Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Tahta di Rumah Sunyi
Meisya datang dengan langkah ringan mengikuti Marvel yang mendahuluinya. Seluk beluk rumah kakaknya ini, masih sama persis dengan terakhir kali ia ke sana. Setiap langkah, ia membawa aroma parfum mahal dan aura dingin yang kontras dengan kelembutan suasana rumah pagi itu.
Sorot mata Meisya langsung tertuju pada gadis yang lebih muda tapi memiliki tahta lebih tinggi darinya. Alisnya sedikit terangkat, senyumnya mengembang dengan lekukan yang terlalu manis untuk disebut ramah.
"Halo, Kakak Ipar?" ucapnya lirih, namun cukup nyaring untuk membuat suasana jadi sunyi seketika.
Naila menunduk dengan sopan mengulurkan tangan. "Iya, Mbak ... Kak ... Adik Ipar." Dia merasa bingung harus menyapa adik iparnya ini bagaimana. Karena, dari ingatan tentang gadis hoodie pink, bagaimana penampilannya, dan senyuman kecut yang terasa sampai ke hati.
"Hmm, kenapa kau terlihat ragu seperti itu?" Meisya menyapu Naila dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan tak tersamar. "Lucu juga. Seorang mahasiswa yang baru tamat SMA."
Naila tersenyum kecut, tidak tahu harus bagaimana menjawab serangan tiba-tiba seperti ini.
"Delapan belas, ya?" lanjut Meisya. "Usia yang... penuh impian." Ia tertawa tetapi ada jeda singkat di matanya mengingat sesuatu.
"Kalau aku, waktu umur segitu masih sibuk ikut lomba karya tulis ilmiah dan melakukan eksperimen di kampus. Tapi kamu—" Ia menoleh pada sang ibu sejenak sebelum kembali menatap Naila,
"—ambisius rupanya. Langsung loncat ke status istri seorang dokter."
"Meisya?" Suara Bu Juwita terdengar, memberi peringatan.
Namun Meisya masih dalam senyum sinisnya. "Tenang, Ma. Aku cuma heran. Pasti pernikahannya sangat... terburu-buru, ya?"
Naila menunduk lagi, menggenggam ujung kerudungnya yang lembut. Ada desiran panas di pipinya, tapi ia berusaha tetap tenang. Karena ia tahu, apa pun yang akan disampaikannya akan dipelintir dan ujung-ujungnya ia akan tetap lah salah.
"Kamu dari mana, Naila?" tanya Meisya. "Maksudku, asal keluarga. Karena terus terang... aku nggak sempat cari tahu karena kalian menikah mendadak. Terlalu banyak kejutan. Atau mungkin—" Ia melirik Naila hingga ke bagian inti tubuh Naila.
"Mungkin apa Mbak? Saya memang hanya gadis kampung, Mbak. Tapi saya bukan wanita seperti yang kamu pikirkan." Kali ini, dia tidak bisa lagi diam.
Martin menyentuh pundak Naila. "Meisya? Apa maksudmu?"
"Kak, dia hanya orang biasa. Memang sedikit mirip dengan Kak Rianti. Tapi tolong sadar, Kak! Mereka orang yang berbeda! Jangan sampai semua orang yang mirip Kak Rianti, kau nikahi!"
"Harusnya Kakak bisa lebih cerdas memilih." Akan tetapi, raut tajam kembali menghujam Naila. "Oh ya, aku baru sadar. Berarti dia sangat hebat, karena bisa masuk ke kehidupan kakakku yang... luar biasa."
Naila tidak menjawab. Matanya menatap Martin, beralih pada Rindu, lalu kembali menunduk.
Martin hendak bereaksi dengan ucapan Meisya barusan. Namun, Naila menahan dan menggelengkan kepala.
"Kalau nggak salah, kamu masih kuliah, ya? Dapat beasiswa kabarnya?" Meisya menoleh setengah tak percaya.
"Tapi bukannya ada aturan, ya? Nggak boleh menikah selama dapat beasiswa? Atau sekarang peraturannya udah nggak se ketat dulu?"
"Meisya," kata Bu Juwita lebih tegas. "Hentikan! Ini tak seperti yang ada dalam pikiranmu."
"Ma, aku cuma ingin kenal lebih dalam dengan kakak ipar baruku," sahut Meisya memasang wajah manis.
"Biar lebih... akrab."
Ia menyesap air mineral dari gelas yang baru diambil, lalu berdiri dengan santai. "Kalau kamu butuh bantuan ngurus anak-anak, boleh kok panggil aku. Aku punya banyak referensi pengasuh yang profesional. Yang... ya, memang sudah biasa kerja di lingkungan seperti ini. Karena sang pengasuh telah naik tahta."
Martin berdiri, tubuhnya tegak dan tatapannya tajam mengarah pada adiknya sendiri. Suaranya terdengar datar, namun ada bara yang menyala di balik setiap katanya.
"Meisya, kali ini kamu sungguh keterlaluan. Jika kamu seperti ini, aku tak bisa memaafkanmu. Kau telah merendahkan wanita pilihanku. Itu sama artinya kamu tak menghormatiku sebagai kakakmu."
Seketika, udara dalam ruangan seperti mengeras. Meisya tampak terdiam, mungkin tak menyangka kakaknya yang selalu tenang itu akhirnya angkat suara. Bahkan Marvel, yang biasanya hanya menanggapi segalanya dengan candaan, kini memilih untuk tidak bersuara.
Martin berbalik, memandang Naila yang berdiri mematung, matanya mulai berkaca. Ia mendekat, menggenggam tangan gadis itu dengan lembut.
"Naila bukan hanya pengasuh anak-anakku. Dia adalah orang yang mengembalikan harapan di rumah ini, yang membuat Rindu dan Reivan tersenyum lagi… dan yang membuatku belajar menyembuhkan diriku sendiri."
Naila menunduk, air matanya jatuh, namun ia cepat mengusapnya. Tapi Martin tak melepaskan genggamannya.
"Kalau kamu anggap dia tak pantas, maka kamu belum cukup mengenalnya, Meisya. Dan jika status sosial jadi tolak ukurmu, maka kamu telah melupakan ajaran Papa dan Mama."
Bu Juwita maju satu langkah, berdiri di sisi Naila. "Anak ini mungkin muda, tapi hatinya besar. Dan dalam keluarga ini, kami belajar menerima bukan dari latar belakang, tapi dari ketulusan. Naila telah membuktikan itu, setiap hari, sejak ia datang ke rumah ini."
Meisya memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Mungkin egonya terlalu tinggi untuk langsung mengalah, tapi sorot matanya sedikit berubah—ada riak tak terdefinisi, entah itu malu, atau bingung.
Marvel akhirnya buka suara, melangkah ringan ke sisi Meisya.
"Kamu tahu, Mei," ujarnya pelan, "Kita sering menilai orang terlalu cepat. Kalau Rindu aja bisa sayang sama Naila tanpa ribet tanya status sosial, masa kita kalah sama anak kecil?"
Hening kembali menyelimuti ruangan. Meisya tidak membalas. Tapi ia juga tidak pergi. Ia hanya diam, menyandarkan diri di pinggiran meja dengan ekspresi datar.
Martin menatap wajah Naila yang mulai tenang, lalu memeluk bahunya.
"Kamu nggak sendiri, Naila. Di sini, kamu punya aku. Dan kamu tak perlu membuktikan apa pun pada siapa pun."
Kali ini, Naila yakin dalam tatapan Martin—matanya yang dulunya dingin, kini memancarkan kehangatan dan perlindungan yang nyata. Di hadapan semua orang, termasuk statusnya, Martin akhirnya memilih berdiri di sampingnya.
Marvel berdiri mematung, menyaksikan adegan itu. Genggaman tangan kakaknya pada Naila, tatapan lembut yang selama ini tak pernah ia lihat dari seorang Martin. Bukan sekadar pelukan atau kata-kata, tapi sikap yang tak terbantahkan—bahwa Martin telah memilih. Dan pilihannya bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai lelaki yang membuka hatinya lagi.
Ada rasa aneh di dada Marvel, semacam silet yang perlahan menggores bagian dalamnya.
Ia tersenyum kecil, berusaha tetap tampak santai seperti biasa. "Wah, suasana jadi makin haru, ya," katanya ringan, meski suaranya terdengar sedikit serak.
Naila menoleh padanya, hendak membalas senyum itu, tapi pandangan Marvel segera berpaling. Ia tidak sanggup menatap mata gadis itu terlalu lama. Terlalu banyak hal yang ingin ia sampaikan, tapi tak satupun bisa diucapkan tanpa merusak semuanya.
'Kenapa rasanya sesakit ini?'