Masa lalu yang kelam mempertemukan dua saudara kandung dalam cinta yang rumit, mereka jatuh hati pada pria yang sama. Rasa iri dan pengkhianatan tumbuh di antara keduanya, hingga akhirnya lahirlah seorang anak, buah dari hubungan yang tak pernah jelas asal-usulnya. Di balik cinta segitiga itu, ada sosok pria lain yang diam-diam mencintai salah satu dari mereka, membuat rahasia dan luka lama semakin sulit diurai.
Ketika kebenaran mulai terungkap, siapakah yang benar-benar layak disebut ibu? Dan siapakah ayah dari sang anak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 32
Kamala memeluk Reyna erat di pangkuannya. Mereka duduk berdua di sofa ruang tamu rumah Affan, dalam keheningan yang hanya diisi suara detak jam dinding. Reyna tampak sudah mulai mengantuk, namun ia tetap berusaha membuka matanya, seolah takut jika ia tertidur, Kamala akan pergi.
Kamala mengusap lembut rambut Reyna, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ia masih memikirkan perdebatan tadi dengan Ratna. Sorot mata Ratna, kata-katanya, senyuman penuhnya yang mengancam, semuanya terus terngiang-ngiang di pikirannya.
Apakah aku sudah membuat keputusan yang benar? pikir Kamala. Tapi, saat ia menunduk dan melihat Reyna yang memeluknya erat, ia tahu satu hal dengan pasti: ia tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan mereka.
Sementara itu, dari sudut ruangan, Affan berdiri diam, bersandar pada dinding dengan kedua tangan terlipat di dada. Matanya mengamati Kamala dan Reyna dalam keheningan. Ada gejolak yang tak ia ucapkan, rasa ingin melindungi, tapi juga kegelisahan yang perlahan mencengkeram hatinya.
Ia melihat sendiri bagaimana Ratna memperlakukan Kamala. Ancaman tersembunyi itu bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Affan tahu, jika ia membiarkan Kamala dan Reyna sendirian menghadapi semua ini, mereka akan dalam bahaya.
Affan melangkah mendekat, lalu duduk di sofa seberang Kamala. Suaranya terdengar lembut namun tegas, berusaha memberikan ketenangan.
"Sudahlah, Kamala, jangan terlalu dipikirkan," ucap Affan sambil menatap Kamala penuh perhatian.
"Kau sudah mengambil keputusan yang benar. Selama aku di sini, kau tidak perlu khawatir. Aku akan bantu melindungi kalian berdua."
Kamala menunduk, untuk menahan air mata yang hampir jatuh. Ia begitu lelah, tapi kata-kata Affan terasa seperti pelindung yang membungkus dirinya dan Reyna dalam kehangatan.
"Aku hanya takut, Affan..." bisik Kamala lirih. "Aku takut keputusannya yang aku buat ini salah."
Affan menggeleng pelan, mendekatkan tubuhnya sedikit. "Tidak, tidak ada yang salah, Kamala," katanya dengan suara mantap. "Kau hanya memilih apa yang terbaik untuk dirimu dan Reyna. Itu sudah pilihan yang tepat."
Kamala mengusap lembut pipi Reyna yang tertidur di pangkuannya, sambil menatap wajah manisnya tanpa menjawab perkataan Affan.
Affan tersenyum tipis melihat kekhawatiran di wajah Kamala yang belum juga surut. Ia lalu bangkit berdiri, berjalan pelan ke arah jendela untuk memastikan semuanya aman, sebelum kembali memandang Kamala dan berkata dengan lembut,
"Ya sudah kalau begitu... kau tidurlah dengan tenang. Besok pagi-pagi sekali, aku akan pergi ke toko. Dan Aku harap kau jangan terlalu memikirkan hal itu terus."
Kamala hanya mengangguk pelan, matanya sudah berat, namun pikirannya masih penuh dengan kekhawatiran. Ia menunduk, mengecup kening Reyna yang kini benar-benar terlelap di pangkuannya.
Melihat itu, Affan mendekat lagi, lalu menunduk sedikit, menatap Kamala dengan penuh ketulusan.
"Aku janji, Kamala... mulai sekarang kalian adalah bagian dari hidupku."
Dengan kata-kata itu, Affan perlahan membenahi posisi Reyna agar lebih nyaman di pelukan Kamala. Ia kemudian mengambil selimut dari lemari kecil di sudut ruangan, menyelimutkan mereka berdua dengan gerakan lembut.
Lampu utama ia padamkan, menyisakan cahaya temaram dari lampu sudut. Ia lalu duduk di kursi dekat pintu, menjaga, dengan matanya tetap awas menatap ke luar jendela.
******
Sinar matahari baru saja menembus jendela ruang tamu, membanjiri ruangan dengan kehangatan yang lembut. Kamala baru saja selesai membereskan dapur kecil, sementara Reyna masih terlelap di kamar. Suasana tenang itu tiba-tiba pecah oleh suara ketukan keras di pintu depan.
Dug dug dug!
Ketukan itu kasar, terburu-buru, seolah yang di luar sana tidak sabar untuk menunggu. Kamala tersentak, jantungnya berdegup kencang. Dengan gugup, ia berjalan ke arah pintu, mencoba mengintip dari celah gorden. Namun sebelum ia sempat melakukan apa pun, suara seorang wanita paruh baya terdengar dari luar, lantang dan marah.
"Kamala! Aku tahu kau ada di dalam! Buka pintu ini sekarang juga!" teriaknya.
Kamala menelan ludah, wajahnya pucat. Ia mengenali suara itu. Suara wanita yang setahun lalu pernah ia hindari. Seorang penagih hutang yang dulu pernah memberikan pinjaman besar padanya ketika hidupnya benar-benar di ujung tanduk... dan yang sayangnya belum pernah ia bayar kembali.
Tangannya bergetar, panik. Affan sudah pergi ke toko sejak pagi buta, dan kini ia sendirian. Reyna masih tertidur, tidak tahu apa-apa tentang kekacauan yang tengah mendekat.
Dug dug dug!
"Kamala! Jangan pura-pura tidak ada! Kau pikir kau bisa kabur selamanya, hah?"
Wanita itu terus berteriak dan menghantam pintu dengan keras. Kamala memeluk dirinya sendiri, bingung harus berbuat apa. Ia takut membangunkan Reyna, namun ia juga tak berani menghadapi wanita itu.
Dengan cepat, Kamala memutuskan untuk mengunci semua pintu dan jendela, lalu bersembunyi di balik dinding, berharap wanita itu pergi. Tapi hatinya tahu, masalah ini tidak akan selesai hanya dengan bersembunyi.
Dari luar, terdengar suara wanita itu bergumam kesal, lalu suara langkah kaki berat menjauh dari pintu. Namun, Kamala tetap berdiam diri, tidak berani bergerak sedikit pun. Napasnya memburu, tangannya menggenggam erat gaun tidurnya.
Ia sadar, masa lalunya perlahan mulai mengejarnya lagi.
Belum sempat Kamala menarik napas lega, tiba-tiba suara benturan keras terdengar dari pintu.
BRAK!
Kamala terlonjak kaget. Dengan mata melebar, ia melihat pintu depan mulai bergetar hebat. Beberapa pria berbadan besar, anak buah wanita paruh baya itu, berusaha mendobrak masuk.
"Ayo! Dobrak saja! Dia pasti di dalam!" teriak wanita itu dengan suara penuh amarah.
BRAK! BRAK!
Kamala memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar. Ia menoleh ke arah kamar, memastikan Reyna masih tidur. Tidak boleh ada yang menyentuh anak itu. Tidak boleh!
Dengan suara berderak yang mengerikan, akhirnya pintu itu terbuka paksa. Kayunya terbelah sebagian, dan wanita paruh baya itu bersama dua pria langsung menerobos masuk ke dalam rumah.
Kamala membeku di tempat, berdiri di antara ruang tamu dan lorong menuju kamar Reyna. Matanya penuh ketakutan saat wanita itu menatapnya dengan penuh kemarahan.
"Ketemu juga kau, Kamala!" serunya, melangkah maju dengan sorot mata tajam. "Kau pikir bisa lari dari hutangmu selamanya?!"
Kamala mundur setapak, punggungnya hampir menempel di dinding. "Tolong... jangan berisik. Ada anak kecil di sini..." katanya dengan suara bergetar.
Wanita itu tertawa sinis. "Anak kecil? Bukan urusanku! Yang aku mau hanya uangku kembali!"
Salah satu pria mendekat, mengancam. Kamala merapatkan tubuhnya ke dinding, melindungi jalan menuju kamar Reyna.
"Aku... aku akan bayar! Tapi tidak sekarang. Kumohon beri aku waktu!" pintanya panik.
Wanita itu mendekat dengan senyum kejam. "Tidak ada lagi kata 'nanti', Kamala. Kalau kau tidak bayar hari ini juga, jangan salahkan aku kalau aku ambil sesuatu yang lebih berharga darimu."
Wanita paruh baya itu mengedarkan pandangan tajam ke seluruh ruangan, lalu melambaikan tangan kepada salah satu anak buahnya. "Kau, cari di dalam! Ambil barang berharga apa saja yang bisa kau bawa!"
Pria itu mengangguk kasar, lalu segera menyusuri rumah, membuka laci, lemari, dan membongkar segala sudut ruangan tanpa ragu. Kamala hanya bisa berdiri kaku, memeluk dirinya sendiri, jantungnya berdegup keras. Ia tidak berani bergerak, takut membuat keadaan semakin memburuk.
Suara pintu-pintu dibanting, laci dibuka dengan kasar, dan barang-barang berjatuhan terdengar memenuhi rumah. Reyna, yang sebelumnya tertidur, mulai menggeliat di dalam kamar. Kamala menoleh panik, berharap Reyna tidak terbangun dan melihat kekacauan ini.
Lima menit berlalu. Pria itu kembali ke ruang tamu dengan napas memburu, wajahnya kesal.
"Bu, nggak ada apa-apa di sini. Rumah ini kosong dari barang berharga," lapornya.
Wanita paruh baya itu mengernyit tajam, seakan tak percaya. Ia mengamati sekitar, memperhatikan sofa yang lusuh, meja sederhana, dan perabotan yang tampak seadanya. Jelas tidak ada yang bisa diambil atau dijual.
"Brengsek!" makinya, menatap Kamala dengan tatapan benci. "Kau tinggal di tempat reot begini, tapi berani-beraninya kabur bawa hutangku?!"
Kamala menunduk, menggenggam ujung bajunya erat-erat untuk menahan rasa takut dan malu yang membanjiri dirinya.
Wanita itu melangkah maju, menudingkan jarinya ke arah Kamala. "Dengar baik-baik, Kamala! Aku tidak akan pergi begitu saja. Kau berutang banyak padaku, dan aku akan tagih itu sampai ke liang kuburmu kalau perlu!"
Setelah meludah ke lantai dengan penuh hinaan, wanita paruh baya itu berbalik sebentar, lalu menatap Kamala dengan tatapan licik.
"Tunggu," katanya dingin. Ia melirik anak buahnya yang masih berdiri tak jauh dari Kamala. "Bawa anak itu. Jadikan dia jaminan. Sampai Kamala membayar semua utangnya."
Kamala tersentak, matanya membelalak. "Jangan!" serunya panik, langsung bergerak melindungi Reyna yang masih tertidur di kamar.
Namun dua orang anak buah wanita itu lebih cepat. Mereka menerobos masuk ke kamar, dan dalam hitungan detik, salah satu dari mereka menarik Reyna dari tempat tidurnya.
Reyna terbangun dengan tangisan keras, ketakutan karena tidak mengerti apa yang terjadi. Kamala berusaha merebut Reyna kembali, namun tubuhnya didorong kasar hingga terjatuh ke lantai.
"Reyna!" jerit Kamala histeris, berusaha bangkit, namun satu tangan kasar mendorongnya kembali.
Wanita paruh baya itu hanya menyeringai sinis melihat perjuangan sia-sia Kamala. "Kalau kau mau anakmu kembali dengan selamat, lunasi semua utangmu. Atau... bersiaplah menyesal seumur hidupmu."
Dengan itu, mereka menyeret Reyna keluar rumah. Suara tangisan Reyna menggema di seluruh ruangan, membuat hati Kamala terasa seperti dicabik-cabik.
Kamala merangkak ke ambang pintu yang rusak, tubuhnya gemetar hebat, mulutnya memanggil-manggil nama Reyna, namun hanya gema kesedihan yang menjawab.