NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:447
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 24

Pagi harinya, setelah tidur yang gelisah dengan dua kekuatan kosmik bersemayam di reruntuhan, Ratih memutuskan bahwa mereka tidak bisa terus menerus bersembunyi. Mereka butuh makanan yang layak dan, yang lebih penting, mereka butuh waktu jauh dari tekanan Kuil bawah tanah.

"Kita perlu udara segar," kata Ratih, menggantung kedua Liontin—Api Biru dan Mata Ketiadaan—di lehernya. Liontin kedua yang ungu tua itu diletakkan di bawah pakaiannya, jauh dari pandangan. "Dara, Jaya, kita berburu. Wijaya, kau ambil posisi scout di tebing selatan. Kita harus memastikan tidak ada mata-mata Leluhur Bayangan di sekitar sini."

Wijaya mengangguk, menyukai rencana yang melibatkan gerakan dan kewaspadaan. "Aku akan kembali sebelum senja."

Hutan di sekitar reruntuhan itu lebat, dengan pepohonan tua yang batangnya sebesar menara kecil. Ratih, Dara, dan Jaya bergerak dalam formasi segitiga yang sunyi, Jaya memimpin dengan busurnya yang sudah diperbaiki.

Saat mereka melintasi sungai dangkal, Jaya tiba-tiba memberi isyarat berhenti. Di balik semak belukar, seekor rusa berbulu kelabu sedang minum.

Jaya mengangkat busurnya, gerakan yang cair dan tanpa suara. Namun, sebelum ia melepaskan panah, sebuah ranting kecil patah di bawah kaki Dara. Rusa itu tersentak dan lari.

"Astaga, Dara!" bisik Jaya, meski tidak ada kemarahan dalam suaranya. Ia menoleh, dan melihat Dara tampak sedikit linglung.

"Aku... maaf," balas Dara, menghela napas. " Aku tak sengaja, rasanya energiku belum pulih, bahkan gerakanku masih lambat, maaf kan aku sekali lagi, gara-gara aku kita kehilangan rusa itu."

Jaya menurunkan busurnya dan berjalan mendekat. Ia meletakkan tangan di bahu Dara, ibu jarinya mengusap lembut tulang bahu gadis itu.

"Jangan memaksakan diri," ucap Jaya, matanya yang biasa tajam kini dipenuhi kelembutan. "Biarkan energinya kembali sendiri. Bagian dari dirimu itu akan kembali, Dara. Aku tahu itu. Karena kau ada di sini bersamaku."

Dara mendongak, matanya bertemu dengan mata Jaya. Dalam sorot mata Jaya, tidak ada penghakiman, hanya penerimaan dan sebuah janji.

"Aku akan mencoba lebih hati-hati," bisik Dara, merasakan kehangatan tangan Jaya menyebar ke kulitnya.

"Kau tidak perlu hati-hati denganku," jawab Jaya, suaranya pelan dan mengikat. "Cukup jadi dirimu sendiri. Aku akan selalu ada untukmu."

Ia kemudian mengambil sepotong buah beri liar dari semak dan menyuapkannya ke mulut Dara, menggantikan rusa yang lepas. "Sekarang, cari kelinci. Aku lapar, dan kau tidak boleh melewatkan sarapan."

Dara tersenyum, senyum tulus yang meruntuhkan semua temboknya. Mereka melanjutkan perburuan, dengan Jaya kini berjalan lebih dekat, seolah-olah hanya dengan kehadirannya, ia bisa mengisi lubang kosong di jiwa Dara.

Mereka kembali ke reruntuhan di tengah hari, membawa beberapa kelinci hasil buruan. Wijaya sudah menunggu, tatapannya menyapu mereka bertiga untuk memastikan keamanan.

Saat matahari mulai terbenam, Ratih dan Dara bergotong royong menyiapkan makanan. Wijaya dan Jaya duduk di dekat api unggun, menyimak gulungan peta yang berhasil mereka selamatkan.

"Kau yakin itu harus dipanggang, Ratih?" tanya Dara, melihat Ratih memotong kelinci dengan cara yang terlalu rapi, seolah-olah itu akan dimasak dalam wajan "

"Tentu! Api Biru ini kini punya kemampuan memasak dasar!" seru Ratih bersemangat. Ia mengangkat Liontin Api Biru. "Aku tidak perlu kayu! Lihat!"

Ratih memancarkan api biru kecil dari telapak tangannya, mencoba menggunakannya sebagai pemanggang. Alih-alih memanggang secara merata, api biru itu terlalu intens, dan daging kelinci di ujungnya langsung gosong total hanya dalam hitungan detik.

Dara tertawa terbahak-bahak, tawanya keras dan tulus. "Itu... itu bukan memasak dasar, Ratih. tapi kau menghanguskan nya "

"Aku hanya perlu menyesuaikan suhu..." Ratih bergumam, wajahnya memerah. Ia mencoba lagi dengan kelinci kedua, kali ini dengan api yang lebih redup. Setelah beberapa detik, ia menarik tangannya, hanya untuk memastikan bahwa kelinci itu sudah matang, , tetapi malah terlihat gosong, dan sebagian tengahnya membeku sedikit.

"Oh, itu Liontin Mata Ketiadaan yang bekerja, pantas aja membeku !" seru Dara, yang kini menertawakan temannya sambil memegangi perut. "Dua kekuatan kosmik yang berlawanan di lehermu, Ratih. Kau memasak dengan dua ekstrem!"

Wijaya, yang menyaksikan adegan itu dari jauh, hanya bisa tersenyum. Senyumnya lebih lebar dari yang biasanya ia tunjukkan. Ia suka melihat Ratih menjadi diri sendiri, bukan hanya pembawa takdir.

Akhirnya, Jaya datang menyelamatkan mereka. Dengan sigap, ia membuat arang dari kayu bakar dan mulai memanggang sisa kelinci yang masih bisa diselamatkan.

Perbincangan di Kehangatan Malam,

Mereka makan malam di bawah langit yang bertabur bintang, kehangatan api unggun melawan udara malam yang dingin.

"Jadi, kita sepakat," kata Wijaya, memecah keheningan yang nyaman. "Penyatuan Liontin harus dilakukan di tempat yang terisolasi dan aman, jauh dari energi Void yang bisa diperkuat Leluhur Bayangan."

"Ya," Ratih mengangguk. "Ukiran itu menyebutkan sebuah tempat di Utara, 'Kawah Keheningan' (Crater of Stillness). Tempat di mana sihir murni tidak bisa bekerja. Tempat yang diciptakan oleh para Dewa sebagai zona netral saat Penciptaan. Jika sihir tidak bekerja, Kekosongan tidak punya bahan bakar."

"Kawah Keheningan," ulang Jaya. "Perjalanan berminggu-minggu dari sini. Melewati Jalur Naga dan Hutan Kabut."

Dara, yang bersandar di bahu Jaya, menyela, "Setidaknya itu memberi kita waktu untuk pulih dan Liontin Mata Ketiadaan itu tidak membuat Ratih kembali kesana."

Ratih menatap Wijaya. "Kau ikut denganku ke Kuil bawah tanah tadi. Kau tahu betapa bahayanya Liontin kedua ini. Aku bisa merasakan bahwa jika aku memaksakan penyatuan, aku mungkin tidak akan kembali."

Wijaya menatap Ratih, pandangan matanya intens, membakar semua keraguan Ratih.

"Maka kita akan melakukannya bersama-sama," jawab Wijaya, suaranya tenang, tegas, dan penuh janji. "Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi hal ini sendirian. Kita akan mencari tahu apa yang terjadi jika kedua Liontin ini bersatu, dan aku akan memastikan kau kembali ke sini."

Tatapan mereka terkunci. Ratih merasakan kehangatan yang asing namun manis membanjiri dadanya, jauh lebih menenangkan daripada Api Biru yang kini bersemayam di lehernya. Rasa peduli Wijaya, yang selalu ia sembunyikan di balik topeng strategi militer, kini begitu terbuka. Itu bukan lagi janji perlindungan seorang pengawal, tetapi janji seseorang yang peduli pada jiwa yang ia lindungi.

Saat mereka bersiap untuk tidur, Wijaya mengambil gulungan peta yang sempat ia dan Jaya pelajari. Ia melacak rute menuju Kawah Keheningan.

"Tunggu," ujar Wijaya, jarinya berhenti di sebuah titik yang berada beberapa ratus mil di selatan rute mereka.

Itu adalah simbol kecil yang terukir di sudut peta: sebuah Mata dengan empat sayap.

"Simbol apa ini?" tanya Jaya, mendekat.

"Aku tidak yakin," kata Wijaya, menyipitkan matanya. "Aku melihat simbol ini di buku sejarah kuno tentang perang Sang Penghancur pertama. Itu bukan simbol Void. Bukan simbol Dewa Pencipta. Ini adalah simbol para... Mata Angin (Wind's Eyes)."

Ratih dan Dara saling pandang. Simbol itu terasa asing, namun memancarkan aura kekuatan yang kuno.

"Menurut legenda, para Mata Angin adalah penjaga keseimbangan, bahkan sebelum Dewa dan Void bertarung," tambah Wijaya, suaranya kini dipenuhi ketertarikan seorang ahli strategi yang menemukan petunjuk baru. "Mereka tidak memihak cahaya atau kegelapan. Mereka hanya memastikan aturan mainnya adil."

"Dan apa hubungannya dengan kita?" tanya Ratih.

"Simbol ini, di peta kuno ini, menunjukkan sebuah kota yang seharusnya sudah lama hilang: Aeloria, Kota Cahaya yang Tersembunyi," jawab Wijaya. "Jika ada tempat di dunia ini yang menyimpan rahasia tentang Mata Ketiadaan, Liontin Penolak, atau bahkan cara mengalahkan Sang Penghancur tanpa menyatukan Liontin, itu mungkin ada di sana. Kota ini hilang dari peta setelah Peleburan pertama."

Wijaya menoleh ke Ratih, tatapannya berkobar dengan tekad.

"Kawah Keheningan adalah tempat untuk aksi. Aeloria adalah tempat untuk informasi," katanya. "Kita harus ubah rencana. Kita akan menuju Selatan, mencari Kota Cahaya yang Tersembunyi itu. Kita perlu tahu siapa Leluhur Bayangan itu, sebelum kita mempertaruhkan jiwamu dengan penyatuan."

Ratih mengangguk, Liontin Api Biru terasa hangat, sementara Liontin Mata Ketiadaan terasa dingin. Sebuah misteri baru, sebuah kota yang hilang, dan janji sunyi yang mengikat mereka. Perjalanan mereka baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!