Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Cahaya temaram dari lampu ruangan ICU menyinari wajah Nayla yang pucat. Mesin pemantau jantung berdetak perlahan, selaras dengan napasnya yang mulai stabil. Di sisi tempat tidur, Reyhan duduk tak beranjak, menggenggam jemari istrinya yang terasa dingin tapi masih hangat oleh kehidupan.
Sudah hampir dua belas jam sejak operasi berakhir.
Dan akhirnya… kelopak mata Nayla mulai bergerak.
“Nayla…” bisik Reyhan, wajahnya mendekat, menggenggam tangan Nayla lebih erat. “Sayang, aku di sini.”
Kelopak mata itu terbuka perlahan. Pandangan Nayla masih buram, namun ia mengenali suara itu. Ia menoleh pelan, menatap wajah Reyhan yang lelah namun penuh harap.
“…Rey…” suara itu begitu pelan, nyaris seperti desir angin.
“Ya, aku di sini,” Reyhan tersenyum, air mata yang ia tahan sejak tadi kini mengalir tanpa bisa dicegah. Ia mencium punggung tangan Nayla. “Alhamdulillah… kamu sadar.”
Nayla menatap sekeliling, mencoba memahami di mana dirinya berada. Lalu ia kembali memandang Reyhan. “Operasinya… sudah selesai?”
Reyhan mengangguk. “Iya. Semuanya berjalan lancar. Papa… sudah memberimu sebagian hatinya.” Ia berhenti sejenak, mengusap rambut Nayla yang berantakan. “Kamu selamat, Nay. Dan Papa juga baik-baik saja.”
Air mata menetes dari sudut mata Nayla. “Aku… tidak tahu harus bilang apa…”
“Tidak perlu bilang apa-apa,” Reyhan menggeleng pelan. “Kamu hanya perlu istirahat dan sembuh.”
Namun sesaat kemudian, Reyhan terdiam. Ia memandangi Nayla dengan tatapan yang lebih dalam, lembut, tapi juga penuh makna. Tangannya menggenggam tangan Nayla erat, lalu menuntunnya ke atas perutnya yang masih rata.
“Ada satu hal lagi yang harus kamu tahu,” ucapnya, perlahan. “Dan kamu tidak boleh kaget…”
Nayla mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”
Reyhan menarik napas panjang, kemudian tersenyum, meski air mata masih membasahi wajahnya.
“Kamu hamil, Nay.”
Nayla membeku.
Matanya menatap Reyhan tanpa berkedip, seolah otaknya sedang mencerna kalimat itu dengan sangat hati-hati.
“Apa…?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Kamu mengandung, Sayang,” Reyhan menunduk, mengecup jemari Nayla. “Anak kita…”
Mulut Nayla sedikit terbuka, dan dalam sekejap, matanya kembali basah. Tangisnya pecah, bukan karena takut, bukan pula karena cemas, tapi karena begitu banyak rasa yang bercampur jadi satu.
“Reyhan…” isaknya, “kenapa semua ini terjadi bersamaan…?”
“Karena Allah tahu, kamu cukup kuat untuk menjalani semuanya,” jawab Reyhan lembut, lalu memeluk tubuh rapuh itu dengan sangat hati-hati. “Dan kamu tidak sendiri. Aku di sini. Selalu.”
Nayla menyandarkan wajahnya di dada Reyhan. Tangisnya tertahan, tapi bahunya berguncang.
Ia menutup mata dan membisikkan doa yang hanya dia dan Tuhan yang tahu. Ia tidak tahu bagaimana masa depan mereka, tapi untuk saat ini… hatinya percaya, bahwa bersama Reyhan, ia bisa melewati semuanya.
Untuk cinta.
Untuk hidup.
Dan untuk bayi kecil yang kini tumbuh dalam tubuhnya.
***
Sudah sepekan sejak operasi transplantasi hati berhasil dilakukan. Kondisi Nayla perlahan membaik. Tim medis yang menanganinya di rumah sakit Seoul itu terus memberikan perawatan intensif, sementara Reyhan tak pernah meninggalkannya, kecuali saat benar-benar harus keluar untuk mengurus sesuatu yang penting.
Pagi itu, cahaya matahari musim semi menyelinap masuk ke kamar rawat Nayla melalui jendela besar. Aroma bunga dari taman rumah sakit terbawa angin tipis, membuat suasana terasa lebih hangat dan damai.
Reyhan duduk di kursi di sisi tempat tidur Nayla, membantunya menyuap bubur hangat perlahan. Nayla masih tampak lemah, tapi senyumnya sudah mulai kembali.
“Kalau kamu terus menatapku seperti itu, buburnya bisa tumpah,” ucap Nayla pelan, menyipitkan mata sambil tersenyum.
Reyhan tersenyum kecil. “Maaf. Tapi aku memang suka menatap istriku. Apalagi sekarang ada dua orang di tubuhmu yang kusayangi.”
Nayla memutar bola matanya. “Aku belum terbiasa dengan kalimat itu…”
“Kamu harus terbiasa,” Reyhan membalas sambil membenarkan selimut di tubuh Nayla. “Karena mulai hari ini, kamu bukan cuma istri… tapi juga calon ibu.”
Mata Nayla kembali basah. Ia memalingkan wajah, menyeka sudut matanya. “Rey… kalau aku tidak berhasil sembuh…”
“Hush.” Reyhan langsung memotong. Ia berdiri, lalu membungkuk dan menyentuh kening Nayla dengan lembut. “Jangan pernah bilang hal seperti itu lagi. Dokter bilang kondisi kamu stabil. Papa kamu sudah menjadi pahlawan bagi kita semua, dan sekarang... tinggal kamu yang perlu berjuang dengan semangat.”
Nayla menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan.