Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Acara ulangtahun perusahaan
Acara yang sudah di tunggu akhirnya tiba, tepatnya nanti malam di salah satu hotel bintang lima di kota Jakarta, Assisten Frans sudah menyiapkan semua ini hingga rampung seratus persen.
Sementara itu Nyonya Martha sibuk mempersiapkan gaun indah untuk menantunya, sedangkan dirinya sudah memiliki gaun spesial hasil dari rancangan Inara sendiri.
"Inara, memangnya kau tidak memiliki koleksi gaun lagi untuk kau gunakan? Kalau menurutku gaun hasil rancanganmu sangat bagus sekali!" puji Nyonya Martha, ia tersenyum penuh Arti, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan dan rencanakan.
"kalau untuk mendesain baju untuk diri sendiri, saya kurang yakin Bu, entah kenapa jika untuk orang lain saya begitu yakin!" jawabnya bingung.
Seketika Nyonya Martha tersenyum terbahak-bahak. "kau itu aneh, harusnya seorang perancang busana itu lebih memfokuskan kepada penampilannya sendiri, bukankah hasil rancanganmu sudah mulai dinikmati banyak orang, Inara?" lagi-lagi pertanyaan dari Nyonya Martha membuat Inara merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya namun ia berusaha keras untuk menepisnya, pikirnya dalam hati apakah mungkin ibu mertuanya tahu soal dirinya yang telah menjual desain terbaiknya terhadap perusahaan Witjaksono grup? Bukankah Tuan Rayyan alias suaminya merahasiakan semua ini terhadap siapapun. Dan menurutnya tidak mungkin jika Ibu mertuanya sampai tahu, karena Inara sendiri sudah berjanji untuk tutup mulut terhadap siapapun termasuk ibu angkatnya yakni Bu Farida.
.
.
Selesai jam makan siang, Rayyan Witjaksono melangkahkan kaki ke dalam gedung tinggi megah yang merupakan kantor pusat perusahaannya. Dengan setelan jas biru gelap yang selalu terlihat sempurna di tubuhnya, ia membawa aura keseriusan dan wibawa. Hari ini, ia harus menyelesaikan tumpukan berkas penting yang menunggu persetujuan, sekaligus meninjau langsung lokasi perayaan ulang tahun perusahaan yang akan diadakan malam nanti di Hotel Grand Royal Jakarta.
Rayyan langsung menuju ruang kerjanya. Di sana, Frans, asisten pribadinya yang setia, sudah menunggu dengan beberapa map tebal di atas meja.
"Selamat siang, Tuan Rayyan. Semua berkas sudah saya siapkan. Dan, saya sudah konfirmasi dengan pihak hotel, semua persiapan malam ini berjalan lancar. Aula Ballroom sudah dihias sesuai permintaan Anda."
Rayyan mengangguk seraya duduk dan mulai membalik lembaran berkas. Wajahnya terlihat fokus, namun pikirannya tak sepenuhnya tertuju pada angka-angka di hadapannya.
"Bagus. Frans, soal pengumuman nanti malam..."
Rayyan menjeda, helaan napas berat lolos dari bibirnya. Ia benar-benar tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi untuk urusan pribadinya.
Frans malah tersenyum tipis. "Pasti soal pernikahan Anda dengan Nyonya Inara? Tuan, saya tahu ini bukan kemauan Tuan sepenuhnya, tapi apa yang diperintahkan Nyonya Martha sudah sangat tepat."
Rayyan mendongak, menatap Frans.
"Maksudmu?"
"Dengan mengumumkan secara resmi, tidak akan ada lagi wanita di luaran sana yang berani mendekati atau, mohon maaf...mencoba mencari keuntungan dari Tuan. Status Tuan sebagai suami Nyonya Inara akan menjadi perisai yang kuat."
Rayyan terdiam, memutar pena di antara jemarinya. Kata-kata Frans menusuk tepat. Selama ini, banyak yang mencoba mendekat, memanfaatkan celah statusnya sebagai duda kaya.
"Dan juga, itu bisa menepis gosip murahan yang disebar oleh mantan istriku, maaf aku tidak berani Gosip konyol tentangku yang..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya, namun tatapan matanya menunjukkan rasa muak.
"Ya, Tuan. Saya yakin, mantan istri Anda itu sengaja menyebarkan rumor buruk karena tidak terima diceraikan tanpa mendapatkan harta gono-gini. Tapi malam ini, Tuan akan membuktikan bahwa semua gosip itu hanyalah kebohongan belaka. Semua akan melihat Tuan berdiri di samping istri Tuan yang sah."
Rayyan menghela napas panjang. Ia memang merasa sangat jijik dengan tingkah Viona, wanita yang telah berselingkuh darinya dan kini ingin mempermalukannya. Baginya, wanita pengkhianat tidak pantas mendapatkan sepeser pun darinya.
"Baiklah. Lanjutkan pekerjaanmu, Frans. Setelah semua berkas ini selesai, aku akan langsung ke Grand Royal."
.
.
Waktu beranjak cepat, dan kini malam telah tiba.
Di kediaman Witjaksono, suasana terasa tenang. Baby Daffa sudah terlelap dalam buaian Nyonya Martha sebelum ia berangkat. Udara malam yang dingin di Jakarta memang tidak baik untuk kesehatan Daffa yang masih sangat rentan. Suster Ana dan Bik Sumi ditugaskan untuk menjaga bayi mungil itu dengan ketat.
Inara berdiri di depan cermin besar. Malam ini, ia mengenakan gaun muslimah berwarna gold lembut yang menjuntai anggun. Potongan A-line dengan sentuhan bordiran halus pada bagian dada dan pergelangan tangan, dipadukan dengan hijab yang dililit rapi dan sederhana, membuat aura kecantikannya memancar tanpa dibuat-buat. Ia terlihat layaknya seorang bidadari.
Tepat pukul 19.30 WIB, mobil mewah Rayyan tiba di depan lobi megah Hotel Grand Royal Jakarta. Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya gemerlap di segala penjuru.
Rayyan turun terlebih dahulu, kemudian ia menunggu Nyonya Martha dan Inara keluar dari mobil. Nyonya Martha, dengan kebaya mewahnya, berjalan mendampingi menantunya.
Saat Inara melangkahkan kakinya dan berdiri tegak di bawah cahaya lobi, semua mata tertuju padanya.
Rayyan yang semula berbicara pelan dengan Frans, seketika terdiam. Ia menoleh ke arah Inara, dan matanya tak mampu berkedip.
Inara malam ini... sangat berbeda. Ia sering melihat Inara cantik, namun malam ini, kecantikan itu dihiasi oleh aura kemewahan yang tenang. Gaun muslimah itu tidak hanya menutup auratnya, tetapi juga menegaskan martabatnya. Kecantikannya membius Rayyan. Jantungnya berdebar, sedikit lebih kencang dari biasanya.
Rayyan bergegas menghampiri istrinya.
Rayyan berbisik, suaranya sedikit tertahan karena kekaguman.
"Kamu... Ya...lumayan, Inara."
Inara tersenyum lembut dan kaku, namun rona merah tipis muncul di pipinya. Ia membalas tatapan suaminya dengan penuh percaya diri.
"Terima kasih, Tuan. Semoga malam ini berjalan lancar."
Nyonya Martha mendekat, menatap kedua anaknya dengan bangga. "Sudah, jangan berbasa-basi di sini. Ayo kita segera masuk. Sudah waktunya kalian menunjukkan pada semua orang bahwa kalian adalah pasangan yang serasi, pasangan resmi Tuan dan Nyonya Witjaksono!"
Rayyan mengulurkan tangannya, menawarkan lengan untuk Inara. Inara menyambutnya, dan mereka berjalan bersama-sama memasuki aula ballroom, siap menghadapi tatapan ratusan tamu yang sudah menunggu di tengah sandiwara mereka yang tersembunyi.
Tangan Rayyan terasa kokoh dan hangat saat Inara menggandeng lengannya. Rasa kaku masih ada, namun ia berusaha keras mengendalikannya. Langkah mereka menyusuri karpet merah menuju pintu ganda Ballroom yang menjulang tinggi, di mana di baliknya ratusan pasang mata telah menanti.
Tepat sebelum mereka mencapai ambang pintu, Rayyan menundukkan sedikit kepalanya, mendekatkan bibirnya ke telinga Inara. Suaranya rendah dan penuh penekanan, nyaris seperti perintah.
"Ingat, Inara. Malam ini adalah panggung kita. Kita adalah pasangan suami-istri yang bahagia, yang tengah merayakan ulang tahun perusahaan. Tidak ada keraguan, tidak ada jarak. Beri mereka pertunjukan yang meyakinkan."
Inara menarik napas, matanya membalas tatapan intens suaminya. Ada campuran gugup dan sedikit rasa tersinggung karena kata 'pertunjukan', tapi ia mengangguk.
"Saya mengerti, Tuan Rayyan."
Rayyan menghela napas pendek, lebih sebagai persiapan mentalnya sendiri. "Bagus. Aku butuh kamu menatapku seolah akulah pusat duniamu. Tersenyumlah, Inara. Tersenyum seolah kamu memenangkan lotre terbesar dalam hidupmu." Ia sengaja menggunakan kata-kata yang keras untuk memicu Inara keluar dari cangkangnya.
Inara sedikit tersentak, tetapi ia tahu ini bukan waktunya untuk protes. Ia memaksakan senyum yang lebar, meskipun terasa tegang di awal, senyum itu perlahan menjadi lebih natural.
Rayyan tersenyum puas melihat perubahan itu, kemudian pintu Ballroom dibuka oleh dua orang petugas hotel.
Bersambung...
hamdan jantung amankan ya klu mau copot minta sm othor suruh ganti pake jantung kucing🤣🤣🤣🤣🤣