NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:751
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31 BARA DI DEPAN PUBLIK

Pagi itu halaman yayasan penuh sesak. Mobil wartawan berderet, kamera berkilat, mikrofon terangkat. Spanduk kecil bertuliskan “Konferensi Pers Yayasan Cahaya Anak” tergantung di depan pintu.

Amara berdiri di balik tirai panggung kecil, jantungnya berdegup kencang. Tangannya dingin, tapi matanya berusaha tegas. Di sampingnya, Rani berbisik, “Kau tidak sendiri, Mar. Semua data sudah siap.”

Indra mengangkat map bukti. “Kalau ada yang coba menjatuhkan, kita serahkan ini.”

Bagas berdiri sedikit jauh, diam tapi tatapannya tajam, seakan menegaskan: Aku di sini.

Ketika Amara melangkah ke depan, kilatan kamera menyambut. Wartawan langsung melempar pertanyaan keras.

“Benarkah program yayasan hanya pencitraan?”

“Bagaimana dengan isu dana diselewengkan?”

“Apakah benar gosip keluarga ikut campur?”

Amara menarik napas panjang, lalu menatap mereka satu per satu. “Yayasan ini lahir bukan dari gosip, melainkan dari kerja. Ini laporan tiga bulan terakhir, lengkap dengan foto kegiatan, daftar kehadiran anak-anak, serta laporan keuangan yang sudah diaudit. Kalian boleh memeriksa ulang. Kami tidak menyembunyikan apa pun.”

Ia mengangkat map, menunjukkannya ke depan kamera. Suaranya bergetar, tapi penuh keberanian.

Beberapa wartawan mulai menunduk, menulis cepat.

Tiba-tiba, salah satu wartawan berdiri. “Tapi ada sumber anonim yang mengatakan, anak-anak hanya diperalat. Mereka dipaksa tersenyum di depan kamera, padahal sebenarnya kegiatan itu kosong. Apa tanggapan Anda?”

Hening menekan udara. Semua kamera menyorot wajah Amara.

Matanya berkilat, dadanya sesak, tapi ia maju selangkah. “Kalian bisa bicara dengan anak-anak itu langsung. Mereka bukan aktor. Mereka punya nama, punya mimpi, punya karya. Saya tidak pernah memaksa mereka tersenyum—mereka tersenyum karena merasa dihargai.”

Suaranya meninggi tanpa sadar. “Kalau kalian masih ragu, datanglah ke kelas sore ini. Saksikan sendiri. Jangan menuduh dari balik layar.”

Bisikan mulai terdengar di antara wartawan. Ada yang terkejut, ada yang mengangguk kecil.

Di barisan belakang, Selvia berdiri diam, wajahnya dingin. Ia memegang ponsel, mengetik cepat: “Plan A gagal. Siapkan Plan B.”

Tak jauh dari situ, Meylani duduk anggun dengan kacamata hitam, seolah hanya penonton. Bibirnya melengkung tipis. “Bagus, Amara. Kau berani. Tapi mari kita lihat, seberapa lama api itu bisa bertahan.”

Sesi tanya jawab berlanjut. Wartawan lain bertanya soal donatur. Amara menjawab dengan tenang, menunjukkan kontrak terbaru yang masih berlaku.

Ketika ditanya apakah gosip keluarganya memengaruhi yayasan, Amara menatap kamera lurus. “Saya tidak menyangkal gosip itu melukai saya. Tapi yayasan ini bukan tentang saya. Ini tentang anak-anak. Mereka tidak pantas jadi korban dari perang yang bukan milik mereka. Saya mohon, serang saya jika mau, tapi biarkan yayasan berjalan.”

Kata-kata itu membuat ruangan hening sesaat. Kilatan kamera kembali ramai, tapi kali ini sorotnya berbeda—bukan sekadar mencari sensasi, melainkan merekam keberanian.

Setelah konferensi selesai, beberapa wartawan mendekat, bukan untuk bertanya, tapi untuk menjabat tangan Amara. “Jarang ada yang berani bicara sejujur ini. Semoga kamu benar.”

Amara tersenyum tipis, meski tubuhnya gemetar. Rani dan Indra segera menemaninya turun dari panggung.

Bagas mendekat, menatapnya lama. “Kau sudah melakukan lebih dari cukup.”

Amara menelan ludah. “Tapi rasanya ini baru permulaan.”

Bagas mengangguk singkat. “Benar. Permainan baru saja dimulai.”

Malam itu, di rumah aman, Amara duduk di balkon. Udara dingin menampar kulitnya, tapi hatinya masih hangat oleh keberanian siang tadi. Ibunya mendekat, menyampirkan selendang di bahunya.

“Aku lihat beritanya di televisi,” kata ibunya. “Kamu tampak begitu kuat, Mar. Itu bukan putriku yang dulu mudah menangis.”

Amara tersenyum samar, menahan air mata. “Mungkin aku mulai belajar, Bu. Belajar bahwa menangis tidak salah, tapi berdiri lebih penting.”

Larut malam, ia membuka buku catatannya.

“Hari ini aku berdiri di depan publik. Mereka menatapku seperti api kecil di tengah hutan gosip. Tapi aku tidak padam. Aku belajar bahwa keberanian bisa menular—dari anak-anak yang tersenyum, dari sahabat yang berdiri, dari seseorang yang diam-diam meneguhkan. Aku tahu musuh belum berhenti. Tapi semakin aku berdiri, semakin mereka sadar: aku tidak akan jatuh semudah itu.”

Ia menutup buku itu, lalu menatap langit. Di kejauhan, suara petir samar terdengar. Badai mungkin datang, tapi Amara sudah menyalakan apinya sendiri.

Setelah para wartawan bubar, halaman yayasan kembali sepi. Amara berdiri sendirian di panggung kecil, menatap kursi-kursi kosong yang tadi dipenuhi sorot mata penuh curiga. Nafasnya masih berat, tubuhnya masih gemetar, tapi ada rasa lega yang mengalir di dadanya.

Rani menghampiri dengan wajah berseri. “Kau hebat sekali, Mar. Aku hampir ikut berdiri di sampingmu tadi.”

Indra menambahkan sambil menepuk bahunya, “Jawabanmu tadi… itu bukan cuma membela diri. Itu seperti pelajaran buat semua orang.”

Amara tersenyum kecil, tapi matanya masih berkaca-kaca. “Aku tidak tahu apakah mereka percaya. Tapi setidaknya aku sudah bicara.”

Bagas mendekat beberapa langkah. Tidak ada kata-kata panjang. Hanya tatapan dalam yang sulit ditebak. “Besok berita akan menilai sendiri. Malam ini, istirahatlah.”

Namun istirahat tidak datang mudah. Malam itu, di rumah aman, Amara duduk di kamar sambil menatap ponselnya. Layar dipenuhi notifikasi: artikel daring, komentar publik, potongan video konferensi pers yang sudah viral.

Ada komentar yang menyakitkan.

“Ah, air mata itu akting.”

“Biasa, drama murahan.”

Namun ada juga yang menyentuh hati.

“Akhirnya ada yang berani melawan gosip.”

“Kalau semua fitnah, biarkan bukti yang bicara. Salut buat Amara.”

Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menutup layar ponsel, lalu menunduk, berdoa dalam hati.

Sementara itu, di ruang kerja rumah besar, Meylani menonton video konferensi pers di layar laptop. Senyumnya samar. “Kau pikir dengan berdiri lantang, kau sudah menang, Amara? Tidak. Kau hanya membuat dirimu jadi target lebih besar.”

Ia menekan nomor di ponsel. “Siapkan laporan hukum. Kita bawa masalah yayasan ke ranah legal. Gosip bisa dibantah, tapi dokumen hukum bisa melumpuhkan. Pastikan semua seolah resmi.”

Suara di ujung telepon menjawab, “Baik. Kami siapkan berkas pengaduan.”

Meylani menutup laptop, meneguk anggurnya. “Mari kita lihat, seberapa jauh kau bisa bertahan.”

Larut malam, Amara menulis lagi di buku catatannya. Pena menari dengan goyah, tapi kata-katanya tegas.

“Hari ini aku menyalakan api di depan publik. Mereka bisa bilang aku akting, mereka bisa menyebutku pembohong, tapi aku tahu aku berdiri dengan jujur. Aku siap kalau badai berikutnya lebih besar, karena aku tidak sendiri lagi. Ada yang percaya, ada yang berdiri, dan ada hatiku sendiri yang mulai belajar tegak.”

Ia menutup buku itu, memandang jendela. Hujan tipis mulai turun, mengetuk kaca dengan ritme lembut. Amara menutup matanya, membiarkan suara hujan menjadi pengantar. Ia tahu badai besar sedang disiapkan di luar sana. Tapi malam ini, untuk sesaat, ia izinkan dirinya merasa damai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!