Amara Olivia Santoso, seorang mahasiswa Teknik Industri yang sedang berusaha mencari pijakan di tengah tekanan keluarga dan standar hidup di masyarakat. Kehidupannya yang stabil mulai bergejolak ketika ia terjebak dalam permainan seniornya Baskara Octoga.
Situasi semakin rumit ketika berbagai konflik terjadi disekitar mereka. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta remaja, persahabatan dan kehidupan kampus.
Rumit
Hari-hari setelah kepulangan Baskara untuk kerja praktek berjalan dengan penuh ketidakpastian. Beban kerja yang tidak sesuai ekspektasi, tuntutan yang sangat tidak masuk akal untuk seorang yang berstatus mahasiswa magang membuatnya begitu stress dan kelelahan.
Hidupnya nyaris tidak memiliki jeda, bahkan untuk sekedar membalas pesan Amara pun sering ia tunda. Ada banyak deadline yang harus ia kerjakan, rapat yang harus ia hadiri dan energinya yang gampang habis membuatnya sering ketiduran ketika mereka sedang bertukar cerita di malam hari.
Namun entah kenapa malam ini Amara seperti enggan menutup video callnya bahkan ketika Baskara sudah tertidur cukup lama. Dia hanya memandangi Baskara yang tertidur pulas dengan kemeja dan lanyard yang masih menggantung di lehernya.
“Screenshoot ahh, lucu juga kalo di buat sticker” Amara terkekeh pelan.
Matanya berbinar, ada rasa haru dan kangen yang tidak dapat di definisikan. Disisi lain ia bangga, Baskara sudah berada di titik ini. Namun, menjalani hubungan jarak jauh tidak semudah bayangannya. Meskipun belum ada seminggu mereka berpisah.
“Tok tok tok” Suara pintu kamar Baskara terketuk, tak lama sesosok perempuan paruh baya duduk di sebelah ujung ranjang Baskara.
Dengan lembut ia membelai rambut Baskara, mencoba membangunkan, “Bas Babas, bangun dulu” Ucapnya lembut.
Baskara menggeliat, ia masih berusaha untuk mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya. Sementara Amara kini hanya bisa mendengarkan, ponsel Baskara terbalik ketika tanpa sengaja terkena tanggannya saat terbangun.
“Ada apa Bun? aku ngantuk banget” Ucap Baskara setengah sadar, ia masih dalam posisi terlentang menghadap Ibunya.
“Kamu ini loh Bas, tadi Bunda habis arisan perumahan. Bener Alysa masuk rumah sakit minggu lalu karena mau Bunuh diri?” Tanya Riana serius.
“Aaa?” Baskara masih cengo mencoba menelaah perkataan Ibunya,
“Bangun dulu, Bunda serius nanya. Kamu ngga ada hubungan sama masalah ini kan?” Tanyanya lagi.
Baskara berdesis pelan, “Ngga ada Bun, lagian aku kan udah putus lama. Dia di selingkuhi pacar barunya”.
“Yaudah kalo gitu, besok anterin bunda nengok di rumah sakit yaa. Bisa bisanya satu lingkungan perumahan cuma bunda aja yang belum nengok” Kata Riana.
“Ahhhh besok aku mau tidur seharian, capek banget kerja” Protes Baskara.
“Bentar ih mumpung libur, paling satu jam aja. Lagian Bunda ngga enak kalo cuma sendirian” Kata Riana, “Sana ganti baju dulu, lanyardnya dicopot kalo mau tidur. Ntar mimpi di kejar deadline yang ada” Tambahnya sebelum menutup pintu kamarBaskara.
Baskara tak bergeming, setelah mencopot lanyard dan menaruhnya asal, ia kembali terlelap.
Di sisi lain, Amara kini termangu. Ia sedikit terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Alysa bunuh diri? Kenapa Baskara tidak bercerita? Ada beribu pertanyan yang kini bersarang di kepalanya. Tapi, ia tidak tahu harus melakukan apa. Apakah Baskara sengaja menutupi karena tidak ingin dia khawatir? Atau karena berita itu tidak penting bagi hubungan mereka? yang jelas Amara segera mengakhiri video call tersebut dan memilih untuk percaya dengan Baskara.
***
Baskara terhenti di depan ruangan tempat Alysa di rawat. Cukup lama ia mencoba mengatur nafas dan ekspresi agar tidak terlihat canggung di hadapan Alysa, setelah dua tahun Baskara selalu menghindarinya.
Di liriknya kembali Bundanya yang sedang mengobrol serius dengan orangtua Alysa di koridor rumah sakit, berharap mereka berubah pikiran ketika menyuruhnya masuk untuk menyapa Alysa. Namun nihil, gerakan tangan para orangtua itu sepakat seperti mengusirnya untuk segera masuk.
“Krek” Bunyi pintu kamar terbuka. Baskara berjalan mendekat ke arah Alysa yang kini sedang terbaring lemas menatap kosong ke arah langit-langit.
Dilihatnya sekeliling, bunga matahari yang berada di atas meja itu nampak kontras dengan warna putih yang mendominasi ruangan itu.
Tak ada sapaan, tak ada obrolan. Baskara lebih memilih diam dan mengambil kursi untuk duduk mengambil jarak. Tangannya sedikit bergetar saat memegang ponsel untuk membalas pesan Amara, ia tahu seharusnya ia tidak boleh sejauh ini. Namun demi rasa kemanusiaan ia sedikit menggeser prinsipnya. Terlebih dia sudah jujur ke Amara jika dia sedang ke rumah sakit untuk menjenguk Alysa.
“Udah makan Sa?” Tanya Baskara membuka pembicaraan.
Alysa memiringkan kepalanya menatap ke arah Baskara, wajahnya yang nampak sedikit sayu dan pucat perlahan dipenuhi oleh cahaya hangat yang muncul dari mata sembabnya. Bibirnya kini mulai tersenyum tipis.
Baskara terdiam, hatinya menyeruak hebat. Senyuman itu yang dulu membuatnya jatuh cinta. Senyuman yang menghiasi lima tahun lebih perjalanan hidupnya.
“Udah tadi Bas” Jawab Alysa pelan.
Baskara mulai mencoba menepis perasaannya, “Aku kesini sama bunda, dia lagi di luar ngobrol sama orangtuamu” Kata Baskara mencoba bersikap normal.
“Iyaa makasih udah di tengokin” Suara Alysa terdengar lirih, “Aku masih inget, dulu kamu selalu ada buat aku kalo lagi sakit. Rasanya …. Kayak dejavu”.
“Sorry yaa aku ngga bales chatmu pas kamu lagi butuh” Kata Baskara.
Alysa tersenyum tipis, ia mengalihkan pandangannya keatas, berusaha menutupi matanya yang kini telah berkaca-kaca, “Aku tau, kamu lagi ngedate kan?” Tanya Alysa to the point.
“Sa,” Baskara menunduk, “Tolong lupain janjiku yang bilang kalo aku akan dateng ke kamu meskipun kamu telfon tengah malam itu ya?”.
Alysa menelan ludahnya pelan, perih seperti ada duri yang mengganjal di tenggorokannya.
“Dia cantik yaa, aku udah liat instagramnya” Ucap Alysa mengalihkan pembicaraan.
“Saaa,” Potong Baskara penuh penekanan.
Alysa tertawa getir, tatapannya menusuk. Cukup untuk membuat jantung Baskara berdetak lebih cepat.
“Semesta adil ya Bas” Ucap Alysa datar.
Baskara hanya terdiam, dadanya begitu sesak jika ia harus duduk berlama-lama disini. Kenangan lama yang terus menyeruak, perasaan iba kepada Alysa dan cinta pada Amara yang harus ia jaga. Ahh jika memiliki pilihan, sepertinya ia akan lebih memilih untuk berlari memutar lapangan tujuh kali dari pada harus duduk lima menit disini.
“Dulu, ketika aku ninggalin kamu dengan penuh luka, kamu masih bisa care ke aku. Tapi disaat kamu udah move on, kamu lupain aku, lupain semua janji-janjimu” Kata Alysa.
“Saa, hey itu dulu. Aku juga berhak ngelanjutin hidupku” Kata Baskara, kali ini ia benar hampir kehilangan kendali emosinya.
“Tapi kamu bahagia Bass!! Aku nggak!!!” Bentak Alysa, “Aku bodoh Bas, aku bodoh ninggalin kamu” Lanjutnya dengan tangis terisak.
Baskara meremas rambut kepalanya kasar. Kali ini ia sudah cukup muak dan memutuskan untuk berjalan ke arah pintu keluar.
“Aku udah rusakk Bas” Lirih Alysa yang membuat Baskara langsung putar balik untuk mendekat.
“Aku bodoh banget Bas, tapi aku ngga bisa relain diaa meskipun dia udah nyakitin akuu.… Aku harus gimana Bas?” Tangis Alysa semakin pecah.
“Orangtuamu udah tau?” Tanya Baskara kali ini dengan nada sedikit lembut.
Alysa menggeleng pelan, ia masih sesenggukan.
“Kamu cintakan sama dia?” Tanya Baskara lagi.
“Dia memperlakukan aku dengan baik, memberikan perhatian seolah aku paling penting di hidupnya” Jawab Alysa.
Baskara sedikit memalingkan wajahnya, terdapat kekecewaan di matanya. Mungkin sejak awal dia tidak pernah cukup layak untuk Alysa.
“Mungkin, bukan karena itu. Dulu aku juga baik Sa, kurang apa aku sama kamu? Tapi, mungkin kamu ngerasa paling hidup saat bersamanya. Jadi semua yang dia lakukan akan terasa lebih indah” Kata Baskara dengan seringai aneh di wajahnya.
Alysa lagi-lagi terdiam, dia sadar bahwa Baskara yang ada di hadapannya bukanlah Baskara yang dulu mencintainya setengah mati.
“Aku balik dulu yaa, kayaknya aku cuma ganggu waktu istirahatmu” Ucap Baskara.
“Baskaraa” Bentak Alysa.
“Sa, in the end I realized that giving someone more doesn’t mean they will value us more” Kata Baskara sebelum membuka pintu untuk keluar tanpa menoleh sedikitpun ke Alysa.
Alysa terdiam, rahangnya mengeras menatap penuh amarah yang tertahan ke arah punggung Baskara yang menghilang dari balik pintu. Kali ini ia gagal.