NovelToon NovelToon
Fangirl Cantik Milik Tuan Antagonis

Fangirl Cantik Milik Tuan Antagonis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kaya Raya / Fantasi Wanita / Ruang Ajaib
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: BlackMail

Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.

​Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.

​Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.

​Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31 : Lamaran!?

Luna memasukkan buku Magi-tech berharganya ke dalam Kuil Mimpi dengan gerakan yang terasa terlalu pelan untuk ukuran degup jantungnya.

Setiap sentuhan jemarinya pada sampul yang usang itu seakan menahan waktu. Halaman berlumur debu bintang berkilau samar, lalu menghilang ke dalam ruang penyimpanan seperti sekeping kenangan yang disegel rapat.

Ia melirik gelang skornya, penunjuk waktu berkedip pelan, seolah mengingatkannya bahwa waktu mereka sudah di ambang batas. Satu lantai terakhir. Cukup untuk mengakhiri perjalanan ini… atau cukup untuk menjemput bencana yang tak bisa mereka bayangkan.

"Ya, mari lanjut, tapi ini yang terakhir."

Riven mengangguk.

Pintu batu di depan berderak terbuka, meninggalkan kehangatan perpustakaan yang penuh cahaya. Begitu melewati ambang, udara berubah drastis: dingin merayap ke tulang, bau besi dan lilin sihir pekat di udara, sementara dengungan magis bergulung di dinding, seperti jantung raksasa yang menahan napas sebelum meledak.

Lorong itu menuntun mereka ke aula melingkar dari obsidian hitam, berkilau seperti kaca yang menelan cahaya lilin. Ukiran konstelasi memenuhi lantai, garis-garis perak membentuk pola yang berkelip tiap disentuh cahaya, menimbulkan rasa pusing jika dipandang terlalu lama.

Di tengah aula, sebuah altar batu sederhana berdiri seolah pusat dari semesta kecil itu.

Di atas altar, seorang pria berambut hitam legam duduk santai, matanya berwarna emas cair yang menyala lembut namun berbahaya. Dua tanduk melengkung dari dahinya, kecil dan nyaris dekoratif, membuat sosoknya terlihat lebih seperti dewa jatuh daripada iblis biasa. Senyumnya… manis, penuh arti, dan mengandung bahaya sekaligus.

"Selamat datang, para petualang," suaranya meluncur halus, setiap kata bagai madu beracun. "Namaku Hesrak. Sudah lama aku tidak menerima tamu. Kalian menunjukkan kekuatan dan kebijaksanaan. Namun, apakah kalian juga punya keberanian?"

"Iblis…" batin Luna, dadanya menegang. Sementara Riven hanya mengangkat alis, wajahnya tetap dingin.

Hesrak tersenyum lebih lebar dan melompat turun dari altar dengan gerakan anggun. "Aku suka keberanian. Tetapi yang lebih kuinginkan… kejujuran. Mari kita mainkan sebuah permainan kecil."

Sebelum Luna sempat bersuara, Hesrak menjentikkan jarinya.

"Riven!!"

Dinding sihir ungu transparan tiba-tiba muncul, memisahkan Luna dan Riven. Riven mencoba membekukannya, tapi sihirnya langsung lenyap saat menyentuh permukaan itu. "Anti-sihir," gumamnya.

Di hadapan mereka, tiga bola kristal melayang: merah darah, putih salju, dan biru laut.

"Aturannya sederhana," bisik Hesrak, suaranya menggema langsung di kepala mereka. "Merah untuk orang yang paling kau benci. Putih untuk yang paling kau cintai. Biru… untuk orang yang berdiri di seberang dinding ini."

"Aturannya sederhana," suara Hesrak bergetar dengan nada yang unik, "Tiga kristal, tiga target. Sentuh, dan perasaanmu yang paling jujur akan tersampaikan. Kristal merah untuk orang yang paling kau benci. Kristal putih untuk orang yang paling kau cintai. Kristal biru... untuk orang yang berdiri di seberang dinding ini. Menarik bukan?"

"Menarik? Ini penyiksaan psikologis!" pikir Luna, panik tapi terpaksa tenang. Ia melirik Riven; wajahnya datar, matanya mengkalkulasi variabel tak terlihat.

"Baiklah, ayo selesaikan ini dengan cepat," katanya pada diri sendiri. Mereka sudah sangat kelelahan. Ramuan stamina dan penyembuh memang membuat mereka berdiri tegap, tapi secara mental, mereka tersiksa.

Ia menyentuh kristal merah. Pikirannya langsung tertuju pada para developer game yang tega memberikan akhir tragis pada Riven. Gelombang kemarahan yang dingin mengalir dari dirinya.

[Kebencian Anda Sudah Tersampaikan!]. "Fyuh… tidak buruk.’l"

Hesrak tertawa, "Wow, hahaha! Sangat berani!" Memuji keberanian Luna.

Kemudian, matanya beralih ke kristal putih. Jantungnya berpacu. "Jangan dipikirkan, Luna! Lakukan saja!" Dengan tangan gemetar, ia menyentuhnya. Seketika, ledakan emosi murni menyerbu keluar: pemujaan yang obsesif, kekaguman yang menuhankan, dan semua cinta tak berlogika itu melesat keluar seperti cahaya putih yang membuncah.

"Ah! Tidak! Tidak! Bukan yang itu! Maksudku bukan perasaan seperti itu!" seru Luna dalam hati. Kulitnya memerah oleh rasa malu. Dia ingin melepaskan diri, tapi tangannya seolah terpaku pada bola kristal itu.

Suara tawa Hesrak yang merdu menggema di benaknya. "Oh, betapa murninya! Betapa absolutnya! Sudah berabad-abad aku tidak merasakan pemujaan yang begitu… membabi buta. Menarik sekali!"

Riven, di sisi lain, terhuyung mundur selangkah. Ia dihantam badai afeksi yang begitu kuat hingga membuatnya sesak napas.

Sistem di kepalanya, yang selama ini hanya berisi data mentah, sekarang berdenyut akan konfirmasi: ini nyata.

Pemujaan yang berlebihan dan penuhanan yang sesat itu benar-benar nyata.

"Bagaimana rasanya, Nak?" goda Hesrak di benak Riven. "Dihantam oleh badai cinta yang begitu dahsyat. Apakah tembok es di hatimu itu retak sedikit? Atau kau justru membencinya? Hahaha!!"

Riven tidak menjawab, ia hanya menatap tajam ke seberang dinding, mencoba mencerna data yang mustahil ini.

Luna ingin lantai obsidian menelannya hidup-hidup. "Tamat sudah riwayatku. Bagaimana caranya aku menatap Riven setelah ini? Dia pasti menganggapku gadis gila yang sesat! Hidupku hancur!"

Dalam keputusasaannya, ia melihat kristal biru yang tersisa. "Sudah terlanjur basah, kenapa tidak sekalian menyelam!?" Dengan gerakan pasrah, ia menyentuh kristal biru.

Gelombang perasaan kedua mengalir. Kali ini berbeda. Bukan lagi pemujaan buta seorang fangirl, melainkan keinginan tulus untuk melihat Riven bahagia, aman, dan tersenyum. Sebuah perasaan yang lebih dalam, lebih dewasa, dan sangat protektif.

Riven merasakannya. Gelombang kedua ini… lebih mengguncang daripada yang pertama. Ini bukan obsesi. Ini adalah kepedulian yang tulus. Wajahnya yang biasanya dingin tanpa sadar sedikit memerah.

Sekarang gilirannya. Ia mengabaikan kristal merah dan putih. Kebencian dan cintanya adalah miliknya sendiri. Ia fokus pada kristal biru. Ia memikirkan Luna: gadis aneh yang panik, serakah, terkadang konyol, tapi juga cerdas, berani, dan setia sampai nekat. Gadis yang bersedia mati untuknya. "Hah... Mari selesaikan ini." Ia menyentuh kristal itu.

Luna menahan napas. Tiba-tiba, suara Riven terdengar di benaknya. Bukan suara yang ia dengar sehari-hari, melainkan gema dari perasaan hatinya. Jernih, tenang, dan tanpa keraguan sedikit pun.

"Gadis yang menarik. Dia memiliki kualitas untuk berdiri di sisiku. Sebagai Grand Duchess. Pemimpin yang luar biasa. Aku ingin membawanya ke kastil da memperkenalkannya pada ibu. Dia gadis yang berbahaya. Kenapa dia menyembahku? Dia aneh."

Luna membeku. Waktu seolah berhenti. Kata-kata itu terus berulang di kepalanya. Itu bukan pernyataan cinta yang berbunga-bunga. Itu jauh lebih dari itu. Bagi seorang Riven Orkamor, itu adalah sebuah pengakuan. Sebuah janji.

Sebuah lamaran.... Lamaran!?

Dinding sihir di antara mereka perlahan memudar. Hesrak bertepuk tangan dengan pelan. "Luar biasa! Hahaha!Pertunjukan yang sangat menghibur!" Ia tersenyum puas dan menunjuk tumpukan besar kristal sihir kelas atas di sudut ruangan sebagai hadiah mereka.

Luna dan Riven berdiri di sana, di tengah aula yang remang-remang, tidak sanggup untuk saling menatap, terperangkap dalam keheningan canggung yang jauh lebih menegangkan daripada pertarungan mana pun.

1
aku
TIDAK. mak jlebb 🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!