terus terngiang:
“Kalau harus memilih, aku akan selalu pilih dia. Tanpa syarat, tanpa kontrak, tanpa manipulasi.”
Itu adalah hal yang tak pernah bisa ia lakukan. Cintanya selalu bersyarat, dibungkus logika, dibangun dengan strategi. Padahal mungkin... Alya hanya butuh ketulusan.
Sementara itu, di tempat lain, Andy melajukan mobilnya menuju toko bunga mereka. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih dipenuhi kemarahan, tetapi lebih dari itu... ada kekhawatiran. Bagaimanapun juga, Kevin bukan orang biasa. Dan pria itu jelas tidak akan menyerah hanya dengan satu penolakan.
Sesampainya di toko, Alya sedang menyusun bunga bersama salah satu staf. Begitu melihat Andy datang, senyum manisnya langsung merekah.
“Kamu ke mana saja? Tadi pagi aku tidak sempat lihat kamu pergi,” tanya Alya, mendekat sambil menghapus sisa bunga dari tangannya.
Andy memeluknya sejenak, seolah ingin memastikan dirinya nyata, masih di sisinya.
“Aku menemui Kevin,” jawabnya singkat.
Alya menatap Andy, matanya melebar,
"Kevin."
Andy mengangguk, lalu mengelus rambut wanita itu lembut.
“Aku akan ceritakan nanti. Tapi... apapun yang terjadi, aku ingin kau tahu satu hal.”
“Apa?”
“Aku memilih kamu, Alya. Selalu.”
Alya mengerutkan kening, bingung, tapi hatinya hangat karena ketulusan itu.
“Aku juga pilih kamu,” ucapnya pelan.
Andy memeluknya lagi, lebih erat kali ini. Di balik pelukan itu, ia tahu akan ada banyak yang harus dihadapi ke depan. Tapi selama mereka tetap bersama, ia percaya bisa melewati semuanya. Namun di luar sana... Kevin belum selesai.
Malamnya, Kevin duduk sendiri di kantor. Ruangan sudah sepi. Ia membuka ponselnya, menatap kontak bernama Alya, tapi tak menekan tombol apa pun. Lalu, tiba-tiba suara pintu diketuk. Ia menoleh. Seorang wanita masuk. Dengan sepatu hak tinggi, gaun merah marun, dan tatapan licik yang tersamar senyum manis.
“Selamat malam tuan Kevin Alfonso."
Cinta datang tanpa qta sadari,, dia tumbuh d dlm hati dlm kelembutan dan kasih sayang...,, bila kau memaksanya utk tumbuh dan d sertai dgn ancaman atwpun kebohongan ,, cinta itu akan berbalik menjauhimu.... Jangan lakukan sesuatu yang akan semakin membuatmu menyesal lebih dalam lagi tuan Kevin.
Tapi,, ga ap2 sih biarlah semua mengalir apa adanya,, biar waktu yg akan mengajarkan kedewasaan,, kebijaksanaan dan kesabaran serta keikhlasan utk Alya dan tuan Kevin. Karna aq yakin...,, mau kemana pun kaki melangkah,, dia tetap tau dimana rumahnya,, kemana pun hati akan berselancar,, dia akan tetap tau dimana rumah utk kembali.
Trus,, pelan2 dekati alyanya...,, jangan maksa2....,, ntar Alya kabur lagi.
Tapi,, Alya jangan mau d ajak pulang sama tuan Kevin yaaa,, Krn masih ad si ular Soraya d rumah.