Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Malam Minggu
"Semangat amat yang mau kedatangan tamu..." Candra yang masuk ke dapur untuk mengambil air minum, menggoda adikmya yang sedang membuat puding.
"Ishh Abang awas ya, Aku gak akan kasih!" Suci mengerucutkan bibirnya. Padahal puding buatannya juga sangat disukali sang kakak. Suci selalu membuatnya jika ada waktu senggang ataupun saat tidak malas.
Candra hanya menaggapinya dengan tertawa dan berlalu keluar rumah melanjutkan kembali mencuci mobilnya.
Sore ini Suci melakukan perawatan wajah dan tubuhnya. Bukan karena sengaja untuk menyambut tamu tapi sudah kebiasaan dirinya seminggu sekali merawat kulit sehatnya. Detik menit berganti jam, seiring dengan detak jantung Suci yang berdetak lebih kencang menunggu kedatangan Nico untuk pertama kalinya sengaja bertamu.
"Huft, kok aku merasa nervous gini ya!" Suci memandang pantulan dirinya di cermin meja riasnya. Gamis polos warna marun berpadu pashmina krem membuat tampilan simpelnya terlihat manis, cantik tentunya, cocok dengan kulit putihnya.
Ting Tong
Suara bel pintu terdengar jelas ke kamarnya yang berada di lantai bawah. Jam 7.05 Suci melirik sekilas jam yang menempel di dinding. Ia menarik nafas perlahan dan membuangnya, sampai tiga kali. Untuk menetralkan rasa gugup yang tiba-tiba mendera.
Suci keluar kamar bersamaan dengan Candra yang baru menuruni tangga. "Biar aku yang buka, Bang."
Candra mengangguk dan berlalu ke dapur mengambil puding buatan Suci di kulkas. Mumpung Suci ada tamu, Candra berpikir untuk menghubungi Rachel, kekasihnya. Puding akan dibawanya ke kamar menemani dirinya selama bervideo call.
Di depan pintu, Suci menyiapkan wajah tenang dengan seulas senyum yang siap menyambut sang tamu. Saat pintu dibuka, senyum lebar yang dipasangnya berangsur memudar beralih wajah keterkejutan saat memandang tamu di hadapannya.
"Bang Rafa!" lirihnya.
Pria yang dipanggil Rafa itu tersenyum sumringah menatap gadis cantik yang auranya makin bersinar, sedang berdiri di depannya. "Suci apa kabar?"
"Bang Rafa ada perlu apa kemari?" Bukannya menjawab pertanyaan Rafa, dengan wajah datar Suci balik bertanya perihal kedatangannya.
"Ada hal yang ingin aku bicarakan. Bolehkah aku masuk, Suci?"
Suci hanya diam mematung, bingung harus menjawab apa. Bagaimana kalau Nico datang? batinnya.
Candra yang baru keluar dari dapur, tertarik untuk melangkah mendekati Suci karena melihat adiknya itu hanya diam tak mempersilakan masuk tamunya.
"Kamu?!"
"Mau apa kemari?!"
Dengan wajah dingin, dua pertanyaan bertubi dilontarkan Candra setelah dengan jelas melihat sosok tamu yang datang. Ia ikut berdiri di belakang Suci yang masih saja diam.
"Bang Candra, ijinkan aku bicara dengan Suci sebentar saja." dengan sopan Rafa memohon. Ia mengatupkan kedua tangannya di dada sebagai bukti kesungguhannya meminta waktu.
"Adek, gimana?" Candra balik bertanya kepada Suci.
"Baiklah. Silakan duduk, Bang Rafa." Akhirnya Suci memutuskan memberinya kesempatan bicara. Rafa mengedarkan pandangannya, mengamati seisi rumah yang terjangkau mata, saat Suci pergi ke dapur untuk menyeduh teh.
"Aku sudah mentalak Nisa."
Kalimat pembuka dari Rafa membuat Suci terkejut. Kerut keningnya seolah mengisyaratkan tanya mengapa, tapi ia tak mau ikut campur urusan pribadi mereka.
"Suci, dari awal aku tidak mencintainya. Kamu tahu sendiri, Mama yang memaksa aku menikah dengannya sebagai pengganti kamu. Aku tak bahagia,--"
"Suci, aku datang ke sini untuk merajut kembali mimpi kita yang tertunda. Aku sudah bekerja keras beberapa bulan ini, membeli rumah dan kendaraan dari keringat sendiri, untuk mewujudkan janjiku saat sunset di pantai Alue Naga. Maukah kau menerimaku lagi, Suci?"
Pendar harapan nampak di mata Rafa. Dengan intonasi lugas ia sampaikan niat hatinya kepada Suci, seorang wanita istimewa yang mengisi seluruh hatinya.
Ya Rabbi. Kenapa dia datang lagi disaat aku sudah melupakannya.
Suci mendesah. Hatinya yang sudah dibangun menatap masa depan mendadak labil dengan kehadiran orang dari masa lalunya.
"Aku,--"
Kalimatnya tersekat di tenggorokan, tak mampu melanjutkan, saat tiba-tiba bayangan Nico berkelebat di kepalanya.
"Maaf Bang Rafa, aku gak bisa!" Suci menggelengkan kepalanya pelan setelah mampu melawan perang batin antara menerima kembali atau tidak.
"Apakah ada laki-laki lain yang sudah menggantikan aku?" Pandangan Rafa berubah sendu. Jawaban Suci tak sesuai ekspektasinya.
"Mungkin." Lirih Suci dengan wajah yang menunduk dan tangan yang meremas gamisnya. Hatinya resah, menunggu pria yang diundangnya ke rumah tak juga datang.
*****
"Kenapa kamu memanggilku? Bukannya mau ngapel?" Malik yang datang dengan menggunakan taksi online sesuai permintaan Nico tampak menggerutu. Ia baru saja akan pergi ke club bersama dua orang temannya saat Nico menelpon.
"Aku gak jadi. Mantannya datang lebih dulu." Nico menumpukan dua tangannya bersidekap di pilar beton fly over. Memandang hilir mudik kendaraan yang melintas di bawahnya juga menatap kerlap kerlip lampu malam ibukota.
"Kamu mengajakku ke sini bukan untuk menyaksikan bunuh diri kan?" Malik memicingkan matanya. Tangannya siaga memasang kuda-kuda jikalau Nico akan mendampratnya.
"Lo kalau ngomong sembarangan ya. Gue masih punya IMAN!" Nico lolos menjitak kepala Malik yang telat menangkisnya.
"Kirain,--" Malik merasa lega. Nico yang sekarang, tak mengajaknya lagi ke club, sudah dicoret merah dari daftar tempat kunjungan. Ia ikut berdiri di samping Nico membiarkan sahabatnya itu berdamai dengan suasana hati yang buruk.
Flashback On
Selepas Magrib Nico sudah tampil rapih dan cool dengan kemeja putih lengan pendek dan celana jeans biru, sedikit parfum disemprotkan ke badannya untuk menambah rasa percaya diri. Ia pamit ke Bunda untuk keluar rumah, tidak bilang akan menemui Suci.
Empat puluh menit perjalanan ditempuh sehingga sampai di dekat rumah Suci pas pukul tujuh. Mobilnya tiba beriringan dengan mobil SUV putih yang ternyata parkir di depan rumah Suci. Nico melajukan pelan mobilnya dan parkir berjarak 3 meter di sebrang jalan komplek. Ia memperhatikan pria yang turun dari mobil putih itu, berdiri sesaat merapihkan penampilannya.
"Mantannya datang." Nico membatin.
Ia memang sudah menelusuri tentang Suci dari informan Malik. Info keluarganya, tempat tinggalnya, juga kehidupan pribadinya, sudah Nico kantongi. Melihat kedatangan pria tadi, ia sudah menebak kalau itu adalah Rafa.
Nico hanya duduk diam menunggu di mobil. Sampai 30 menit berlalu, si tamu belum juga keluar dari rumah Suci. Ia memutuskan memutar balik mobilnya meninggalkan tempat itu.
Flashback Off
"Bro, kamu mau nyerah?"
Malik menepuk bahu Nico yang masih saja memandang ke depan, pemandangan jalanan juga gedung-gedung pencakar langit yang dari jauh tampak indah karena kerlipan lampunya.
"Argghh aku gak berdaya Bro. Hubungan mereka kandas karena aku menabrak Suci. Aku bisa apa sekarang!" Nico berteriak dari atas Fly over, mengeluarkan beban yang menyesak di dadanya. Biarlah berteriak, toh ini jalanan sepi, lalu lalang kendaraan tak sepadat jalan di bawahnya.
"Istighfar, Bro!" Hanya itu yang mampu diucapkan Malik untuk menghibur sahabatnya yang sedang galau.