Kematian adik perempuannya yang tragis membuat Rama berubah 180 derajat. Apa lagi ketidak mampuannya sebagai aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa dalang dibaliknya membuatnya menjadi lebih frustasi lagi. Hal itulah yang membuatnya selalu bertindak keras terhadap apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Hingga sebuah hukuman dari sang komandan membawanya pada keputusan lain.
Namun peristiwa bom bunuh diri di sebuah kafe di tengah kota membawanya bertemu dengan seorang wartawan lepas yang sedang berjuang mempertaruhkan kariernya di kantor berita nasional.
Kaysa Mella yang sedang mencari bahan pemberitaan untuk menaikkan jenjang kariernya di dunia jurnalis yang sangat dia cintai seperti pengembara yang menemukan oase di tengah padang pasir saat bertemu dengan Rama.
Apakah yang akan terjadi setelah mereka bertemu? lebih banyak drama ataukah tragedi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan
*
*
Senyuman Rama menjadi hal yang paling sering Kaysa lihat akhir-akhir ini. Pria itu bahkan cenderung lebih banyak bicara di bandingkan pada saat awal-awal mereka berkenalan untuk proyek beritanya kala itu. Dan kehadirannya di antara dirinya dan Aslan menjadi hal biasa kini.
Seperti halnya sore ini, pria itu datang seperti janjinya kepada Aslan untuk mengajak anak itu keluar rumah.
"Aku pikir kamu tidak serius untuk mengajak Aslan lari?" ucap Kaysa yang menyiapkan pakaian olah raga Aslan, lalu menyerahkannya kepada putranya.
"Ganti bajumu di kamar ya?" katanya kepada Aslan.
"Oke." anak itu meraih pakaiannya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar.
"Bukan lari, hanya jalan-jalan sebentar. Sudah berapa lama dia tidak keluar rumah?" Rama menenggak minuman dingin yang di hidangkan Kaysa untuknya.
"Memangnya kamu tidak ada tugas?"
"Mmm ... belum ada panggilan." Rama menjawab.
"Waktu tugasmu tidak tentu ya?"
"Begitulah, tapi harus siaga kapanpun di perlukan." pria itu tersenyum lebar.
"Bagaimana kalau sedang ada acara penting dan di waktu yang bersamaan ada panggilan tugas?" Kaysa mulai penasaran.
"Ya aku pergi."
"Walaupun itu acara yang sangat penting untukmu?"
"Ya." Rama mengangguk.
"Acara keluarga juga?"
"Ya."
"Tidak bisa izin atau menolak?"
"Tidak bisa. Itu sudah menjadi resiko pekerjaan, dan aku harus siaga setiap waktu."
"Bagaimana kalau kamu sedang melangsungkan pernikahan?"
Rama mengerutkan dahi.
"Pernikahan apanya? aku kan jomblo." pria itu terkekeh.
"Ish, ... itu terus yang di ingat?"
"Kan kamu yang sebut aku begitu?"
"Hanya bercanda pak."
"Tapi bercandamu terdengar serius bu."
Kaysa memutar bola matanya.
"Misalnya ini lho ya, misalnya?"
"Sekali tugas, tetap tugas. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk melaksanakannya. Walau sedang ada masalah pribadi sekalipun." jelas Rama.
"Begitu ya? sepenting itukah pekerjaanmu?"
"Bukan masalah penting atau tidak, tapi keselamatan negara tergantung padaku dan tim."
"Wow? tim? berarti bukan hanya kamu?"
"Iya."
"Lalu, apa kamu dan timmu semacam superhero? yang bekerja secara rahasia?"
"Mmm ... sebutlah seperti itu."
"Dan aku mengenal salah satunya?"
Rama menggendikkan bahu.
"Tapi seingatku, aku tidak pernah melihat berita peristiwa yang melibatkanmu sekarang ini?"
"Tidak akan."
"Kenapa?"
"Kamu tahu arti rahasia? itu artinya tidak pernah terlihat, terdengar, apa lagi di publikasikan."
"Diam-diam?"
"Yup."
"Oh, ...
"Kami seolah-olah tidak pernah ada."
"Begitu ya? lalu ...
"Jangan tanya soal pekerjaanku lagi, bisa-bisa aku membuka rahasiaku kepadamu. Dan itu jelas di larang." tukas Rama, yang membuat Kaysa seketika bungkam.
"Kamu bukan lagi wartawan, tapi pertanyaan-pertanyaanmu seolah kamu masih bekerja di bidang itu."
"Oh, ... seandainya saja aku masih bekerja sebagai wartawan, bisa saja kan kalau aku ...
"Bahkan jangan berani untuk memikirkannya Kay!" Rama memperingatkannya seraya berjalan mendekat.
"Kenapa? mencari berita adalah minatku sejak SMA. Aku dikenal wartawan andalan sekolah waktu itu tahu!" Kaysa dengan bangganya.
"Tidak heran kamu segigih itu waktu pertama kali kita bertemu?" jarak mereka kini hanya sekitar setengah meter saja.
"Jelas, jiwa jurnalisku ini sangat kuat, dan aku harus mendapatkan berita yang aku inginkan."
"Keras kepala." Rama bergumam.
"Memang, makanya aku berhasil mewawancaraimu kan?"
"Yeah, ..."
"Itu juga yang membuat Mas Radit menceraikanku. Dia juga menyebutku si keras kepala."
"Tidak heran. Dia sepertinya menyukai perempuan penurut."
"Memang, yang pasrah saja ketika di perlakukan semaunya. Sementara aku tidak seperti itu."
"Baiklah ibu keras kepala, cukup membicarakan mantan suamimu, karena aku mulai merasa tak menyukainya."
"Aku juga tidak menyukainya."
"Tidak menyukainya tapi kalian menikah dan punya Aslan?" Rama mengejek.
"Oh ya, ... itu hanya sebuah ketidak sengajaan saja."
"Tidak sengaja?" Rama tergelak. "Lucu sekali mendengarmu berkata seperti itu, ..."
"Tidak ada yang lucu dari hidupku pak, tapi Aslan adalah hal terbaik yang aku punya. Walau aku memilikinya dari ketidak sengajaan."
"Hmm ..." mereka saling memindai wajah masing-masing.
"Kamu menjalani pernikahan itu tanpa perasaan heh?" Rama maju dua langkah sehingga jarak mereka semakin dekat.
Kaysa terdiam.
"Kenapa?"
"Kami di jodohkan." perempuan itu menjawab.
"Dan kamu pasrah saja?"
"Tidak ada yang bisa aku lakukan. Mantan mertuaku adalah atasan ayahku, dan Mas Radit harus segera menikah untuk memenuhi syarat sebagai pewaris perusahaan keluarganya. Sementara kekasih yang dia miliki tidak di setujui oleh orang tuanya."
"Jadi kamu hanya sebagai tumbal?"
"Mungkin bisa di sebut seperti itu."
"Lalu apa yang membuatmu bersikeras berpisah darinya, padahal dulu kamu menerima perjodohan itu?"
"Aku baru lulus SMA, dan tidak tahu apa pun. Hanya berpikir untuk berbakti kepada orang tua, dan meyelamatkan keluarga kami dari kebangkrutan. Juga mengira semuanya akan baik-baik saja setelah itu, tapi aku salah."
"Tahu rasanya di jadikan tambang uang oleh keluargamu, dan aku harus menanggung semua kesakitan itu sendirian? tidak ada yag mendukung dan tidak ada yang mengerti. Bahkan di saat tersulit ketika aku memutuskan keluar dari rumah Mas Radit pun tidak ada sanak saudara yang menerimaku. Apa lagi keluargaku. Mereka semua menyalahkan aku, dan menyebutku sebagai perempuan yang tidak bersyukur karena memilih berpisah dari suami kaya raya."
"Aku sendirian, Ram. Bahkan sampai sekarang." Kaysa terkekeh getir.
Rama memutuskan untuk mendengarkannya berbicara panjang lebar. Seraya menatap wajah ayunya lekat-lekat. Siapa yang mengira bahwa perempuan cantik di depannya ini menjalani hidup sesulit itu, padahal keluarganya masih ada. Tidak seperti dirinya, yang sendirian sejak lama. Sanak saudara pun berada jauh, dan dia tak terlalu mengenal mereka dengan baik.
"Kamu tahu, dalam hal ini kita sama-sama sendirian." Rama kembali buka suara, dan dia semakin mendekat.
"Jadi, ... bagaimana jika misalnya kita putuskan untuk bersama saja?" lanjut pria itu, dan dia meraih tangan Kaysa kemudian menautkan jari-jari mereka.
Kaysa terdiam.
"Maukah kamu untuk menjadi tempat pulangku?"
"Bukankah kamu memang selalu pulang ke sini setiap selesai bertugas?" Kaysa tertawa.
"Ck! itu suda jelas."
"Lalu kenapa kamu mengatakannya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di antara kita?"
Rama mengerutkan dahi.
"Terjadi sesuatu?"
"Uh'um."
"Apakah sesuatu itu berarti bahwa kita ini ...resmi berhubungan?" Rama mengikis jarak di antara mereka.
"Aku tidak tahu, mungkin saja kamu tidak bermaksud begitu. Dan aku tidak mau terlalu berharap karena takut tidak sesuai dengan harapanku, jadi ...
"Harapanmu?" Rama memotong perkataannya.
"Yah, begitulah. Sepertinya aku mulai berharap kepadamu jadi ...
"Apa yang kamu harapkan dariku Kay?" pria itu meremat lembut jari-jari milik Kaysa.
"Entahlah, aku ... bahkan tidak berani untuk memikirkannya karena ...
"Apa?"
"Aku janda dengan satu anak, sementara kamu pria lajang."
"Lalu masalahnya di mana?"
"Aslan bahkan lebih dekat kepadamu dari pada papanya."
"Dan?"
"Itu yang membuatku berharap kamu akan ...
"Aku mencintaimu, Kaysa." kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Rama yang seketika membuat Kaysa kehilangan kata-kata.
"Juga Aslan." lanjutnya.
"Dan aku pikir kamu merasakan hal yang sama denganku, setelah berminggu-minggu membiarkanku berkunjung ke sini dan dekat dengan Aslan. Aku harap aku tidak salah menanggapi sikapmu kepadaku selama ini, terlebih ...
Perempuan itu melepaskan pertautan jari mereka, lalu menghambur ke dalam pelukannya. Merangkul pundak kokoh Rama dengan erat kemudian menariknya sehingga bibir mereka bertemu. Dan cumbuan itu berlangsung begitu dalam.
Mereka saling memagut dan merasakan bibir masing-masing. Juga sama-sama merasakan debaran yang sama-sama kencang, seolah keduanya hidup denga satu jantung yang sama.
Rama bahkan meraup pinggang Kaysa dengan mudah dan menariknya sehingga tubuh mereka benar-benar merapat tanpa celah. Tinggi perempuan itu yang hanya se dagunya membuat Rama mengangkatnya untuk membuat tinggi mereka setara.
"Mama, bajunya udah kekecilan. Ini sempit." Aslan berteriak dari dalam kamar setelah beberapa kali mencoba pakaian yang di berikan ibunya, dan tetap tidak muat di tubuhnya.
Dua sejoli yang tengah di mabuk cinta itu tersadar, kemudian melepaskan cumbuan. Rama menurunkan Kaysa, dan mereka saling melepaskan diri kemudian mengembalikan jarak yang semula menghilang, bersamaan dengan Aslan yang keluar dari dalam kamar dengan pakaiannya yang sudah kekecilan.
"Lihat? sempit mama!" keluh bocah itu.
"Celananya pendek amat deh? masa gini?" dia menunjukkan celana panjangnya yang sudah setinggi betis.
Kaysa tertawa untuk menghilangkan kecanggungan.
"Kenapa mama merasa kalau kamu ini masih kecil ya? padahal kamu tumbuh dengan cepat?" dia menghampiri putranya.
"Itu karena kamu sudah terlalu lama diam di rumah, Aslan. Makanya harus olah raga. Dua minggu itu lama lho. Kamu hanya keluar dari sini hanya untuk terapi saja kan?" Rama menyahut dari belakang.
"Om mau nyebut aku gendut ya?" Aslan mendelik, tidak senang dengan ucapan pria itu.
"Om tidak bilang begitu lho."
"Tapi itu om ngomongnya gitu? pakai bilang aku harus olah raga segala?" anak itu bersungut-sungut.
"Kamu kalau begini sensitif juga ya?" Rama malah tertawa.
"Habis om nyebelin! padahal om sendiri yang sering bawain aku makanan."
"Hmmm ...
"Terus kalau begini mau bagaimana? mau pakai baju olah raga sekolah?" Kaysa menoleh kepada Rama di belakang.
"Tidak usah. Kalau begitu mungkin kita harus belikan dia baju baru."
"Baju baru?"
"Ya."
"Lari sorenya tidak jadi?"
"Larinya besok saja. Sekarang kita beli training dulu."
"Ke pasar?" Aslan terlihat cemas.
"Kamu maunya ke mana?"
"Online aja lah, biar nggak usah ke luar rumah."
"Kalau beli online datangnya bisa dua sampai tiga hari."
"Ya nggak apa-apa, lari nya tiga hari lagi aja." anak itu tersenyum lebar.
"Kamu benar-benar tidak mau keluar rumah ya?" Rama mendekat, kemudian berjongkok di depannya.
"Itu Om tahu?"
"Hhmmm ..." Rama bergumam sambil mengerucutkan mulutnya.
"Oke om? ordernya online aja ya, ya, ya?" Aslan mengedip-ngedipkan matanya, merayu.
Rama tampak menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.
"Om kan baik, nanti aku bolehin deketin mama deh." celetuknya, dengan polos.
"Apa?" Kaysa bereaksi.
"Anak kecil sudah bisa bicara seperti itu ya? dari mana itu berasal?"
"Umm ...
"Pasti dari hape? kamu terlalu sering memberi dia hape!" ujar Rama kepada Kaysa.
"Apa? tidak. Aku tidak sesering itu memberinya hape." sanggah perempuan itu.
"Terus kenapa dia bisa bicara begitu?"
"Mana aku tahu? dia kan anak jaman sekarang, ya bisa lah."
"Di bela?" Rama bergumam.
"Memang, dia kan anakku."
Sementara Rama mendengus keras.
"Kenapa mama sama om Rama malah berantem? ini gara-gara aku ya?" Aslan menginterupsi.
"Tidak nak, kami hanya berbicara." Rama menjawab.
"Tapi kaya lagi berantem. Kayak mama kalau berantem sama papa?"
"Eee ...
"Sudah, jadi bagaimana Aslan maunya beli baju sekarang atau bagaimana?" Rama mengalihkan topik pembicaraan.
"Online aja." jawab bocah itu, dan dia kembali tersenyum lebar.
"Hhh ... ya sudah." pria itu akhirnya mengalah.
*
*
*
Bersambung ...
ini keren thoooorrr...