Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isolasi Jiwa
Langit senja menggantungkan warna abu-abu muram di atas gedung fakultas, seolah turut merasakan aura aneh yang memenuhi udara. Taeri duduk dengan tenang di bangku taman, matanya terpaku pada setangkai bunga yang ia gambar dengan teliti di buku sketsanya. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
Yuna, sahabatnya, menatap Taeri dengan keraguan yang menggelayut di benaknya. Ada sesuatu yang berbeda dari Taeri hari ini, sesuatu yang tidak ia lihat beberapa hari yang lalu.
"Tae, kamu kelihatan... agak lain hari ini," ucap Yuna hati-hati, berusaha untuk tidak menyinggung. Taeri mengangkat wajahnya perlahan, senyumnya sedikit mengembang. "Apa penampilanku terlihat aneh?" tanyanya dengan suara lembut yang nyaris tak terdengar.
Yuna menggigit bibirnya, mencari kata-kata yang tepat. "Bukan aneh... hanya saja... kamu kelihatan lebih hidup, Tae. Lebih... bersemangat. Setelah semua yang terjadi minggu lalu di bar," ujarnya jujur, berusaha menyunggingkan senyum meyakinkan.
Taeri tertawa kecil, seolah mengerti kekhawatiran yang dirasakan Yuna. "Hidup, ya?" desisnya pelan, lirih. "Mungkin kamu benar. Aku memang merasa lebih hidup sekarang," ujarnya kemudian, pandangannya menerawang jauh ke depan.
Yuna masih merasa ada sesuatu yang janggal dalam jawaban Taeri. Ada ketenangan di wajahnya, namun masih sebuah kebenaran yang disembunyikan rapat-rapat di balik senyumnya. Ia merasakan firasat buruk.
"Taeri... kamu benar nggak apa-apa kan?" bisik Yuna pelan, suaranya bergetar karena kekhawatiran.
Taeri menatap balik Yuna, senyumnya masih di sana, tenang, lembut, namun anehnya membuat bulu kuduk Yuna meremang. "Sudahlah, Yun. Aku tidak pernah sebaik ini. Untuk pertama kalinya... aku tahu rasanya menjadi diri sendiri setelah kejadian dua minggu lalu di bar," tegasnya dengan nada yang nyaris tak terdengar.
Yuna terdiam, tenggorokannya tercekat. Ia mengangguk pelan, berusaha untuk percaya bahwa sahabatnya baik-baik saja. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasakan sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Masih ada sesuatu yang berubah dalam diri Taeri.
Suasana tegang itu tiba-tiba dipecah oleh kedatangan Pak Marcelo. Wajahnya diliputi kekhawatiran, tatapannya langsung tertuju pada Taeri, seolah mencari jawaban dari sorot matanya.
"Yuna," ucap Pak Marcelo datar, tanpa basa-basi, "bolehkah kamu meninggalkan kami sebentar?" perintahnya dengan nada yang tak terbantahkan.
Yuna menatap Taeri sejenak, mencoba mencari persetujuan di wajah sahabatnya. Taeri hanya mengangguk pelan, senyum tipisnya tak mampu menyembunyikan ketegangan yang terpancar dari matanya. "Baik, Pak," jawab Yuna ragu. Ia bangkit dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Taeri dalam situasi yang membuatnya semakin tidak nyaman.
Keheningan kembali turun, menyelimuti taman fakultas. Hanya Taeri dan Pak Marcelo yang tersisa, di antara dedaunan yang berguguran dan bayangan senja yang semakin memanjang.
"Aku dengar kamu sekarang tinggal bersama Tuan Azey," ucap Pak Marcelo sambil menyodorkan sebotol soda dingin, seolah mencoba mencairkan suasana yang kaku. "Benarkah itu, Taeri?" tanyanya prihatin.
Taeri mengangguk pelan, hatinya berdebar kencang. Ia tahu pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi, melainkan sebuah ujian yang harus ia lalui dengan hati-hati. "Benar, Pak," jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
"Kenapa?" tanya Pak Marcelo lagi, kali ini suaranya lebih pelan, lebih lembut. "Aku ingin tahu... apakah kamu tinggal di sana karena kemauanmu sendiri?" Ia mencoba mencari kebenaran yang mungkin disembunyikan rapat-rapat. "Atau kamu dipaksa dan takut untuk mengatakan yang sebenarnya pada orang lain?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, terasa berat seperti beban yang menekan dada. Taeri tidak langsung menjawab, pikirannya berpacu dengan cepat. Bayangan Azey, dengan segala kegelapan dan kekuasaannya, muncul di benaknya. Ia membayangkan apa yang akan terjadi jika ia mengatakan yang sebenarnya, jika ia mengungkapkan ketakutannya. Azey bisa saja menghabisi orang-orang terdekatnya, atau bahkan orang lain yang mencoba membantunya.
"Saya tidak dipaksa," jawabnya lirih namun jelas, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Bapak tidak usah khawatir, karena itu kemauan saya sendiri. Saya sudah sangat mengenal Tuan Azey," katanya dengan senyum tipis yang tampak dibuat-buat.
Pak Marcelo menatap Taeri dalam-dalam, matanya menyelami setiap sudut wajah gadis itu. Ia tahu Taeri berbohong, merasakan kepalsuan di balik senyum dan kata-katanya. Namun, Taeri terlalu pandai menyembunyikan luka di balik ketenangan yang ia tampilkan.
"Kamu tahu, Taeri," ucap Pak Marcelo kekhawatiran, "saya menanyakan ini untuk kebaikanmu. Saya tidak ingin kamu terluka. Jika itu terjadi, saya benar-benar tidak bisa memaafkan diri saya sendiri."
"Anda tidak perlu merasa bersalah, Pak," potong Taeri cepat, suaranya datar dan dingin. Ia tahu Pak Marcelo menyimpan perasaan padanya sejak lama, sebuah rahasia yang selalu ia hindari. "Kita ini bukan siapa-siapa, hanya mahasiswa dan dosen yang tidak sengaja berkenalan," ujarnya, mencoba menjaga jarak.
Pak Marcelo tersenyum getir ke arah Taeri, matanya menatap gadis itu datar, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang bergejolak di dalam hatinya. "Taeri," panggilnya pelan, namun nada suaranya berubah, menjadi lebih dalam dan serius. "Kau tahu, bukan? Tentang Tuan Azey," ucapnya singkat.
Taeri menatapnya tanpa ekspresi. "Apa lagi yang harus saya tahu, Pak?" tanyanya datar, suaranya acuh tak acuh, seolah ia tidak tertarik dengan apa yang akan dikatakan Pak Marcelo. "Bukankah sudah saya bilang kalau saya lebih mengenalnya daripada Bapak?"
Pak Marcelo menarik napas perlahan, berusaha menenangkan diri. Ia tahu gadis itu sedang menyembunyikan ketakutan yang mendalam. "Mungkin kau belum pernah mendengarnya," ujarnya hati-hati, "tapi banyak rumor yang beredar tentang pria itu." Ia mendekat, lalu berbisik, "Orang-orang bilang... Tuan Azey punya hubungan dengan kelompok yang tidak bersih. Beberapa menyebutnya mafia," tegasnya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan peringatan.
Kata "mafia" menggantung di udara, memecah kesunyian taman yang mulai gelap. Kata itu bagaikan belati yang menusuk jantung, namun Taeri tidak menunjukkan reaksi berarti. Wajahnya tetap tenang, terbalut topeng dingin yang ia kenakan dengan sempurna. Hanya matanya yang sedikit berubah, memancarkan lelah yang mendalam karena harus terus-menerus menyembunyikan kebenaran yang ia tahu.
"Saya tahu, Pak," jawabnya akhirnya. "Tapi itu bukan urusan siapa pun. Termasuk Anda," katanya lagi, nadanya kini lebih tegas, menandakan bahwa ia telah membuat keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Pak Marcelo terdiam, merasakan jarak yang tiba-tiba terasa di antara mereka. Tatapan Taeri tidak lagi tampak seperti tatapan seorang mahasiswa kepada dosennya, melainkan tatapan seseorang yang telah memilih jalannya sendiri, meski jalan itu gelap dan penuh bahaya.
"Taeri, saya hanya ingin memastikan kamu aman," ucapnya perlahan, nada suaranya melunak, mengungkapkan kekhawatiran yang selama ini ia pendam. "Saya tidak bermaksud untuk mencampuri hidupmu, saya hanya takut kamu kenapa-napa."
"Aman atau tidak, itu pilihanku, Pak," potong Taeri cepat, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Jangan ikut campur, Pak. Dunia saya bukan tempat yang bisa Anda pahami," desisnya pelan, namun kata-katanya menusuk. "Saya permisi, ingin segera pulang," ucapnya kemudian, berbalik dan meninggalkan Pak Marcelo sendirian di taman yang semakin gelap, menatap punggungnya dengan tatapan putus asa.
Saat Taeri melangkah menjauh, hatinya hancur berkeping-keping. Ia tahu ia telah menyakiti Pak Marcelo, namun ia tidak punya pilihan lain. Ia harus melindungi dirinya sendiri, dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan tetap berada di sisi Azey, meski itu berarti ia harus mengorbankan segalanya, termasuk rasa simpatinya.
Taeri berdiri di hadapan Yuna, jarak di antara mereka terasa membeku meski hanya terpaut beberapa langkah. Tanpa kata pun, Yuna dapat merasakan ada keanehan dalam hubungan itu, rahasia kelam yang mengintai di balik senyum Taeri. Perlahan, Taeri mendekat ke arah sahabatnya.
"Aku akan pergi bersama Azey," ucap Taeri lirih, namun nadanya tegas, tak memberi celah untuk penolakan. "Aku tahu kau mungkin khawatir, tapi jangan khawatirkan aku, Yun. Terkadang, kita harus memilih sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Aku sudah memutuskan. Apa pun yang terjadi setelah ini, biarlah menjadi urusanku."
Yuna menatapnya sendu, matanya berkaca-kaca menahan tangis. "Kalau begitu, pergilah," ucapnya lirih, suaranya bergetar. Ia tahu Taeri adalah gadis yang kuat, namun di balik kekuatannya, ada kerapuhan yang tersembunyi. "Aku tidak akan bertanya atau menahanmu lagi, Tae. Tapi aku harap, suatu hari nanti, kau tidak menyesali keputusanmu. Aku harap kau selalu bahagia, meski bukan bersamaku."
Taeri memeluk sahabatnya erat, seolah berpamitan untuk selamanya. Lalu, tanpa menoleh, ia masuk ke dalam mobil. Pintu tertutup perlahan, dan suara dunia luar seketika lenyap. Hanya keheningan yang mencekam yang tersisa di dalam kabin.
"Tidak ada yang perlu dikatakan, bukan?" ucap Azey tenang, namun tatapannya tajam, seolah mampu menembus ke dalam jiwanya. Ia tahu apa yang dialami Taeri hari ini di kampus, bisik-bisik penuh curiga yang mengarah padanya. "Aku tidak suka pembicaraan kosong, terutama ketika seseorang mencoba menutupi ketakutannya dengan kata-kata yang tak berarti."
Azey mengusap wajah Taeri pelan, sentuhannya lembut namun terasa mengancam. "Kau terlihat tenang, tapi aku tahu di kepalamu terlalu banyak hal yang berisik. Tidak perlu sembunyikan apa pun tentangku. Ceritakan semuanya tentang kita pada sahabatmu, kalau itu bisa membuatmu tenang. Aku tidak keberatan."
Taeri menatap kaca jendela, melihat bayangan samar dirinya yang bergeser bersama laju mobil. "Aku tidak menutupi apa pun," ucapnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku hanya belajar bahwa beberapa hal memang seharusnya dibiarkan diam, karena kalau diucapkan, semuanya jadi lebih nyata... dan aku tidak yakin kau tidak akan menyakiti mereka."
Azey tersenyum tipis, merasa Taeri sudah memahami posisinya, memahami betapa berbahayanya dunia yang ia geluti. Ia memacu mobilnya menuju sebuah tempat yang telah ia sediakan khusus untuk wanita yang dicintainya, sebuah sangkar emas yang mungkin akan menjadi penjara baginya.